Chereads / Turning Into Beautiful / Chapter 23 - Melonjaknya Emosi Raymond

Chapter 23 - Melonjaknya Emosi Raymond

Sungguh tercengangnya Divya ketika mendapatkan tindakan tersebut dari Devan. Ia sampai terdiam dan terpaku melihat wajah pria itu dari dekat. Raymond yang tanpa sengaja melihat hal itu pun merasa sangat kesal. Ia dengan cepat segera memalingkan pandangan wajahnya ke arah berlawanan.

"Kenapa mereka malah bermesraan di dalam tempat umum seperti ini?" gerutu Raymond pelan.

Luke langsung memalingkan pandangannya kepada pria itu. "Hah? Kamu tadi mengucapkan apa, Ray?" tanyanya merasa sangat penasaran.

"Tidak!" jawab Raymond dengan cepat.

Kedua netra Luke pun segera mencari pandangan lain. Namun, ia menjadi mengerti ketika melihat Devan dan Divya yang ada di seberang sana. Ia pun langsung tersenyum seraya menatap wajah Raymond dengan penuh arti. Tentunya hal tersebut membuat pria itu merasa salah tingkah.

"Kenapa menatap wajahku seperti itu?" serang Raymond merasa kesal.

"Jangan bilang kamu cemburu melihat kedekatan Divya dan Devan di seberang sana!" pekik Luke.

Raymond langsung meluruskan pandangannya. "Kenapa aku harus cemburu dengan mereka? Lagian tidak ada hubungan spesial apapun diantara aku dan Divya! Dan kamu jangan sembarang berbicara, ya," elaknya.

"Yakin?" ledek Luke sembari melemparkan tatapan mengejek.

"Kenapa kamu malah membuatku seperti tersangka seperti itu? Hm, sudahlah! Aku mau tidur, kepalaku sakit mendengar celotehanmu," ungkap Raymond ingin mengalihkan pembicaraan mereka.

Luke merasa sangat puas dengan melihat kecemburuan yang tersirat pada durja Raymond. Ia pun segera memalingkan pandangannya ke arah jendela berbentuk bulat itu. Di sisi lain, Devan masih terus bercengkrama dengan Divya. Mereka semakin terlihat akrab semenjak saat itu.

"Kenapa kamu masih memanggil namaku dengan sebutan Bapak? Apakah wajahku ini sudah terlihat sangat tua?" sanggah Devan sekali lagi.

"Hehe, saya hanya lebih merasa nyaman memanggil nama Anda dengan sebutan seperti itu, Pak. Derajat diantara kita berdua sudah sangat jauh berbeda. Saya merasa sangat segan, jika memanggil Anda dengan sebutan lain," urai Divya seraya melemparkan senyuman canggung.

Devan kembali mengelus pucuk kepala Divya. "Santai saja, Divya. Aku tidak terlalu memikirkan derajat. Bukannya kita sudah berteman? Kenapa kamu masih memikirkan masalah tingkatan?" 

Divya sudah tidak bisa berkata-kata. Jiwa kewanitaannya sudah meronta-ronta di dalam hati. Ia pun secepat mungkin memalingkan pandangan untuk menyembunyikan wajah merahnya. Ia merasa sangat meleleh melihat sikap romantis pria yang ada di sebelahnya. Sedangkan, Devan hanya bisa tersenyum melihat tingkah menggemaskan sekretaris temannya itu.

Hari yang sangat dinantikan pun tiba. Kini, empat serangkai itu sudah mempersiapkan segalanya dengan matang. Namun, kondisi kesehatan Divya semakin menurun. Ia pun menjadi tidak yakin bisa mempresentasikan visi dan misi perusahaan mereka kepada semua investor asing itu.

"Kamu yakin bisa melakukannya?" tanya Devan merasa sangat khawatir.

"Saya akan mencobanya, Pak," jawab Divya dengan cepat.

"Kalau kamu tidak sanggup, biar aku yang akan mengkoordinasikan kepada Raymond untuk menggantikan posisimu ini," saran Devan, ia masih terus memegangi Divya.

Divya kembali menatap wajah pria itu dengan sangat meyakinkan. "Saya pasti bisa, Pak."

Raymond yang melihat dari kejauhan pun segera mendekatkan diri. Ia juga segera memerintahkan kepada Divya untuk kembali membaca dokumen penting yang ada di tangannya. Namun, Devan kembali menegaskan bahwa kondisi Divya dalam keadaan tidak sehat. Meskipun, sudah mengetahui hal tersebut. Raymond masih tidak peduli, ia tetap memerintahkan sekretarisnya untuk bersikap profesional dalam bekerja.

"Baik, Pak. Saya akan bekerja secara maksimal," ucap Divya untuk menghentikan perdebatan kedua CEO muda itu.

"Bagus, hal itu memang sudah menjadi tugas dan tanggung jawabmu, Divya!" sahut Raymond tanpa berperasaan.

Divya pun kembali berjalan menuju gedung pertemuan dan disusul oleh Luke. Setelah masuk ke dalam sana, Divya malah kembali mengalami panas dingin. Pandangan kedua netranya juga menjadi samar-samar. Namun, ia sebisa mungkin untuk tetap bertahan dan melaksanakan rapat pertemuan penting tersebut.

"Kepalaku terasa sangat pusing dan tubuhku terasa tidak sanggup menopang tubuhku yang kurus ini. Aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya," gerutunya di dalam hati.

Wajah Divya sudah terlihat sangat pucat. Devan dan Luke sudah mewanti-wanti hak buruk yang akan terjadi selanjutnya. Ketika ingin mempresentasikan proposal perusahaan Wilfred Estate, Divya malah terjatuh tepat di depan podium. Semua yang menyaksikan hal tersebut pun menjadi ricuh.

Luke segera berlari dan memapah tubuh Divya untuk dibawa ke ruangan kosong. Bukannya membantu, Raymond malah tetap berdiam diri di dalam ruangan rapat. Rasa kesalnya sudah melebih batas. Ia juga sama sekali tidak memikirkan kondisi sekretarisnya.

"Argh, salahku sudah mengajaknya ke dalam pertemuan ini!" gerutu Raymond di dalam hati.

Beberapa jam kemudian, Divya mulai tersadar. Dengan refleks, ia segera bangkit dan berharap ingin melanjutkan presentasinya yang sempat tertunda. Namun, Raymond segera melarangnya untuk berjalan. Pria itu sangat sarkas mengatakan bahwa rencana mereka telah gagal.

"Semuanya hancur karena tindakanmu, Divya! Argh, aku sampai mengalami kerugian sebanyak lima milyar! Bisakah kamu membayar kerugian itu?" serang Raymond tanpa memikirkan perasaan Divya.

Air mata Divya langsung mengalir deras. "Maafkan tindakan saya, Pak. Maafkan saya," ucap Divya seraya menundukkan separuh basannya.

"Luke, cepat persiapkan segalanya! Aku ingin pulang hari ini juga!" titah Raymond dengan tegas.

"Baik, Pak," sahut Luke dengan tatapan yang masih terus menatap wajah Divya.

Raymond segera ebablik. "Kamu menunggu apa lagi?" tanyanya kesal.

Luka langsung menyahut, "Maaf, Pak. Apakah tidak sebaiknya kita pulang besok saja. Bukan hanya karena mengingat kondisi Divya. Namun, tubuh Anda juga harus segera—"

Raymond segera mematahkan ucapan asistennya. "Kamu ini, masih mau membantah titahku?" serangnya seraya menatap sinis ke arah Divya. "Cepat persiapkan semuanya! Aku tidak mau mendengar alasan apapun lagi!" lanjutnya.

Air mata Divya terus mengalir deras melihat kepergian pria itu. Sedangkan, Devan tidak bisa bertindak banyak. Karena dirinya tidak mempunyai wewenang apapun kepada Divya. Dengan tatapan penuh rasa iba, Devan mulai merangkul bahu wanita itu.

"Jangan bersedih, Divya. Semua kerugian ini bukan sepenuhnya karena kelalaianmu. Raymond juga turut bersalah, Divya." Devan berusaha untuk membangkitkan semangat hidup wanita itu.

"Saya tidak tahu harus berkata apa, Pak. Dan bagaimana cara saya untuk membayar kerugian itu? Untuk hidup saja, saya masih bergantungan dengan orang lain," sahut Divya merasa bersedih.

"Aku yang akan membayarnya. Kamu jangan khawatir, Divya. Masih ada diriku di sini. Katakan saja jika kamu memerlukan bantuanku," ungkap pria itu dengan lembut.

Divya langsung menyentuh punggung tangan Devan. "Terima kasih banyak Pak Devan."

Setelah itu, Divya memutuskan untuk segera mengikuti titah Raymond. Dengan kondisi yang tidak stabil, ia rela mengorbankan segalanya demi menghargai perintah atasannya. Di dalam pesawat, Devan terus memantau suhu tubuh wanita yang ada di sebelahnya. Rasa cemas juga Luke rasakan pada saat itu. Tampak sesekali ia sibuk memberikan obat kepada Divya.

"Setelah sampai di bandara, aku akan membawamu ke rumah sakit. Tampaknya penyakitmu ini bukan hal yang bisa dianggap remeh. Suhu tubuhmu terus naik turun pada waktu tertentu." Devan masih terus mengompres dahi Divya.

"Sepertinya saya hanya merasa kelelahan saja, Pak. Tidak perlu terlalu khawatir seperti itu." Divya mencoba menenangkan hati pria yang ada di sampingnya.

"Jangan membantah, hal ini juga aku lakukan untuk kebaikanmu, Divya," sahut Devan dengan lembut.