Raymond segera melangkahkan kakinya menuju ruangan tamu. Wanita yang ada di sana pun segera berjalan mendekati sang kekasih. Ia juga segera memeluk tubuh kekar pria itu. Dengan tatapan penuh arti, Zeline kembali melepaskan pelukannya.
"Ada apa, Sayang? Kenapa kamu datang semalam ini?" tanya Raymond merasa sangat penasaran.
"Sayang, aku menginap satu malam di sini, ya? Aku merasa sangat merindukanmu." Zeline kembali memeluk tubuh Raymond.
Raymond sedikit mengerutkan dahinya. "Kenapa dia tiba-tiba ingin tidur di sini? Apa hal apa?" Raymond terus bertanya-tanya di dalam benaknya. "Baiklah, kalau begitu kita masuk ke dalam saja. Pasti tubuhmu sudah terasa sangat lelah."
"Iya, Sayang. Semua tubuhku terasa sangat pegal," ungkap wanita itu.
Raymond segera membawa Zeline masuk ke dalam kamar tamu. Hal tidak di sangka juga didapatkan secara mendadak dari wanita itu. Zeline dengan sangat agresif mulai mengecup bibir kekasihnya. Raymond tidak bisa menolak, ia hanya menikmati tiap-tiap lumatan manis yang sudah diberikan wanita tersebut.
Setelah puas melampiaskan birahinya, Zeline kembali memeluk tubuh Raymond. Masih banyak sekali pertanyaan yang mengitari kepala pria berparas rupawan itu. Secara refleks, ia kembali mengingat Divya. Bisa sangat berbahaya kalau Zeline mengetahui bahwa sekretarisnya tinggal di sebelah kediamannya. Ia pun segera mendorong tubuh Zeline.
"Maaf, Sayang. Ada hal yang aku lupakan. Tunggu sebentar di sini, ya." Raymond segera bangkit.
Zeline kembali menarik tangan pria itu. "Sayang, kamu mau ke mana? Temani aku tidur!" titahnya.
"Iya, nanti aku akan menemanimu tidur. Namun, aku harus pergi sebentar. Sebentar saja, ya." Raymond sampai menekankan setiap perkataannya dengan lenut agar Zeline mau mengizinkan dirinya untuk pergi sejenak.
Dengan tatapan intens, Zeline segera menganggukkan kepalanya. Setelah itu, Raymond pun langsung pergi dari sana. Ia segera mencari ponselnya dan memberitahu kepada Divya bahwa besok pagi, wanita itu tidak perlu mengurus keperluannya. Karena merasa sangat panik, ia sampai lupa menjelaskan alasan mengapa ia mengatakan hal demikian.
Divya yang baru saja mendapatkan pesan itu pun merasa sangat kelimpungan. "Mengapa dia mengirimkan pesan seperti ini? Apakah dia marah kepadaku? Hm, memangnya aku ada salah apa? Seingatku tidak ada mengucapkan sebuah perkataan yang dapat menyakitkan hatinya," gerutu Divya seraya kembali meletakkan ponselnya di atas nakas.
Pikirannya menjadi tidak tenang, ia juga berusaha menemui Raymond. Namun, setelah masuk ke sana, ia tanpa sengaja melihat ada sepatu berhak tinggi di depan pintu kamar yang ada di sebelah kamar utama. Kedua matanya langsung dipicingkan dan dengan sinis menatap ke arah pintu tersebut. Ia pun kembali melangkahkan kakinya.
"Hm, pantas saja Raymond melarangku untuk bekerja besok. Ternyata, dia sedang enak-enak dengan seorang wanita!" gerutu Divya dengan pelan.
Karena merasa sangat penasaran, ia pun mulai menempelkan telinganya pada pintu bernuansa emas itu. Namun, ia tidak bisa mendengar suara apapun dari sana. Sehingga, membuatnya masih terus berusaha untuk mendengarkan. Ia langsung terperangah ketika melihat kehadiran Raymond di belakangnya.
"A–a–a!" teriak Divya merasa sangat terperangah.
Raymond segera menutup bibir wanita itu dengan telapak tangannya. "Heh, jangan berteriak. Ini aku, Raymond! Kenapa kamu mengendap-ngendap di dalam rumahku?" tanya pria itu dengan intonasi yang sangat lembut.
"Mph!" Divya masih kesulitan berbicara karena tangan pria itu masih membekap bibirnya.
Raymond pun segera melepaskan cengkramannya. "Heh, kenapa ada di sini?" tanyanya kemudian.
"S–s–saya hanya ingin memastikan bahwa—" ucapan Divya langsung terpotong ketika mendengar suara dari dalam pintu kamar itu.
Dengan refleks, Raymond langsung menarik tangan sekretarisnya untuk bersembunyi di balik hiasan vas bunga berukuran jumbo yang ada di samping pintu itu. Divya langsung panik ketika mendengar suara wanita yang tidak asing di telinganya. Keringatnya mulai bercucuran, meskipun tidak merasa kepanasan. Dengan rasa cemas yang berlebihan, ia segera membekap mulutnya dengan telapak tangan.
"Sayang, suara siap tadi?" tanya Zeline setelah keluar dari dalam kamar.
"Hm, suara si–si–siapa, Sayang?" Raymond malah kembali bertanya kepada wanita itu.
Alis berbentuk Zeline langsung berkerut tajam. "Aku mendengar suara teriakan wanita dari di sini."
"Hah? Su–su–suara wanita? Wanita siapa?" Raymond masih merasa sangat cemas.
"Kenapa kamu terlihat cemas seperti itu? Ada seorang wanita di dalam rumah ini selain aku, ya?" sentak Zeline merasa curiga melihat gelagat kekasihnya.
Dengan spontan Raymond langsung menjawab, "Iya!"
Divya yang mendengar ucapan pria itu langsung tersentak. Ia pun segera memejamkan kedua matanya secara paksa. "Aduh, bodohnya Raymond! Kenapa dia bilang ada? Ish, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" pikirnya merasa semakin cemas.
Raymond langsung tersadar ketika melihat wajah tajam kekasihnya. "Eh, maksudku ada! Hm," ucap Raymond semakin berantakan. "Aduh, bodoh! Kenapa bibirku menjadi sangat sulit untuk diajak berbicara?" pikir Raymond semakin merasa ketakutan. "Hm, Sayang. Maksudku tadi, memang ada wanita selain kamu di sini. A–a–ada pelayanku soalnya. Pelayan yang bertugas membersihkan kediamanku. Jangan berpikir yang tidak-tidak, Sayang," jelas Raymond seraya kembali mengelus pucuk kepala Zeline.
Raut wajah tajam Zeline kembali netral. "Hm, awas kalau kamu membawa wanita selain diriku ke tempat ini, ya!" ancamnya.
"Hahaha, aku mana berani membawa wanita ke dalam rumahku selain kamu, Sayang," jawab Raymond dengan cepat. Kedua tangannya sudah terasa sangat dingin.
"Ih, semakin dungu, ya! Kenapa dia malah mengajak wanita itu untuk berbicara di depan pintu kamar? Cepat bawa masuk wanita aneh ini, Raymond!" gerutu Divya di dalam benaknya.
Kedua netra Raymond kembali melirik ke arah Divya. Wanita yang sedang bersembunyi di balik vas bunga pun langsung membulatkan kedua matanya kepada Raymond. Tangannya terus bergerak mengisyaratkan pria itu untuk segera mengajak kekasihnya masuk ke dalam kamar. Raymond langsung mengerti bahasa tanpa suara yang sudah di peragakan oleh sekretarisnya. Ia dengan cepat pun segera menarik tangan Zeline untuk masuk ke dalam sana.
"Argh, syukurlah! Kenapa tidak dari tadi dia mengajak wanita itu untuk masuk? Detik-detik yang sangat menegangkan! Hampir saja persembunyianku diketahui oleh wanita aneh itu. Kalau sampai ketahuan, nyawaku juga bisa melayang dibuatnya!" batin Divya.
Ketika ingin beranjak dari sana, Zeline malah keluar dari dalam kamar. Kedua netra berbentuk kacang almond yang ada di samping vas bunga langsung memikat tajam. Dengan cepat, ia langsung menundukkan tubuh dan memejamkan kedua matanya. Berharap semuanya akan berjalan sesuai dengan keinginan.
"A–a! Bisa mati beneran. Kenapa dia keluar tanpa memberitahu dan memberikan aba-aba?" pikir Divya merasa sangat takut.
Untungnya, Raymond selalu mendampingi kekasihnya ketika berjalan. Sehingga, Zeline hanya fokus menatap arah perjalanannya saja. Jantung Divya sudah berdetak tidak beraturan melihat mereka berdua. Setelah memastikan mereka sudah jauh melangkah, ia segera beranjak dari sana. Namun, ia merasa sangat buncah mau pergi ke mana.
"Aku pergi ke mana? Ke kamar Raymond? Ah, tidak mungkin! Namun, di lantai ini hanya ada kamar tamu dan kamarnya saja! Aku harus pergi ke mana? Kenapa hidupku menjadi sesulit ini?" gerutunya seraya terus memantau ke arah tangga. "Aku pergi ke kamar Raymond saja! Wanita itu tidak mungkin tidur di sana, 'kan? Ah, keterlaluan sekali jika hal itu terjadi!" lanjutnya.