Dengan langkah cepat, ia langsung pergi ke dalam kamar sang atasan. Ia juga langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur mewah itu. Ia sama sekali tidak memedulikan kondisi tubuhnya saat masuk ke dalam tempat yang kotor itu. Dengan kondisi yang sudah mengalami penurunan kesadaran, tanpa sengaja Divya malah tertidur di bawah sana.
Raymond pun masih merasa sangat penasaran setelah selesai menemani Zeline tidur. Ia masih memikirkan kondisi sekretarisnya. Karena sejak tadi ia tidak melihat kehadiran wanita itu di sana. Langkah kakinya kembali berjalan menuju susuru ruangan yang terdapat akses keluar masuknya udara.
"Dia tidak mungkin meloncat dari atas sini, 'kan? Kalau dia melakukan hal itu, sudah pasti dia akan cedera parah," gerutunya. "Hm, tidak mungkin! Jendela ini juga masih terkunci rapat." Raymond kembali berbalik arah.
Kedua alisnya masih bergelombang dan hampir bersatu. Kedua netranya kembali menatap ke arah vas bunga berukuran jumbo yang ada di sebelah kamar tamu. Dengan sangat konyolnya, ia mencoba memastikan bahwa Divya tidak bersembunyi di dalam tempat yang kosong itu. Ia segera tersenyum karena merasa seperti orang dungu.
"Haha, mana mungkin wanita itu masuk ke dalam vas bunga ini? Namun, dia pergi ke mana? Dan lewat dari mana? Aku tidak melihatnya sejak tadi." Raymond masih terus berasumsi buncah.
Karena merasa sangat pusing, akhirnya ia memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamarnya. Setelah sampai di sana, ia segera membersihkan wajahnya dan segera pergi beristirahat. Tubuhnya sudah terasa sangat remuk beraktivitas seharian tanpa jeda. Ketika ingin memejamkan kedua netranya, ia malah mendengar seperti ada suara napas halus di dalam sana.
Jiwanya mulai terguncang setelah mendengar suara tersebut. Ia pun langsung membangkitkan tubuhnya secara refleks. Raut wajahnya sudah sepucat lobak putih. Jantung dan cucuran keringat sudah tidak bisa terkondisikan. Namun, suara napas yang terdengar seperti memiliki irama yang sama.
"Bukan hantu! Namun, suara itu dari mana?" ia mulai mencari sumber suara menyeramkan itu.
Dengan mengandalkan kedua telinganya, ia mulai bertindak. Namun, suara yang terdengar halus dan menyeramkan itu semakin keras ketika ia mulai merunduk ke arah kolong tempat tidur. Dengan berat ia segera menelan salivanya. Sebelum melihat siapa yang ada di bawah sana, ia terlebih dahulu membaca doa keselamatan.
"Semoga bukan hantu! Siapapun yang ada di sini, tolong jangan menunjukkan wujud kalian, ya!" gerutunya.
Setelah sudah sejajar dengan kolong ranjang, ia pun secara perlahan membuka kedua matanya. Ia sampai tersentak ke belakang ketika melihat ada tubuh di bawah sana. Dengan sedikit keberanian, ia kembali memeriksa keadaan tempat itu. Sungguh terperangahnya Raymond ketika melihat wajah Divya. Ia secara refleks langsung tersenyum melihat wajah wanita itu.
"Argh, Divya! Kamu hampir membuatku mati berdiri di dalam kamar ini. Huft, ternyata suara aneh itu bersumber dari bibirmu! Haha, tapi kenapa dia tidur di bawah sini?" gerutu Raymond dengan pelan. "Kasihan juga, aku tidak mungkin membiarkannya tidur dalam keadaan seperti ini," lanjutnya.
Segala cara memulai Raymond lakukan untuk mengeluarkan sekretarisnya. Namun, caranya tidak ada yang berhasil. Akhirnya, ia nekat menarik kaki Divya sampai keluar dari sana. Dan anehnya, perempuan itu tidak terbangun setelah mendapatkan tindakan kasar dari pria tersebut.
"Hebat sekali, bahkan dia tidak terbangun setelah mendapatkan tarikan seperti ini?" gerutu Raymond merasa sangat takjub.
Dengan cepat, ia pun segera mengangkat tubuh sekretarisnya ke atas tempat tidur. Terlihat sangat menggemaskan wajah Divya. Raymond pun segera beranjak ke dalam kamar mandi untuk mengambilkan tisu basah. Namun, ia masih merasa sangat takut menyentuh wajah kotor sekretarisnya.
"Aku juga tidak mau melihat wajahnya dalam keadaan seperti ini. Bagaimana kalau wajahnya menjadi rusak karena tidak dibersihkan?" pikir Raymond merasa khawatir. "Hm, tidak ada salahnya juga kalau aku bersihkan. Permisi, Divya. Jangan terbangun, ya!" ungkapnya.
Setelah selesai membersihkan wajah wanita itu, ia malah tanpa sengaja terjatuh di atas tubuh Divya. Kedua wajah mereka pun saling menempel. Ketika ingin beranjak, Divya malah mengigau dan memeluk tubuh Raymond dengan erat. Bibir keduanya pun bersatu secara tidak disengaja.
Tatapan Raymond menjadi tersipu malu setelah melihat wajah sekretarisnya dari dekat. Dengan pelan, ia mulai bangkit dan mencoba melepaskan pelukan tersebut. Namun, Divya malah kembali menarik tubuhnya. Dengan raut wajah yang senang, Raymond malah memanfaatkan kondisi itu. Ia mulai melingkarkan tangannya pada bawah kepala Divya.
"Hm, wangi sekali tubuhnya. Dan kenapa jantungku jadi berdetak tidak karuan seperti ini?" Raymond kembali memfokuskan pandangannya pada Divya. "Secara tidak sengaja, bibirku dengan bibirnya sudah bersatu. Dan saat ini aku terkunci pada pelukannya. Bukan salahku, jika hal lain terjadi, 'kan?" lanjutnya. "Ah, tidak! Jangan bertindak brutal Raymond! Kamu tidak boleh melakukan hal keji kepada tubuh sekretarismu. Kamu pria terhormat dan berwibawa. Jangan lakukan sesuatu hal yang dapat merusak reputasi baikmu," ungkapnya kemudian.
Raymond langsung melepaskan dekapannya. Tubuh Divya pun secara kasar langsung terhempas ke bawah. Berkali-kali pria itu menelan salivanya. Birahinya sudah tidak bisa terkendalikan. Kemolekan tubuh sekretarisnya begitu sempurna dan terpampang dengan jelas.
Dengan cepat, Raymond langsung mengalihkan pandangannya. Namun, seketika juga ia kembali mengecup bibir Divya dengan hangat. Setelah itu, ia segera beranjak dari sana. Ia pun memilih untuk tidur di atas sofa.
"Huft, hampir saja aku melakukan tindakan asusila kepada wanita itu. Ada apa dengan otakku? Kenapa terus berpikir hal-hal melenceng seperti ini?" Raymond kembali memukul kepalanya. "Aku tidak akan sanggup menahan hasratku ini." Raymond kembali bangkit dari sana. "Lebih baik aku tidur di ruangan tamu saja!" Ia segera beranjak dari sana.
Cahaya terik sang mentari pun mulai menembus celah angin yang ada di dalam kamar. Divya mulai membuka kedua matanya dan bangkit dari sana. Ia juga merasa terperangah ketika melihat suasana tepat itu. Ia kembali membuka dan menutup kedua matanya secara sistematis.
"Wait! Semalam aku tidur di mana? Di dalam kamar Raymond? Oke, benar. Namun, aku tidak tidur di atas tempat tidur. Melainkan di bawah tempat ini. Dan kenapa sekarang aku ada di atas? Siapa yang sudah memindahkan tubuhku? Raymond?" Divya langsung menutupi bagian dadanya. "Apa saja yang sudah dia lakukan kepada tubuhku?" tanyanya merasa khawatir.
Ketika ingin beranjak dari sana, ia malah merasa khawatir ketika melihat engsel pintu yang mulai terbuka. Dengan cepat, ia segera berlari ke balik pintu kamar. Benar saja dugaannya, ternyata Zeline yang masuk ke dalam sana. Dengan tampang khawatir Divya masih memejamkan sebagian netranya.
"Bisa mati! Kenapa dia masuk ke dalam kamar ini? Ke mana Raymond?" pikirnya merasa sangat cemas. "Aduh, kalau dia berbalik, sudah pasti akan melihat wajahku di sini. Aku harus segera pergi!"
Dengan modal nekat, Divya segera beranjak dari sana. Untungnya, ia berhasil kabur dari sana tanpa diketahui oleh Zeline. Ia langsung berlari panik menjauhi tempat tersebut. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat kehadiran Raymond di dalam ruangan tamu.
"Jadi, dia tidur di sini?" tanya Divya seraya kembali memastikan keadaan di sana.