"Wah, haruskah aku memberikanmu hadiah? katakan apa yang kau inginkan?" Athanasia takjub dengan pengetahuan pelayannya ini.
Olivia kembali membungkuk, "Terimakasih Yang Mulia, tapi itu memang hal yang harus dan wajib saya ketahui untuk melindungi Anda."
"Tapi tetap saja kau harus diberi hadiah. Kau bisa memikirkannya dan katakan padaku apa yan g kau inginkan nanti."
Olivia hanya mendesah pelan, "Baiklah Yang Mulia, terimakasih."
"Bukan hal yang besar. Nah sekarang aku ingin tidur, bisa kau kendurkan sedikit ikatan gaunku? jika seperti ini saat tidur, bisa-bisa tanpa getah tanaman liar itu aku terkena gangguan pernapasan." Olivia terkekeh pelan mendengar perkataan Putri Athanasia,
"Baiklah, karna anda baru pulih saya tidak akan terlalu ketat." Lalu ia mulai mengendurkan sedikit tali gaun Putri Athanasia,
"Ah jika begitu, kuharap aku akan selalu sakit."
"Tuan Putri, anda tidak boleh berkata seperti itu." Olivia tidak suka dengan perkataan Athanasia barusan.
"Aku hanya bercanda, Olivia."
"Meskipun begitu Anda tidak boleh bercanda tentang kesehatan Anda. Masa depan Arandelle ada ditangan Anda, banyak masyarakat yang berlindung dibawah kepemimpinan Anda." Athanasia mendesah pelan, "Baiklah aku paham."
"Terimakasih. Nah sudah selesai, anda bisa istirahat sekarang." Ucap Olivia saat ia telah selesai mengendurkan ikatan gaun majikannya, "Saya akan mengeluarkan semua pelayan, anda bisa istirahat dengan tenang. Jika butuh sesuatu, Anda bisa membunyikan lonceng kecil itu." lantjutnya seraya menunjukkan sebuah lonceng kecil yang ada diatas nakas.
Athanasia mengangguk kecil, "Haahhh, leganya. Sekarang aku bisa bernapas dengan lega." ucapnya, ia kemudian naik keatas ranjang dan berbaring. Padahal baru setengah hari ia menjalani kehidupan sebagai seorang Princess, tapi rasanya selelah ini. Tanpa butuh waktu lama Athanasia langsung tertidur lelap, terlihat dari napasnya yang mulai teratur.
Setelah memastikan Tuan Putri-nya tidur, Olivia keluar dari ruangan mewah itu bersama pelayan lainnya. Mereka tidak pergi kemana pun, melainkan berjaga didepan pintu kamar.
****
"Anda memanggil saya Yang Mulia?" tanya seorang pria tampan berusia 28 tahun, dari pakaiannya yang mirip dengan pakaian militer, ditambah dengan pedang yang menggantung dipinggangnya. Bisa dipastikan pria bersurai hitam legam ini merupakan seorang ksatria.
"Bagaimana kondisi perbatasan Carna?" Clude bertanya tanpa melihat lawan bicaranya.
"Kondisi aman terkendali Yang Mulia, putra Grand Duke Biliard memimpin pasukan dengan sangat baik." lapor pria tampan itu.
"Putra Duke Biliard? calon Lord dari keluarga Biliard?"
*Lord: Penguasa tertinggi disebuah desa atau kota, yang akan melaporkan masalah desa tersebut kepada Raja.
"Benar Yang Mulia."
"Baiklah, utus orang lain untuk mengawasi Duke muda itu dan daerah perbatasan Carna. Aku punya tugas lain untukmu." perintah Clude,
"Baik Yang Mulia," jawab pria itu sambil membungkuk hormat.
"Athanasia sudah sadar," Felix, ksatria sekaligus tangan kanan Raja itu terkejut mendengar kabar menggembirakan itu.
"Lantas apa yang anda khawatirkan?" Felix dapat melihat kekhawatiran diwajah Sang Raja.
Clude bangkit dari kursinya lalu berjalan kearah balkon, dengan pandangan yang lurus kedepan ia berucap. "Tapi dia hilang ingatan, dan hari ini dia meminta hal yang dulu sangat tidak ingin dilakukannya." perkataan Sang Raja membuat Felix kembali terkejut, tapi ia tidak mengatakan apa pun dan menunggu pemimpin Arandelle itu menyelesaikan kalimatnya.
"Memanah dan pedang, aku ingin kau melatihnya langsung. Dan lakukan secara rahasia." perintah Clude, ia menatap ajudannya itu, Felix yang mengerti arti tatapan Rajanya langsung mengangguk paham, "Baik Yang Mulia."
"Tapi sebelum itu, aku ingin kau mengajarinya bela diri terlebih dahulu. Dan jadilah pengawal pribadi untuk Athanasia."
"Tapi Yang Mulia, bagaimana dengan Anda?" Felix merupakan bangsawan dari keluarga Viscount yang sudah mengabdi secara turun temurun untuk menjadi pengawal pribadi Raja, itu sebabnya meskipun usia Felix masih tergolong muda dibanding ksatria lainnya ia bisa menjadi pengawal Raja. Tapi kemampuan pria ini tidak diragukan lagi.
"Untuk sekarang Athanasia lebih membutuhkan pengawal, kau harus menjaganya dengan nyawamu." titah Clude,
Felix membungkuk, "Baik Yang Mulia."
"Sekarang kau boleh pergi!" Felix membungkuk hormat lalu pergi dari ruangan itu, tujuannya sekarang adalah kamar Athanasia. Calon Putri Mahkota Arandelle.
***
Sementara itu dikamarnya Luisa meraung, menangis histeris dan menghancurkan segala barang yang ada. Penghinaan yang diterimanya hari ini benar-benar membuatnya terluka. Tatapan hina, remeh dari putri itu akan ia ingat. Ia bersumpah akan membalas penghinaan yang ia terima hari ini berkali-kali lipat.
"ADA APA INI?!" sentak Rasta saat ia memasuki kamar putrinya. Ia baru saja keluar untuk menemui seorang wanita tua, tapi sialnya wanita tua itu sedang pergi entah kemana. Dan saat kembali kekediamannya ia mendapat laporan jika Luisa, putrinya sedang menangis histeris setelah kembali dari kediaman Athanasia.
Betapa terkejutnya wanita cantik itu saat melihat kamar putrinya sudah tidak pantas lagi disebut kamar. Sangat tidak mencerminkan seorang Lady.
Luisa yang mendengar suara ibunya langsung menghambur kepelukan wanita itu. Rasta mencoba menenangkan putrinya, ia membawa gadis itu untuk duduk dipinggir ranjang.
"Ibu dia menghinaku bu! Athanasia menghinaku didepan pelayannya." ucap Luisa disela isakannya,
"Tenanglah, dan ceritakan dengan jelas apa yang terjadi!" Rasta memberikan segelas air untuk Luisa, setelah merasa tenang gadis itu menceritakan semuanya pada Rasta.
Rasta sungguh terkejut mendengar cerita putrinya. Athanasia benar-benar berubah 360 derajat, pikirnya. Dia bukan lagi gadis lembut yang menyayangi Luisa sebagai kakaknya, dan menganggap ia sebagai ibunya. Sebenarnya Rasta sudah merasakan perubahan sikap gadis itu saat sarapan tadi, tapi dia tidak menyangka jika Athanasia berubah sejauh ini.
Gadis itu dulu selalu memaafkan apa pun kesalahan yang dilakukan Luisa, dan tidak pernah mengadu pada Yang Mulia Raja. Tapi sekarang? Athanasia bahkan mengancam Luisa?
Rasta menarik napas pelan, kepalanya mendadak terasa nyeri. Perubahan Athanasia benar-benar diluar dugaannya, ia harus menyiapkan rencana yang jauh lebih matang untuk menghabisi gadis itu. Dan dia harus berhati-hati, karna sepertinya Athanasia yang sekarang sangat sulit dihadapi.
"Menghancurkan seisi kamarmu tidak ada gunanya. Kenapa kau bisa sebodoh ini?" Rasta tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan putrinya ini.
"Aku kesal, mengingat tatapan hinanya membuat darahku mendidih." Luisa meremas kuat gaunnya.
"Jika begitu kau harus membalasnya sayang." ucap Rasta lembut dengan senyum penuh arti, ia mengelus sayang rambut Luisa.
Luisa menatap Rasta, ia ikut tersenyum karna mengetahui jika ibunya memiliki rencana untuk membalas perbuatan Athanasia.
"Sepertinya kau punya rencana?" tebak Luisa.
Rasta menyunggingkan senyum liciknya, "Tentu. tapi untuk itu, kau harus jadi gadis lemah lembut yang butuh perlindungan." Luisa menegakkan tubuhnya, "Maksud ibu?"
Rasta mengatakan rencananya, Luisa tersenyum senang karna menurutnya rencana Sang Ibu akan berhasil. Menggiring opini para bangsawan sangat mudah dilakukan, apalagi ia memiliki beberapa teman dari bangsawan kelas atas.
Deanna hanya mendesah pelan melihat kelakuan ibu dan anak ini. Ia sengaja mengusir semua pelayan tadi, karna tau jika kedua majikannya ini akan merencanakan sesuatu yang buruk.