"Hei, kenapa kamu malah mencerca kepribadianku?" gerutu Raymond seraya menarik kerah pakaian Divya.
Dengan tatapan kejam, Divya kembali menatap wajah pria itu. "Apa yang sudah saya katakan ini benar, 'kan? Kalau Anda memiliki tata krama. Anda tidak mungkin masuk ke dalam kamar saya tanpa permisi. Kalau pun mau masuk setidaknya ada …." Divya langsung menghentikan ucapannya setelah sadar. "Ya, ampun! Kenapa mulutku ini layas sekali? Argh, Divya! Kenapa malah mencari masalah dengan pria ini?" gerutunya di dalam hati.
Dengan satu alis yang sudah menanjak tajam, Raymond kembali berkata, "Kenapa? Ayo, lanjutkan saja celotehanmu tadi!" cercanya.
Divya langsung merebahkan tubuhnya secara sarkas ke atas tempat tidur. "Maaf, Pak Raymond. Saya merasa terperanjat melihat kehadiran Anda tadi," ungkapnya merasa sangat menyesal.
"Kamu ini, wanita yang tidak tahu berterima kasih! Aku sudah menghabiskan uang yang banyak untuk menghidupi dirimu. Masih bisa pula kamu menghinaku seperti itu!" gerutu Raymond seraya melemparkan beberapa bungkus obat generik. "Minum obat itu! Aku tidak kau tahu, besok kamu harus sudah kembali fit untuk melakukan perjalanan jauh." Raymond segera pergi setelah mengatakan hal tersebut kepada Divya.
Divya hanya bisa menahan emosinya yang sudah hampir meledak hebat. Ucapan yang sempat dilontarkan oleh Raymond begitu menyakitkan hatinya. Air matanya pun secara mendadak menetes dari pangkal matanya. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak karena dirinya memang masih bergantungan kepada pria itu.
"Kenapa Hidupku begitu menyedihkan? Aku juga tidak mau seperti ini! Namun, mau bagaimana lagi? Memang takdir hidupku yang buruk. Bahkan, aku dibuang oleh semua keluargaku. Jika, bukan karena hal itu. Aku juga tidak mau mengukur segala hal dengan materi. Aku hanya ingin menunjukkan kepada mereka yang sudah menyakiti hatiku bahwa aku bisa hidup tanpa mereka semua," ungkapnya merasa sangat bersedih.
Setelah itu, ia pun segera pergi ke ruangan makanan untuk menyantap sisa makanan yang ada di sana. Namun, semua persediaan makannya juga sudah habis. Divya hanya bisa mengelus dadanya dengan pelan melihat kesengsaraannya itu. Ia pun kembali beranjak masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponselnya.
"Aku pesan makanan cepat saji saja. Tubuhku ini akan segera pulih kalau sudah selesai menyantap makanan dan cukup beristirahat," gerutunya.
Setelah memesan makanan, ia pun kembali beranjak ke dalam ruangan tengah. Kepalanya menjadi semakin sakit ketika mengingat beberapa ucapan yang sempat dilontarkan oleh atasannya tadi. Kedua netranya kembali menatap lorong menuju akses ke rumah Raymond. Rasanya ia ingin sekali menyanggupi ucapan pria tersebut.
"Aku juga tidak mau merepotkan siapapun, Ray! Aku bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Dan aku juga tidak berharap hidup seperti ini. Kalau saja aku tahu kamu atasanku. Aku juga tidak mau menerima tawaran kerja sebagai sekretarismu. Hatiku sudah lebih dulu merasa hancur! Dan sekarang Tuhan malah kembali mempertemukan aku dengan dengan pria yang sama." Divya kembali memejamkan kedua matanya. "Argh, menyedihkan sekali hidupku ini!"
Setengah jam kemudian, pesanannya datang. Ia pun bergegas menyantap makanan itu. Tanpa ia sadari, sudah ads sepasang mata yang memantau pergerakkan dari ujung lorong perbatasan rumah. Pria itu juga merasa sangat menyesal dengan ucapannya tadi.
"Tidak seharusnya aku mengucapkan perkataan mematikan itu. Namun, emosiku sudah terlebih dahulu meluap karena ucapannya." Raymond kembali berbalik arah.
Ia pun mengurungkan niatnya untuk memberikan sekotak makanan cepat saji untuk Divya. Tatapannya masih terlihat kosong menatap makanan itu. Dengan cepat, ia kembali bangkit dan berjalan menuju kediaman sekretarisnya. Langkah kakinya pun sempat terhenti ketika tanpa sengaja berpapasan dengan wanita itu.
"Pak Raymond? Kenapa Anda menatap saya seperti itu?" tanya Divya merasa sangat kelimpungan.
"Ini, aku membawakan makanan untukmu. Aku sudah memesannya sejak tadi. Mungkin isi di dalamnya sudah berubah menjadi dingin," ungkap Raymond seraya menyerahkan makanan itu.
"Terima kasih banyak, Pak." Divya kembali memberikan salam hormat kepada pria itu. "Bapak sudah makan?" tanyanya kemudian.
"Belum," jawab Raymond dengan cepat.
"Hm, kalau nmbegitu mari kita makan bersama, Pak!" ajak Divya.
"Hm, tidak! Terima kasih, kamu makan saja. Aku mau kembali pergi bersama dengan kekasihku," ungkap Raymond berbohong.
"Oke, kalau begitu selamat bersenang-senang, Pak." Divya segera memberikan salam hormat dan berbalik arah.
"Hm, Divya!" panggil Raymond kemudian.
Divya kembali berbalik. "Iya, Pak. Ada apa lagi, ya?"
"Jangan lupa minum obat makan kamu. Biar cepat sembuh," ungkap pria berwajah tegas itu.
"Oh, baik. Terima kasih atas perhatian Anda." Divya kembali melemparkan senyuman kepada pria itu. "Dia hanya ingin mengucapkan hal itu kepada diriku? Aneh sekali, wajah dan bibir seperti tidak sinkron dalam berekspresi," batin Divya kemudian.
Raymond segera berbalik, tetapi di dalam benaknya sudah berkata-kata lain. Ia merasa sangat kesulitan mengungkapkan permintaan seraya penyesalannya kepada Divya. Meskipun begitu, hatinya suatu merasa lebih baik setelah melihat respon baik yang sudah dilontarkan oleh sekretarisnya. Dengan langkah besar, ia pun segera masuk ke dalam kediamannya.
"Semoga saja dia tidak mengutuk diriku di dalam hati," batinnya.
***
Keesokan paginya, Divya bersama dengan Raymond sudah bergegas berangkat dari rumah menuju bandara. Setelah sampai di sana, Luke yakni orang pertama yang merasa khawatir dengan kondisi wanita itu. Ia sampai sangat antusias membantu Divya dalam membawakan barang-barang milik Raymond. Devan yang melihat hal itu juga merasa sedikit buncah.
"Kenapa kamu begitu khawatir dengan kondisi Divya?" tanya Devan merasa sangat penasaran.
"Hm, kondisi Nyonya Divya dalam keadaan tidak baik, Pak. Aku hanya tidak mau hal buruk terjadi kepada Nyonya Divya," ungkap Luke merasa sangat cemas.
"Hm, Pak Luke. Kondisi saya sudah lebih baik dari sebelumnya. Jangan khawatirkan kondisi saya seperti itu, Pak," sanggah Divya merasa tidak enak hati.
Sepasang netra Raymond langsung menghindari bidikkan dari Devan. Ia pun segera mengambil barang-barangnya dan memerintahkan kepada Luke untuk segera mengikutinya. Hal itu ia lakukan untuk menghindari pertanyaan yang akan dilontarkan oleh Devan kepada dirinya. Setelah sudah masuk ke dalam pesawat, Devan langsung mengambil tempat di sebelah Divya. Sungguh terperangahnya Divya setelah melihat kehadiran CEO muda berwajah tampan di sebelahnya. Ia pun segera memberikan salam hormat kepada pria itu dengan ramah.
"Tidak ada yang marah kalau saya duduk di sebelah kamu, 'kan?" tanya Devan seraya menatap wajah wanita yang ada di sebelahnya.
"Hehe, tentu saja tidak ada, Pak. Saya malah lebih takut duduk di sebelah Anda," jawab Divya dengan polosnya.
Devan langsung mengernyitkan dahi ketika mendengar ucapan wanita berparas manis itu. "Kenapa begitu?"
"Ya, Bapak 'kan seorang CEO terkenal. Sudah pasti banyak wanita yang mengejar Anda. Jika, mereka melihat wajah duduk bersama Anda. Bisa-bisa saya diserang oleh mereka," jelas Divya dengan melemparkan senyuman canggung kepada pria yang ada di sebelahnya.
Devan langsung mengelus pucuk kepala Divya dengan lembut. "Tentu saja hal itu tidak akan terjadi, Divya."