Divya merasa sangat bersyukur setelah sampai di depan rumah. Zeline memang termasuk ke dalam golongan manusia yang sangat berbahaya. Ia sangat terobsesi dengan Raymond. Sampai ia nekat ingin mencelakai setiap wanita yang berani mendekati kekasihnya. Setelah masuk ke dalam rumah, Divya kembali mengerucutkan pandanganya.
"Eh, siapa itu? Kenapa seperti ada yang berjalan di dalam dapur?" tanya Divya merasa penasaran.
Divya mulai berjalan secara berhati-hati. Ia juga tidak lupa mengambil sapu untuk dijadikan senjata perlindungannya. Kedua matanya langsung membuat setelah melihat ada seorang pria di dalam sana. Dengan teriakan, ia mulai mengibaskan benda yang ada di tangannya kepada punggung pria tersebut.
"A–a–a, maling! Mati kau! Biar tahu rasa! Kenapa masuk ke dalam rumahku? Berani sekali!" teriak Divya merasa sangat ketakutan.
"Eh, Divya! Ini aku!" Luke berusaha untuk menenangkan wanita tersebut.
Divya merasa sangat terperangah melihat kehadiran Luke di dalam rumahnya "Waduh, Pak Luke? Benarkah ini Anda?" Divya segera menghentikan tindakannya.
"Aduh, wajahku bisa hancur tersentuh oleh benda ini. Kenapa masih terus memukulku, Divya? Aku sudah mengatakan bahwa ini diriku!" Luke masih menyentuh wajahnya yang terasa sakit.
Divya mencoba menyentuh wajah pria itu. "Aduh, maaf. Saya pikir Anda maling, Pak. Kenapa masuk ke dalam rumah saya dengan cara mengendap-endap, Pak?" tanya Divya merasa penasaran.
"Aku hanya ingin meletakkan makan ini di atas meja makan." Luke masih terus menyentuh wajahnya.
Karena merasa sangat bersalah, akhirnya Divya memutuskan untuk mengompres wajah Luke yang terlibat memar. "Maafkan tindakan saya, ya. Saya benar tidak tahu kalau Bapak yang sudah masuk ke dalam rumah saya."
"Iya tidak apa-apa, Divya. Salahku juga karena masuk tanpa permisi kepadamu," ungkap Luke seraya mengambil kompres yang masih menganggur di dalam air hangat.
Divya dengan intens kembali menatap wajah Luke. "Tadi aku bertemu dengan Zeline di halte bis." Divya langsung menghentikan aktivitasnya.
Luke langsung tersentak. "A–a–apa? Zeline mendatangi kamu?" Ia merasa sangat terperangah mendengar ucapan wanita itu.
Divya segera mengangguk. "Benar, Pak. Dia memberikan peringatan kepada diriku untuk menjauhi Pak Raymond. Aneh sekali, dia memang seperti itu, ya?"
"Benar, dia memang wanita yang aneh. Namun, dia tidak menyakitimu, 'kan?" Luke merasa sangat khawatir
"Tidak, Pak. Untungnya saya bertindak cepat, Pak. Sepertinya dia memang ingin mencelakai saya. Setelah kepergian saya dari sana, dia seperti menghubungi seseorang melalui ponsepnya." Divya kembali melanjutkan aktivitasnya.
Setelah selesai mengompres luka beram yang ada di wajah Luke. Divya segera menawarkan kepada pria itu untuk makan bersamanya di sana. Namun, Luke menolak ajakannya. Ia mengatakan ingin segera balik ke kediamannya untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum sempat terselesaikan. Divya hanya bisa diam dan menatap kepergian pria tersebut.
Kedua netra Divya kembali menatap jam dinding yang terpajang di tengah ruangan. "Sudah jam tujuh malam. Aku harus segera bersiap membersihkan diri. Setelah itu, aku akan menemui Raymond di dalam rumahnya. Namun, apa yang ingin ia diskusikan kepadaku? Aku harap bukan sebuah masalah yang serius." Divya merasa sangat khawatir.
Setelah selesai bersiap-siap, Divya segera pergi ke rumah Raymond. Pria tampan itu, ternyata sudah menunggu kehadirannya di ruangan tengah. Ia pun segera berjalan cepat untuk menyapa sang atasan. Tatapan tajam Raymond segera tertuju kepada Divya yang baru saja berdiri di hadapannya.
"Kenapa lama sekali? Kamu ini seperti bosnya saja! Cepat duduk di sana! Ada hal penting yang ingin aku bicarakan kepada dirimu!" titah Raymond seraya terus menatap wajah sekretarisnya.
Setelah duduk Divya segera bertanya, "Ada hal apa yang ingin Anda bahas dengan saya, Pak?"
"Hm, mengenai proyek lusa. Kita mendapatkan undangan pekerjaan di luar kota. Bukan berdua, kita akan pergi berempat bersama dengan asistenku dan Devan. Aku harap ketersediaanmu di sana. Sebenarnya tidak menjadi masalah, jika kamu tidak hadir pada proyek itu. Karena akan ada Luke yang meng-handle semua urusanku. Namun, peranmu juga tidak kalah penting untuk menarik perhatian petinggi perusahaan asing. Bagaimana? Jangan khawatir tentang uang. Aku akan memberikan satu bulan gaji pokokmu untuk hal itu," papar Raymond seraya memberikan beberapa dokumen kepada Divya. "Hafalkan isi di dalam berkas itu dengan segera. Aku tidak mau ada kesalahan."
Divya segera mengambil dokumen tersebut. Pikirannya menjadi sangat kacau karena isi di dalam berkas itu sangat banyak. Namun, kelogisannya kembali bergejolak ketika Raymond membahas soal kompensasi. Dengan tatapan yang sama, ia kembali menegakkan kepalanya.
"Baik, Pak. Saya akan berusaha sebisa saya untuk menghafal semua berkas ini. Namun, ke mana kita akan pergi?" tanya Divya merasa sangat penasaran.
"Kita akan pergi ke pulau Sumatera. Lebih tepatnya ke Sumatera Utara. Ada banyak perusahaan properti yang sedang merencanakan pembangunan besar di sana. Namun, mereka masih kekurangan dana untuk melaksanakan tujuan mereka. Aku harap kita bisa menyuntikkan dana sebanyak enam puluh persen kepada perusahaan mereka," jelas Raymond seraya mengelus dagunya dengan lembut.
Divya kembali menatap berkas yang ada di sana. Hatinya merasa sedikit ragu, karena kali ini ia pergi bersama tiga pria dewasa. Hal-hal buruk kembali mengitari isi di dalam kepalanya. Namun, ia kembali menguatkan hatinya untuk melakukan pekerjaan itu.
"Demi uang, Divya! Ingat, tujuan utama bekerja di sini. Hanya untuk uang dan menjadi orang kaya," gerutunya di dalam hati.
"Kamu sudah makan?" tanya Raymond untuk mencairkan suasana beku.
"Belum, Pak. Namun, saya akan segera makan setelah ini," jawab Divya dengan cepat.
"Baguslah, kamu harus banyak mengkonsumsi makanan bergizi. Tubuhmu itu terlalu kurus. Aku takut kamu tidak akan kuat menjalani rutinitas barumu yang berat ini," gumam Raymond seraya mengalihkan pandangan wajahnya ke sembarang arah.
Senyuman dari bibir Divya segera bergulir indah. "Kenapa dia sangat perhatian seperti ini? Jangan bilang dia sudah mulai tertarik kepada diriku," gerutunya di dalam batin.
"Jangan senyum seperti itu, aku melakukan ini atas nama kemanusaiaan. Jangan berpikir yang tidak-tidak," gerutu Raymond dengan pandangan yang sudah menatap serius ke arah Divya.
Divya langsung merubah ekspresi wajahnya. "Maaf, Pak. Saya tidak berpikir yang aneh-aneh tentang Bapak. Kalau tidak ada pembahasan lagi. Saya izin balik ke rumah saya, Pak."
"Baliklah, aku juga merasa sangat muak melihat wajahmu sepanjang hari!" pungkas Raymond dengan ketus.
"Aku juga demikian! Argh, kamu pikir aku senang terus melihat wajah dinginmu itu?" gerutu Divya di dalam pikirannya.
Setelah Divya berbalik, Raymond segera melirik kepergian sekretarisnya. Ia juga langsung tersenyum ketika melihat punggung wanita itu. Ada kepuasan tersendiri ketika menatap wajah sekretaris cantiknya.
"Wanita itu memang beda dari yang lainnya," ucap Raymond secara tidak sadar.
Ia pun segera beranjak dari sana untuk mengistirahatkan tubuhnya. Tidak lama setelah kepergiannya, seorang pelayan kembali mengganggu waktu tenangnya. Dengan raut wajah kesal, ia segera membuka ruangan itu. Wanita paruh baya yang ada di sana, mengatakan bahwa ada kehadiran Zeline di depan rumah.
"Kenapa Zeline datang ke sini? Ada perihal apa?" gerutu Raymond setelah melihat kepergian pelayan wanita itu.