Chereads / CEO's Revenge / Chapter 7 - Tidak Tahu Malu

Chapter 7 - Tidak Tahu Malu

Pagi itu, setelah Arya menemani Diana di rumah sakit dan berbincang-bincang dengan calon mertuanya, ia kembali ke rumahnya untuk mandi, dan beristirahat sebentar sebelum berangkat ke kantor.

Sesampainya di rumah, Arya langsung masuk ke kamarnya tanpa menyapa Jimmy dan Nia terlebih dahulu yang sedang bersantai di ruang tengah.

Jimmy dan Nia adalah orangtua Arya, walaupun Nia bukan ibu kandung Arya tetapi ia sangat menyayangi anak tirinya itu.

Arya mempunyai dua orang saudara perempuan, mereka tinggal di luar negeri mengurusi kerajaan bisnis milik Jimmy. Saat Arya kembali ke rumahnya, Nia keheranan dengan sikap anak tirinya yang bersikap acuh tak acuh terhadap Nia.

"Ada apa dengan Arya, Pa?" Tidak biasanya dia cuek begitu," ucap Nia pada Jimmy yang sedang membaca surat kabar.

"Ya sudah biarkan saja, mungkin Arya sedang ada masalah di kantor," jawab Jimmy santai.

"Semalam juga tidak pulang ke rumah ... aku mau berbicara dengannya, ya," balas Nia.

"Jangan, Nia."

Ibu tiri Arya pun urung menghampiri anak tirinya ke dalam kamar Arya. Memang benar ucapan Jimmy tadi, kalau ia tidak perlu mencampuri urusan anak-anaknya, mereka semua sudah dewasa.

Sementara Arya sendiri tidak langsung membersihkan dirinya sepulang dari rumah sakit, sepertinya dia masih belum bisa melupakan kata-kata Diana tadi.

Arya berbaring di tempat tidur sambil memikirkan rencana pernikahannya dengan Diana, tapi sebelum menikah ia harus memastikan dahulu siapa laki-laki yang selalu disebut-sebut oleh Diana.

Sepuluh menit kemudian Arya memutuskan untuk mandi dan bersiap-siap berangkat ke kantor. Arya berharap setelah bertemu Ryan nanti dia akan menemukan jawabannya.

Tepat pukul 11 siang Arya masuk ke sebuah ruangan untuk menemui rekan bisnisnya, Ryan Prawira. Kedua laki-laki itu kemudian saling menyapa satu sama lain, mereka terlihat sangat dekat seperti tidak ada persoalan pribadi di antara Arya dan Ryan.

"Ryan, my friend. How are you?" Arya menyapanya dengan ramah.

"Arya ... Arya, makin keren saja lo. Ada apa ini? Lo mau ngomong apa sama gua? Kelihatannya serius banget," tanya Ryan penasaran.

"Santai aja, Yan. Tidak usah tegang begitu wajahnya," jawabnya sambil menarik kursi di hadapan Ryan.

"Oke." sahut Ryan.

"Jadi gini, gua ngundang lo ke sini karena ada sesuatu yang mau dibicarakan sama lo, penting," jelas Arya tanpa basa-basi.

"Rencananya sekitar dua bulan lagi saya mau menikah dengan Diana," lanjutnya sambil menatap tajam pada Ryan.

Deg! Apa?? Mereka mau married?? Ryan membatin, seketika ia terkejut dan tidak dapat menyembunyikan perasaannya di hadapan Arya.

"Ma--married? Hmm ... kok mendadak banget?" tanya Ryan bingung.

"Tidak mendadak kok, Yan."

"Congrats ya kalau begitu. By the way, bagaimana kabarnya tunangan lo?" Tiba-tiba Ryan merasa ingin bertemu dengan Diana lagi.

"Kabarnya kurang baik, semalam dia masuk rumah sakit." Arya menghela napas panjang.

"Masuk rumah sakit?? Gua harus menjenguk Diana sekarang juga, sorry gua pergi dulu," balas Ryan tergesa-gesa.

Sikap dan gerak-gerik Ryan yang seakan-akan sangat mengkhawatirkan Diana membuat kecurigaan Arya semakin kuat bahwa di antara mereka berdua memang ada hubungan.

Ryan pun memasukkan ponsel ke dalam saku kemejanya lalu cepat-cepat beranjak dari ruangan tersebut.

"See you later, Ya." Ryan tersenyum dan menepuk-nepuk bahu Arya.

Sementara Arya tidak mencegah atau menghalangi Ryan untuk menemui tunangannya di RS. Dana Mulia, dia sedang memikirkan sebuah rencana baru.

Ternyata hanya dengan sedikit umpan saja, akhirnya Arya berhasil memancing emosi dan perasaan Ryan tanpa harus mendesaknya.

Kita lihat saja nanti, siapa yang bakal Diana pilih untuk menjadi calon suaminya. Gua atau lo, Yan? Pikir Arya.

Mengetahui Diana sakit dan dirawat di Rumah Sakit Dana Mulia, Ryan bergegas mememui Diana yang memang sedang merindukan laki-laki itu.

Ryan juga ingin menanyakan langsung pada Diana apa benar kalau dia akan menikah dengan Arya, anak dari orang yang sudah menyebabkan keluarganya jatuh miskin?

Walau bagaimanapun dia tidak akan melepaskan Diana dari tangannya, Arya harus merasakan semua yang pernah dirasakan Ryan selama bertahun-tahun. Penderitaan, sakit hati, juga kehilangan perusahaan keluarga sehingga kedua orangtuanya menjadi depresi.

Sementara Diana terpaksa menuruti keinginan kedua orangtuanya untuk segera menikah dengan Arya, walaupun sebenarnya dia hanya ingin menikah dengan Ryan.

"Diana, kamu harus secepatnya menikah dengan Arya," tukas Martha.

"Pa, Ma, tolong jangan bahas itu lagi." Diana memohon.

"Kamu jangan meragukan Arya, dia itu calon suami yang baik dan bertanggung jawab," imbuh Martha meyakinkan putrinya.

"Betul, Diana. Kamu harus mau menikah dengan Arya dan jangan tolak dia lagi." Andre menasihati putrinya.

Pasti Arya sudah berkata ke papa dan mama kalau kemaren saya bertengkar dengan dia karena saya tidak mau menikah. Diana membatin.

"Tapi Arya itu kasar dan emosian. Tidak seperti Ryan yang baik dan tidak pernah bersikap kasar terhadap siapapun," sahut Diana jujur.

"Ryan?? Siapa lagi itu? Selingkuhan kamu?" tanya Andre tajam.

"Bukan, dia bukan selingkuhan saya, Pa." Diana menyesal sudah terang-terangan menyebut nama Ryan di depan papanya.

"Pa, sebaiknya kita minta agar Arya mempercepat pernikahannya dengan Diana. Mama gak mau kejadian waktu itu terulang lagi."

"Nanti kita bicarakan lagi setelah anakmu pulang dari rumah sakit," balas Andre.

Sesampainya di rumah sakit, Ryan segera memarkirkan sedan hitamnya di depan lobby. Ryan rindu pada wanita itu, ya rindu untuk mengajaknya kencan dan bersenang-senang.

Cinta Ryan dikalahkan oleh benci dan dendam yang membara terhadap Arya juga keluarga Arya. Dia menginginkan Diana sepenuhnya, cepat atau lambat Ryan akan menikahi calon istri Arya.

Ryan bergegas masuk ke dalam lobby rumah sakit, lalu menghampiri petugas bagian informasi yang berada di sebelah kanan dari pintu masuk utama.

"Siang, Mba," sapa Ryan ramah.

"Siang, Pak. Ada yang bisa kami bantu?" tanya petugas wanita.

"Saya mau tanya, kalau pasien atas nama Diana Kartika dirawat di ruang mana, ya?"

"Baik, tunggu sebentar. Kami cari dulu pasien dengan nama tersebut."

Kemudian petugas tadi meminta bantuan temannya untuk mencari data yang dimaksud, sementara ia sendiri melayani pengunjung lainnya yang berdiri tepat di samping Ryan.

Tidak sampai lima menit, petugas itu pun menemukan nama Diana Kartika yang dirawat di Ruang Delima 3, VIP 1 Kamar Nomor 3.

"Pak, pasien atas nama Diana Kartika dirawat di Ruang Delima 3, VIP 1 Kamar nomor 3, ya."

"Terimakasih infonya, Mba."

"Sama-sama, Pak."

Sesudah mengetahui kamar rawat inap Diana di Delima 3, maka Ryan mempercepat langkahnya untuk menemui tunangan Arya.

Pokoknya hari ini juga saya akan melamar kamu, Di. Saya tidak peduli dengan Arya, karena kamu adalah milik saya. Ryan membatin.

Tepat jam 12 siang Andre dan Martha pergi ke kantin untuk makan siang, sedangkan Diana harus memakan menu sehat yang disediakan dari rumah sakit.

Ketika petugas yang biasa mengantarkan makanan untuk pasien di VIP 1 dan VIP 2 masuk ke dalam kamar Diana, saat itu pula itu pula Ryan menerobos masuk tanpa permisi.

"Diana ..." Ryan memanggil Diana sambil berlari menghampirinya.

Waktu itu Diana sedang menonton TV untuk mengusir kebosanannya selama menginap di rumah sakit. Mendengar namanya dipanggil seseorang ia pun menoleh ke arah suara itu.

"Ryaan ...? Kamu di sini?" tanya Diana kaget bercampur senang.

"Iya, Sayang."

Lalu dengan cepat Ryan mengecup kening Diana dan memeluknya seerat mungkin. Untungnya kedua orangtua Diana tidak ada di sana, kalau mereka tahu pasti Andre dan Martha akan sangat marah kepada pasangan tidak tahu malu itu.

******