Tempat itu adalah restoran bintang lima yang tak seharusnya disinggahi seorang suami dengan istri yang tengah melakukan tindakan operasi.
"Sayang, aku mau cicip minuman kamu boleh?" tanya Sania girang, dia tampak exaited.
Merasa begitu bangga, sebab berhasil membuat Ekal makan malam dengannya.
Ekal yang bodoh, selalu menurut maunya Sania. Hingga tanpa sadar pria itu sudah meninggalkan istrinya dalam jangka waktu yang lama.
Ekal mematikan ponselnya atas keinginan Sania, itu Sania lakukan agar tak ada yang bisa menganggu kebersamaan mereka. Terlebih orang-orang dari rumah sakit.
"Enak juga," ujar Sania.
"Sayang, tolong lebih cepat, ya. Aku khawatir pada Luna."
Pengakuan sederhana itu kontan membuat mood Sania lenyap detik itu juga, namun. Dia tak terlalu menunjukkan.
Wanita itu hanya mengangguk dengan pandangan yang fokus pada makanan.
Ekal benar-benar melakukannya dengan cepat, kini dia sudah sampai di depan apartemen mewah milik Sania.
Ekal sudah siap untuk pergi, tetapi. Dengan tak tahu malunya, Sania terus memeluk lengan Ekal.
"Sayang...." tegur Ekal, Sania menoleh.
"Kamu tidak mau masuk dulu?" tawar Sania, dibalas gelengan kepala dari Ekal.
Sania tak putus asa, dia beralih memeluk Ekal dengan sangat erat. Segaja menempelkan tubuh bagian depannya ke Ekal.
Ekal hanya pria normal biasa, tentu dia akan bereaksi merasakan sesuatu yang menonjol dari Sania.
"Sania, jangan begini."
Masih memiliki kewarasan, Ekal berusaha melepaskan pelukan Sania yang amat erat. Namun, dia tak berhasil.
Ekal memang menolak, tapi. Tubuhnya tidak bisa.
"Kenapa, Sayang. Apa kamu tidak lelah terus di rumah sakit? Toh, istrimu ditemani banyak dokter hebat. Bukannya kita selalu ingin mencari waktu agar bersama, sekarang kita bisa bersama. Kamu malam ini tidur di apartemen aku, ya?" godanya dengan nada yang manja.
Ekal menutup matanya, jakunya naik-turun. Semakin panas mendengar nada manja dan tangan Sania yang nakal kini mengukir sesuatu yang abstrak di dada Ekal.
"Sania...."
"Ayolah, Sayang. Malam ini kamu tidak perlu kembali ke rumah, istri kamu tidak akan tau. Apa kamu tidak ingin tidur satu kasur denganku, sembari memelukku begitu erat sampai pagi?"
Runtuh sudah pertahanan Ekal, dia yang tadinya menolak. Kini malah mendorong pintu apartemen Sania dengan kasar, dan dalam posisi yang sama Ekal menarik Sania masuk ke apartemen.
Tawa girang Sania memenuhi seisi apartemen, yang terjadi selanjutnya adalah di mana perselingkuhan itu sudah sampai pada puncak terburuk.
Luna sosok istri yang malang, di saat dirinya tengah sekarat. Sang suami malah asik dengan wanita lain.
***
Di rumah sakit, Evans membuka matanya. Lantas dia tutup kembali saat sorot lampu begitu silau.
"Dokter, Dokter sudah sadar?" seru asistennya dengan penuh semangat.
Lega akhirnya dokter yang dia banggakan sudah kembali sadar, setelah melakukan operasi besar bahkan akan selalu menjadi topik banyak dokter di rumah sakit karena sikap heroik Evans sendiri.
"Apa yang terjadi? Kenapa saya di sini?" tanya Evans, kepalanya terasa nyut-nyutan saat berusaha untuk duduk.
"Setelah, Dokter. Menyelesaikan operasi, Dokter jatuh pingsan. Tentu saja, Dokter pasti kehilangan banyak energi karena habis mendonorkan dua kantung darah untuk pasien," aku asisten dokter itu dengan mantap.
Mendengar kata pasien, Ekal kontan menatap serius pada asistennya.
"Bagaimana kondisinya? Kenapa kalian harus membawa saya ke sini? Saya harus memantaunya setelah melakukan operasi," protes dokter tampan yang tak peduli akan keadaannya sendiri.
Sakit kepalanya langsung lenyap kala mengingat Luna, walau dengan langkah yang sempoyongan. Evans tak gentar untuk terus melaju.
Sampai pada akhirnya dia membuka ruang inap Luna, wanita malang itu masih menutup matanya dengan wajah yang damai.
"Syukurlah, setidaknya kamu harus hidup untuk membalas suamimu," katanya agak geram jika mengingat seperti apa sikap Ekal sebagai suami.
Evans adalah seorang pria sejati yang begitu menjujung tinggi perasaan seorang wanita, dia yang tak berani menyakiti seorang wanita.
Tak mungkin suka melihat ketidakadilan pada Luna yang sekarat.
Dia mendekati Luna, memeriksa semua yang perlu. Saat dirasa Luna sudah dalam kondisi yang stabil Evans baru bernapas lega.
Dia duduk di kursi tunggal, dirinya masih lemas. Hingga memutuskan untuk menjaga Luna sepanjang malam.
Tidak sadar dirinya ketiduran, Evans melirik sekitar dengan mata yang menyipit.
"Ah, aku pasti ketiduran di sini," katanya tak suka.
Pria itu refleks melirik Luna, keningnya berkerut sebab Luna masih belum sadar.
Lantas Ekal melihat jam yang menempel pada dinding, sudah pukul sepuluh pagi.
"Seharusnya dia sudah sadar, pengaruh obat bius sudah habis," kata Ekal, menyadari kejanggalan di sini.
Maka, tanpa banyak basa-basi. Ekal keluar dari ruangan itu, tak lama setelahnya dia kembali dengan wajah yang lebih segar sebab sudah cuci muka kentara dari anak rambutnya yang basah.
Di tangannya ada stetoskop, dan juga asistennya mengekorinya.
"Apa ada yang salah saat kemarin malam setelah saya pingsan? Dia belum sadarkan diri sampai sekarang," ucap Evans ingin tahu.
Asistennya langsung menggeleng, sebab dirinya tahu operasi dokter Evans berjalan dengan sangat lancar walau ada kendala yang sempat membuat operasi terjeda.
"Tidak, Dok. Semuanya berjalan lancar, Dokter sangat bertanggung jawab. Pingsan di saat operasi sudah selesai," jawabnya membuat Evans berdecak.
"Apa itu lucu?"
"Ah, tidak. Dok, saya hanya berpikir jika, Dokter. Sangat keren," dalihnya mantap.
"Siapkan ruangan pemeriksaan, saya akan melakukan pemeriksaan menyeluruh untuknya, pasti ada yang salah!"
"Baik, Dok."
Sepeninggalan asistennya, Evans menghela napas. Terus bertanya-tanya. Apa agaknya yang salah dengan Luna.
Evans melirik papan identitas Luna.
"Luna Emaya...."
Evans kembali menatap wajah Luna, dia tak bisa membayangkan seperti apa jadinya nanti jika Luna tahu jika suaminya tak ada di sini untuk menunggunya operasi.
"Nasibmu sangat malang, Nyonya."
Evans menggeleng, guna mengenyahkan perasaannya yang terlalu lembut pada wanita. Tugasnya yang utama adalah mencari tahu, apa masalah pada Luna hingga dia belum sadarkan diri.
***
Di sisi lain, sang suami masih saja tidur dengan dibalut selimut sebab di balik sana dia tak mengenakan sehelai benang pun.
Di sana Sania tersenyum penuh kemenangan dengan jubah mandinya, dia masih terbayang akan kegiatan mereka tadi malam.
"Sekarang di antara kita tidak ada batasan, Sayang...."
Sania mendekati Ekal yang lelap, dia mengusap kening kekasihnya begitu lembut. Kentara dari tatapannya yang dalam, jika cintanya pada Ekal tak main-main.
"Aku akan lakukan apapun agar kamu jauh dari istri tidak bergunamu itu, Sayang. Bagaimana pun caranya, kamu harus menjadi milikku seutuhnya ... ngomong-ngomong bagaimana kondisi wanita itu?"
Sania baru teringat, jika Luna menjalankan operasi besar.
Persekian detik berikutnya, dia tersenyum miring dan menggeleng.
"Apa peduliku? Aku hanya berharap dia mati di ruangan operasi itu."
***