"Cepat! Ikuti aku!" titah Raymond kemudian.
Pria itu masih tidak berani menatap wajah wanita yang ada di sebelahnya. Takutnya ia akan semakin tertarik kepada sekretarisnya. Divya tidak banyak berbicara saat itu. Ia hanya mengikuti dan membantu Raymond dalam berbelanja.
"Ada apa dengan Raymond? Suasana hatinya gampang sekali berubah. Dia menjadi dingin dan cuek begitu. Bahkan, ia tidak ada sedikitpun menatap wajahku ketika berbicara. Dia kenapa? Apakah dia merasa menyesal sudah membayarkan tagihan perawatan tadi?" Divya terus menggerutu di dalam benaknya.
Raymond kembali meneguk salivanya dengan berat. "Aku tidak akan kuat melihat penampilannya yang seperti itu. Sangat menawan dan berbeda dari biasanya. Aku juga tidak akan bisa menepati janjiku untuk tetap setia kepada Zeline," pikir Raymond.
Hari sudah berubah menjadi sangat gelap. Divya pun merasa sedikit cemas ketika melihat arlojinya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun, mereka berdua masih berada di jalan raya. Ditambah lagi, perjalanan mereka harus terhambat di tengah-tengah kota.
Ternyata, Raymond menyadari kecemasan Divya. Ia berkali-kali melirik ke arah wanita yang ada di sampingnya. Ia pun mulai menghidupkan lagu untuk merilekskan suasana tegang. Sesekali, ia kembali mantap wajah Divya.
"Waktu sudah terlalu malam. Kamu mau aku antar ke mana?" tanya Raymond untuk meringankan kecemasan Divya.
Divya langsung mengalihkan pandangannya kepada Raymond. "Pulang ke rumah saya saja, Pak," lirihnya.
"Ke rumah kamu? Tadi aku sudah memerintahkan kepada Luke untuk memindahkan seluruh barang-barangmu ke tempat yang baru." Raymond juga kembali mengalihkan pandangannya kepada Divya.
Divya langsung menarik satu sudut bibirnya. "Kalau sudah tahu begitu, kenapa Bapak malah bertanya kepada saya?" celetuknya merasa kesal.
Raymond langsung tersenyum seraya kembali meluruskan pandangannya. "Hahaha, kenapa kamu begitu serius menanggapinya?"
Divya kembali menggerutu, "Bapak selalu saja membuatku merasa kesal. Besok pagi bagaimana, Pak? Saya harus datang ke rumah Bapak lagi?"
"Tentu saja, kamu harus menyiapkan semua keperluan pribadi saya. Bisa memasang dasi?" tanya pria itu serius.
"Tentu saja biasa, Pak!" jawab wanita itu dengan spontan. "Argh, kenapa mulutku ini terlalu lancar dalam berbicara?" ungkap Divya di dalam benaknya. Ia merasa menyesal telah mengucapkan kebenaran tersebut.
"Baguslah," ucap Raymond dengan singkat.
Divya sangat terperanjat setelah melihat kediaman barunya. Tempat itu ternyata ada di sebelah kediaman Raymond. Ia juga tidak menyangka bahwa rumah mereka saling tersambung. Hal tersebut juga diketahui ketika Raymond menjelaskannya. Secara tidak langsung, mereka masih tinggal dalam satu rumah. Namun, hanya tampak di luar saja yang terlihat seperti dua rumah yang berbeda.
"Semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi di antara kami berdua. Aku juga tidak tahu motif apa yang sedang Raymond rencanakan ke depannya. Dia itu lelaki penuh siasat! Kalau seperti ini, secara tidak langsung kami sudah tinggal di dalam satu rumah, 'kan?" tanya Divya di dalam benaknya.
Setelah masuk, Divya segera mencari kamar utama dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur berukuran king size. Tubuhnya sudah terasa sangat lelah dan sangat sulit untuk kembali digerakkan. Keesokan paginya, setelah selesai merapikan seluruh isi yang ada di dalam kamar Raymond. Divya segera kembali ke dalam kediamannya untuk membersihkan diri. Setelah selesai, ia segera beranjak dari sana untuk berangkat bekerja. Namun, ia kembali terperanjat, Raymond tanpa permisi sudah duduk di dalam ruangan tamu.
"Pak, Raymond? Kenapa Anda ada di dalam rumah saya?" tanya Divya merasa kesal.
Raymond dengan santai mulai membangkikan tubuhnya. Ia pun kembali berjalan mendekati Divya. Raut wajah khas semakin menekankan perasaan wanita yang ada dihadapannya. Dengan cepat, ia segera mengeluarkan seuntai kain yang biasanya di rekatkan pada kerah kemeja.
"Kamu jangan melupakan hal ini, Divya. Kamu belum memasang dasiku," ungkap Raymond seraya memberikan benda itu kepada Divya.
Divya segera meraih dasi yang ada di tangan Raymond. Dengan sangat lembut, ia mulai melingkarkan tangannya pada leher pria itu. Kini, wajah mereka sangat berdekatan. Aktivitas Divya pun sejenak berhenti. Jantungnya mulai berdetak secara abnormal.
"Tuhan, tolong aku. Aku tidak bisa menahan hasratku ini," gerutu Divya di dalam benaknya.
Ia pun kembali memasangkan dasi pada kerah kemeja pria tersebut. Raymond juga merasakan hal yang sama. Kedua netranya masih sangat intens melihat wajah sekretaris muda menawan itu. Dengan satu tegukan saliva, ia kembali menatap tempat yang tidak seharusnya ia tilik.
Bibir merah muda Divya begitu menawan, tipis, dan sangat indah. Raymond secara tidak sadar langsung menyentuh bagian itu dengan tangannya. Divya yang tersadar pun segera menjauhkan posisi tubuhnya. Ia kembali menyentuh bagian yang sama.
"Kenapa Anda menyentuh bibir saya? Apa yang sedang Anda pikirkan, Pak?" tanya Divya merasa tertekan.
Raymond langsung memalingkan pandangannya. "Hm, maaf. Tadi ada sisa makanan di sana. Aku hanya mencoba membersihkannya saja. Kamu jangan terlalu berpikir kotor tentang diriku," ucap Raymond merasa terperanjat.
Divya segera menyeka seluruh permukaan bibirnya. "Dasinya sudah saya pasangkan, Pak. Cobaa kembali di periksa. Siapa tahu kurang rapi!" gerutu Divya dengan melempar tatapan tajam kepada pria itu.
Raymond segera berjalan mendekati cermin datar yang ada di ruangan tengah. "Dia sangat handal dalam segala hal," pujinya di dalam hati. "Sudah, cepat bergegas masuk ke dalam mobilku!" titahnya kepada Divya.
Divya langsung membulatkan kedua matanya. "A–apa, Pak? Masuk ke dalam mobil Anda?"
"Iya, memangnya kenapa?" tanya Raymond merasa heran.
"Maksud Bapak, kita mau pergi bersama ke kantor?" tanya Divya sekali lagi.
Raymond langsung berbalik dan kembali berjalan. "Iya, memangnya kenapa? Ada yang salah dengan tawaranku ini? Cepat bergerak! kamu mau aku tinggal?" Ia kembali mengalihkan pandangannya ke belakang.
Divya pun segera berjalan mengikuti langkah kaki sang atasan. "Seriusan saya boleh pergi bersama dengan Bapak?" tanyanya setelah berhasil menyamakan posisi berjalan dengan Raymond.
"Berapa kali harus aku mengulangi ucapanku tadi? Sepertinya telingamu itu memang sudah bermasalah, ya!" pekik Raymond mulai merasa kesal dengan sikap sekretarisnya.
Divya langsung menghentikan perjalanannya. Ia kembali menatap kepergian Raymond dengan tatapan kesal. Namun, kelogisan pikirannya kembali bergejolak. Keterpaksaan kembali menyelimuti aktivitasnya.
"Kalau tidak terikat dengannya. Mungkin saja aku sudah menolak hal ini. Pilihanku ini tidak salah, 'kan? Aku juga tidak mau disebut sebagai wanita perusak hubungan orang lain." Divya masih terus berpikir.
Semua karyawan kantor sampai berbisik ketika melihat kebersamaan mereka. Hal tersebut juga membuat Divya merasa tertekan. Namun, sebisa mungkin ia tetap terlihat tenang dan berjalan di belakang Raymond. Telinganya juga sempat mendengar cibiran salah satu karyawan lain.
"Dia pasti sudah merayu Pak Raymond," ucapan salah satu karyawan wanita.
"Benar, Pak Raymond sebelumnya tidak pernah seperti itu kepada sekretarisnya. Aku dengar, wanita itu juga mendapatkan satu rumah dari Pak Raymond."
"Wah, fantastis sekali. Pasti mereka sudah berhubungan yang lain, ya. Kalau tidak, mana mungkin Pak Raymond sampai seperti itu kepada dirinya."