Sehari sebelum Luna dibolehkan pulang, pagi itu dia seorang diri.
Ekal sudah janji pada jam makan siang nanti, dia akan menjemput Luna. Luna sudah siap-siap dan sekarang masih hanya harus menunggu kedatangan suaminya.
Pandangan kosong ke arah jendela, Luna bisa berekspresi sesukanya sebab tak ada orang lain di sana.
Tanpa dirinya sadar, pintu kamar inap itu dibuka. Di sana pria tampan dengan jas dokter memantau Luna, serta menantikan wanita itu hingga sadar akan kehadiran sang dokter.
Namun, tampaknya Luna asik dengan dunianya sendiri.
"Bagaimana, apa dengan bersandiwara buta. Membuat perasaanmu membaik?" tanya Evans, kalimat itu lolos begitu saja tanpa bisa dia filter lebih dulu.
Luna membuang napas, dia berbalik. Wajahnya yang sejak tadi murung, perlahan berubah dengan adanya senyuman paksa itu.
"Entahlah, Dok. Saya tidak merasa baik atau pun buruk, tapi. Ini memang jalan yang tepat, apa yang Dokter katakan beberapa hari lalu memang benar. Saya tidak boleh lemah, saya harus membalas karena saya memiliki hati yang sudah mati disebabkan mereka," ungkap Luna apa adanya.
Evans tersenyum simpul, lega mendengar Luna bicara dengan penuh keberanian seperti itu.
"Beginilah memang seharusnya para istri yang disakiti, dan. Ya, jangan lupa kembali ke rumah sakit beberapa Minggu lagi untuk melakukan pemeriksaan," pesan Evans mendapatkan anggukan kepala dari Luna.
Sementara itu, di kantor raksasa. Tampak Ekal tengah menyakinkan Sania yang keras kepala.
"Sayang, aku kemarin harus menemani Luna. Kamu tau, dia baru saja bangun dari koma," katanya mengulang kalimat yang sama beberapa kali.
Sania bersedekap dada, menunjukkan rasa tidak sukanya pada kalimat Ekal yang seakan lebih memilih Luna.
"Kamu milih dia?" tanya Sania menantang.
Ekal memutar bola matanya, sungguh. Menghadapi sosok Sania jauh lebih sulit dari pada menghadapi pekerjaan di kantor.
"Sayang, mau bagaimana pun aku di luar rumah. Tapi, saat aku pulang. Luna tetaplah yang pertama, aku tidak bisa memilih antara kalian. Kalian sama penting bagiku, tetapi. Karena Luna istriku, maka dia yang akan aku utamakan satu langkah dari kamu."
Sania membuang muka, sangat benci dengan kalimat itu.
"Aku tersinggung," ungkapnya.
"Sudahlah, aku harus menjemputnya. Kamu tunggu di sini saja, ya. Setelah mengantarkan Luna pulang, aku kembali ke sini, oke?" pesan Ekal, tanpa mau menunggu respon Sania.
Pria itu sudah berjalan cepat, meninggalkan Sania dengan kekesalannya di sana.
Ekal memijat pangkal hidungnya, sungguh dia merasa lelah sebenarnya memiliki dua wanita di hidupnya.
Namun, dia tak bisa meninggalkan salah satunya. Seperti mereka adalah sesuatu yang memang harus ada di dalam hidupnya, seorang Ekal memang sangat tamak.
***
Di ruangannya, tepat berada di lantai lima rumah sakit. Evans dengan ke dua tangan yang dimasukan ke dalam saku celana memandangi dua orang yang tampak serasi.
Sangking fokus dirinya melihat mereka, dia tak menyadari jika Dion sudah masuk ke dalam ruangannya.
Dion mendekat ke jendela besar itu, ikut melihat apa yang Evans lihat.
"Jadi, pasien yang suaminya selingkuh sudah pulang?"
"Namanya Luna, Dion."
Dion mengangguk, dia lantas duduk di sofa dengan melihat-lihat ruangan Evans.
"Saya lihat, Dokter. Memperlakukan wanita itu berbeda, ada apa?"
Tak bisa lagi dibendungnya rasa penasaran yang sudah meluap-luap sejak lama, akhirnya Dion memilih hari ini untuk menanyakan hal demikian.
Evans masih setia di tempatnya, begitu mobil hitam Ekal sudah meninggalkan rumah sakit.
Evans berbalik, dia duduk di kursi kebesarannya dengan jas putih yang dia tempatkan di sandaran kursi.
"Tidak ada yang berbeda dari sikap saya, wanita itu yang berbeda," balas Evans.
Tangannya sibuk membuka rekam medis Luna, ingin memastikan sekali lagi jika wanita itu memang sudah baik-baik saja.
"Ck, Dokter. Sudah memberikan rekam medisnya sepuluh kali dalam satu hari ini," cibir Dion, membuat Evans menutup rekam medis Luna dan meletakkannya kembali ke tempatnya.
"Ya, saya juga tau. Dia sudah baik-baik saja secara fisik, tapi siapa yang tau tentang mentalnya?"
Pandangan Evans jauh ke depan, dia masih seperti terbayang akan wajah sedih Luna.
Rasa simpati dalam dirinya, tak bisa berhenti mengkhawatirkan istri orang lain.
"Sudahlah, Dok. Itu di luar kuasa kita, lagi pula Dokter ini ahli beda bukan psikologi," tambah Dion.
Dokter muda itu memang suka sekali menyeletuk tak jelas, membuat mood Evans mudah berubah jadi kesal.
Terdengar helaan napas kasar dari Evans, dia lantas melirik tajam Dion.
Merubah posisi duduknya menjadi tegak, melihat itu Dion menelan ludahnya dan secara naluri ia pun ikut menegakkan tubuhnya.
"Apa tujuanmu ke sini sebenarnya?" tanya Evans pada akhirnya, dia tak sanggup lagi membiarkan Dion di sana terlalu lama.
Dion nyengir kuda saat ditatap demikian, tanpa ragu. Ia lantas menjawab.
"Mari makan siang, Dok!"
***
Dengan penuh kehati-hatian, Ekal menuntun Luna masuk ke rumah mewah mereka.
Dia ambang pintu ada bi Inem yang tersenyum menyambut kedatangan majikan tercintanya kembali.
Walau jauh di dalam benaknya, ia masih sedih mengingat Luna pulang dengan keadaan yang buta.
Ya, itu yang ia tahu.
"Hati-hati, Sayang. Di depan ada tangga!"
Tangan Luna lagi-lagi terkepal kuat, kerap kali. Setiap Ekal memanggilnya demikian, darah dalam dirinya mendidih.
Tadinya Luna masih bingung dengan perasaannya, tapi. Sekarang tampaknya sudah jelas, jika sakit di dadanya begitu nyata.
Dia tak mengharapkan kebaikan Ekal lagi, dia kembali hanya untuk sebuah balas dendam.
"Iya, Sayang...."
Luna harus sabar, dirinya hanya perlu menahan diri agar tetap bersandiwara dengan baik.
"Selamat kembali datang di rumah, Bu."
Luna tersenyum, dia mengangguk.
Ekal kembali membantu Luna, mereka menaiki tangga. Dengan modal akting yang luar biasa, Luna tampak kesusahan menaiki anak tangga.
Siapa sangka, Ekal malah mengangkat tubuhnya dengan begitu mudah membuat perasaan Luna campur aduk.
Tanpa Ekal sadar, Luna menatap wajah tampan suaminya itu dari samping dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Jangan menyiksaku dengan sikap semanis ini...." pinta Luna dalam dada.
Dia tak bisa mengendalikan dirinya, semakin Ekal bersikap baik. Semakin sakit yang Luna rasakan.
"Aku bisa jalan sendiri," katanya dengan nada serak.
"Tidak, Sayang. Selama aku ada di dekat kamu, aku pastikan kamu tidak akan mendapatkan kesulitan."
"Jangan begitu, Ekal!" tekan Luna, tanpa sadar dia sudah membuat Ekal curiga.
Terlebih Luna menyebut Ekal tanpa embel-embel sayang seperti biasa.
Sampai di atas, Ekal menurunkan Luna. Dia menyentuh ke dua lengan istrinya, lantas sedikit menunduk guna melihat wajah itu.
"Ada apa, Sayang? Kenapa kamu tampak kesal?" Kerutan pada kening Ekal menunjukkan dirinya penasaran.
Luna menelan ludahnya susah payah, sialan. Dia seharusnya tak kelepasan.
***