Berjam-jam sudah berlalu, dan malam kian menjelang. Namun, operasi masih terus berlangsung.
Ekal tahu operasi ini adalah operasi besar, pria itu tampak pucat sebab belum ada makan apa-apa sejak datang ke rumah sakit.
Sementara itu Sania sudah mulai jenuh, dia tak tahan lagi. Hingga akhirnya wanita itu bangkit, memeluk Ekal dari belakang tanpa rasa malu dan berkata.
"Sayang, aku mengantuk. Apa kita bisa pulang sekarang?" tanya Sania dengan nada yang manja.
Ekal menoleh sedikit guna melihat wajah kekasihnya di belakang punggung.
"Sania, jangan merengek dulu. Operasi Luna belum selesai," katanya pelan, masih berusaha sabar.
Sebab dirinya ingat, belum lama ini dia minta maaf pada Sania karena sudah berkata kasar. Ekal tak ingin mengulangi kesalahan yang sama lagi.
"Sayang, kamu tidak memikirkan aku? Aku sudah di sini sejak pagi, menemani kamu. Bahkan kita belum makan sama sekali, kamu tau aku memiliki maag. Tapi, aku diam karena tau kamu khawatir, kamu memikirkan istri kamu, oke. Aku berusaha paham, tapi. Aku juga wanita, Sayang. Aku juga butuh dimengerti, dia memang istrimu. Tapi, aku juga kekasihmu, kan. Jadi, kamu harus adil," tutur Sania mulai berani mengungkapkan isi hatinya.
Tentu saja, dia juga hanya wanita biasa. Tak luput dari rasa cemburu, dia pikir. Sudah cukup mereka di rumah sakit sejak pagi.
Ekal menutup matanya beberapa detik, kembali mengumpulkan kesabarannya yang tak terlalu besar. Sampai akhirnya dia buka kembali matanya.
Pria itu berbalik badan, lantas memeluk pinggang ramping Sania dengan mesra.
Melihat wajah lelah Sania, Ekal jadi tidak tega. Bagaimana dia bisa melupakan kekasihnya ini.
"Baiklah, Sayang. Kalau begitu kamu pulang duluan, ya. Aku akan suruh sopirku untuk mengantar kamu," bujuk Ekal, mengambil jalan tengah.
Namun, Sania langsung menolak dengan mengatakan.
"Apa cuma segini harga aku di mata kamu?"
Ekal diam, dia bimbang. Di satu sisi Ekal tak bisa meninggalkan Luna seorang diri di rumah sakit. Namun, dia pun tak tega membiarkan Sania dengan wajah lelah itu.
"Bukan begitu, Sania...."
"Kalau begitu kamu yang antar aku," cakapnya sangat enteng.
Ekal membuang napas, dia menimbang-nimbang sejenak. Apa yang harus dirinya pilih, sampai pada akhirnya dia mengangguk patuh.
Melihat itu jelas Sania melompat kegirangan, Ekal memilih dirinya.
"Aku antar kamu saja, ya."
Ekal berjalan lebih dulu, dengan menggenggam telapak Sania. Di sampingnya Sania mendadak memiliki ide untuk membuat Ekal menghabiskan waktu lebih lama dengan dirinya.
"Tapi, kita belum makan sejak pagi, Sayang. Ada baiknya kita cari makan dulu, kan?"
Ekal melirik Sania sekilas, ah. Sania terlalu banyak mau pikirnya, tetapi. Ekal pun tak bisa menolak, hingga dia hanya bisa mengangguk pasrah.
Toh, Sania memiliki riwayat maag. Tak baik jika dia dibiarkan lebih dalam kondisi perut yang kosong.
Tak lama setelah kepergian dua orang itu, dokter yang menangani Luna keluar dengan sarung tangan putihnya yang masih berlumuran akan darah Luna.
Dia melirik ke sana dan ke sini, mencari keberadaan Ekal selaku suami dari Luna. Namun, dirinya tak menemukan pria itu di manapun.
Sang dokter tak tinggal diam, dia beranjak dari sana menuju meja informasi.
"Apa ada yang tau ke mana perginya wali pasien atas nama Luna Emaya yang tengah mendapat tindakan operasi?"
"Bapak Ekal, oh. Baru saja meninggalkan rumah sakit dengan wanita yang sejak pagi bersamanya, Dok," jelas sang suster dengan mantap.
Dokter itu membuang napas kasar, dia lantas kembali ke ruang operasi.
Di sana ada dua dokter ahli beda lain yang memiliki tingkatan di bawahnya.
"Suaminya sedang meninggalkan rumah sakit," ungkap dokter muda itu, kontan membuat dua dokter dan asisten mereka masing-masing memberikan reaksi yang berbeda-beda.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Dok. Pasien butuh donor darah, operasi tidak bisa berlangsung dalam kondisinya yang seperti ini," ucap satu dokter junior yang baru bekerja selama dua tahun.
"Apa kita tidak bisa mencari ke bank darah?" tanyanya berusaha mencari solusi dengan tangan yang masih sibuk memang gunting operasi.
"Sudah dilakukan, Dok. Namun, golongan darah yang serupa dengan pasien sedang tidak ada," jawab asisten dokter itu.
"Dokter Evans, tekanan darah pasien semakin rendah," seru suster yang sejak tadi bertugas memantau tekanan darah Luna.
Dokter yang disapa Evans itu membuang gunting operasinya begitu saja ke atas nakas, Evans tak segan melepaskan jubah operasinya begitu saja saat sampai di luar ruangan operasi.
Langkahnya yang lebar membawa dokter muda dengan segudang prestasi itu sampai di ruangan Unit Transfusi Darah.
Masuk ke dalam, lantas duduk di depan suster yang bertugas di sana tanpa kata hingga membuat suster itu kebingungan.
"Apa yang membawa, Dokter Evans ke mari di tengah operasi?" tanyanya sopan.
"Pasien saya membutuhkan transfusi darah sekarang juga, golongan darahnya sedang tidak ada di rumah sakit. Kebetulan saya memiliki golongan darah yang sama, tolong ambilkan dua kantung darah untuk pasien saya," cakapnya tanpa beban.
Evans sendiri santai, tapi. Suster yang mendapatkan perintah itu malah tercengang mendengar ucapan sang dokter.
"Tapi, Dok. Dokter sedang memimpin operasi besar, bagaimana mungkin, Dokter. Melakukan donor darah?" protes sang suster, ia jelas tak paham dengan maksud Evans.
Ini bukan hal yang biasa dilakukan seorang dokter.
"Saya sudah menangani banyak operasi besar yang berhasil, dan. Kali ini pun saya ingin berhasil, saya tidak akan biarkan nyawa pasien saya melayang hanya karena tidak mendapatkan transfusi darah," tutur Evans mantap, ke dua matanya menjelaskan jika pria itu adalah dokter yang hebat dan penuh keberanian.
Suster masih diam, bimbang harus melakukan apa. Dan, itu tentu menarik perhatian Evans.
"Apa yang kamu tunggu, lakukan secepatnya. Apakah kamu menunggu sampai pasien saya kehilangan nyawanya?" tegur Evans tegas.
Dengan itu, maka. Suster tak bisa menentang lagi, dia bergegas bangkit menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan untuk mengambil darah dari tubuh Evans.
***
Dua kantung darah sudah ada di tangan Evans, dokter yang baru saja kehilangan dua kantung darah itu sudah berjalan cepat menuju ruangan operasi.
Dirinya yakin di dalam sana kacau tanpa dirinya, tak lupa Evans kembali memakai jubah operasinya.
"Lanjutkan operasinya!" serunya membuat semua orang menatap dirinya dengan kening berkerut.
"Astaga, Dokter. Dari mana saja, keadaan pasien semakin memburuk," adu asistennya.
Tak mau banyak basa-basi, Evans memberikan kantung darah itu pada dokter yang membantunya.
"Saya harus mengambil darah untuknya," akunya. Dengan tangan yang terlatih, dia kembali menjalankan tugas yang sempat tertunda.
"Dok, dari mana darah ini. Bukannya di rumah sakit, sedang tidak ada stok darah yang serupa?"
"Itu darah saya, nyawanya harus tertolong. Saya tidak ingin ada kegagalan yang mana itu hanya akan membuat reputasi saya menjadi buruk."
Seketika semua yang ada di sana senyap, mereka tak sangka. Dokter Evans begitu terobsesi dengan sebuah keberhasilan, hingga dia tak ragu untuk mendonorkan darah.
"Apa, Dokter baik-baik saja? Dokter baru saja mendonorkan darah, harusnya, Dokter. Istirahat bukannya di sini," cakap dokter junior yang khawatir dengan seniornya.
Evans melirik dokter junior itu dengan tatapannya yang dingin, lantas berkata.
"Apa jika saya tidak berada di sini, kalian bisa menyelamatkan nyawa wanita yang ditinggalkan suaminya untuk bersenang-senang dengan wanita lain ini?"
***