Aroma bensin menyeruk di sekitar pabrik minyak itu, mata Luna berbinar.
Dia siap untuk mengambil jerigen, agar ikut menuangkan di sekitar sana.
Namun, pergerakannya dihentikan oleh Evans dengan memanggil nama wanita itu.
"Tunggu, Nyonya Luna!"
Secara otomatis Luna berhenti, dia yang tadinya sedikit membungkuk. Jadi, kembali tegak menatap Evans dengan tanda tanya.
"Bukan begini cara kerjanya, jika. Ingin menghancurkan seseorang tanpa ketahuan, maka. Jangan pernah tinggalkan jejak apa pun," ungkap Evans.
Pria itu merogo saku jaket kulit hitamnya, malam ini Evans tampak berbeda dari yang sering Luna lihat ketika di rumah sakit.
Ketampanan Evans berkali-kali lipat bertambah dengan pakaian santainya.
Dari saku itu, Evans mengelurkan sepasang sarung tangan hitam yang juga dia gunakan.
Tanpa basa-basi, atau sekedar permisi. Evans mengambil satu telapak Luna, lalu memasangkan sarung tangan itu dengan lembut.
Begitu pula di telapak Luna yang lainya, mata Luna terkunci pada ketampanan Evnas. Sungguh Luna bersyukur bisa mengenal dokter seperti Evans.
"Jika, sudah begini. Baru kamu boleh melakukan sesukamu," cakap Evans.
Luna mengangguk mantap, dia ikut menuangkan bensin ke sana. Sebagain orang-orang Evans ada yang sampai masuk ke pabrik.
Menyebarkan bensin ke dalam.
Selang beberapa saat, Luna dan semua orang yang Evans bawa kembali berkumpul.
Melihat tangan Luna yang bergetar, Evans tahu. Pasti ini kali pertama wanita itu melakukan kejahatan.
"Apa kamu ragu?"
Luna menaikkan pandangannya, dia menatap Evans hanya beberapa detik. Tak lama setelahnya dia memandang hal lain.
"Sedikit," kata Luna apa adanya.
Bagaimana pun juga dia adalah wanita dengan hati yang lembut, dirinya begini hanya karena sudah disakiti.
"Apa kamu ingin melakukan negosiasi dengan wanita itu terlebih dahulu?" saran Evans serius.
"Negosiasi apa?"
"Minta dia meninggalkan suamimu, kalau dia tetap tidak ingin. Maka, kamu jangan ragu untuk melemparkan api ke pabriknya."
Luna diam sejenak, dia menggigit bibir bawahnya beberapa saat.
"Tapi, kalau saya menghubunginya. Dia akan tau."
Evans menggeleng, dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan pada Luna, lantas berkata.
"Biar saya yang melakukannya, saya hanya butuh satu kata dari kamu untuk persetujuan."
Hening, Luna kembali tenggelam dalam pikirannya. Hingga akhirnya dia mengangguk, untuk sejenak logikanya kalah dengan keinginan hati yang masih memikirkan nasib wanita keji itu.
Melihat itu, Evans langsung menghubungi nomor Sania. Tak sulit bagi Evans untuk mendapatkan nomor Sania yang memiliki pabrik minyak terbesar.
Sementara itu, di apartemennya Sania asik bermesraan dengan Ekal. Langsung berdecak kesal.
Kala ada panggilan masuk dari nomor yang tak dikenal, wanita itu menjauh sejenak tak ingin menganggu Ekal yang begitu fokus memandangi layar televisi.
"Hallo, Nona Sania pemilik pabrik minyak yang kini nomor satu di Asia?" sapa Evans dengan nada nan begitu dingin, berbeda saat dirinya bicara dengan Luna.
"Iya, Saya. Kamu siapa?"
Masih santai, Sania belum berpikir yang macam-macam atas panggilan ini.
"Anda, tidak perlu tau siapa saya. Yang pasti boleh, Anda. Menjauh dari suami yang istrinya kini tengah buta itu?"
Evans langsung pada intinya, dia bahkan tak segan meloud speaker panggilan mereka.
Sudut bibir Sania langsung terangkat, dia lantas melirik Ekal yang asik sendiri.
"Oh, kamu sedang menerorku?" tantang wanita itu, kini dia kembali memandang lurus ke depan.
Mata Evans melihat ke arah pabrik besar di depannya, lantas dia tersenyum miring.
"Pabrik, Anda. Sangat besar, menurut saya. Memang pantas menjadi pabrik minyak terbesar di Asia," pujinya dengan satu alis terangkat.
"Itu alasannya saya tidak akan meninggalkan Ekal, kami sangat cocok. Tidak seperti istrinya yang hanya bisa di rumah, terlebih lagi sekarang dia buta," caci Sania sukses membuat mata Luna membara akan amarah.
Tangannya yang menggenggam pemantik api mengerat.
Evans melihat ekspresi Luna, dia mengulum senyumnya. Sungguh Sania sangat bodoh, pikir Evans.
"Oh, kalau begitu. Anda, telah melakukan kesalan menjawab telepon saya, mungkin setelah ini. Anda, tidak akan bisa bicara seperti itu lagi."
Kening Sania berkerut, senyumnya menghilang begitu saja. Hanya beberapa detik, tak lama setelahnya dia mengenyahkan rasa khawatirnya saat pria asing itu bicara demikian.
"Apa mak––"
"Sayang, kenapa lama sekali?"
Suara Ekal memotong ucapan Sania, mendengar suara suaminya bersama wanita sialan itu.
Luna tak bisa menahan diri lagi, Luna menekan tombol merah yang ada di layar ponsel Evans.
Dan, tangan kanannya menghidupkan pemantik api. Tanpa basa-basi, dan telah mendapatkan keyakinan itu.
Luna melemparkan pemantiknya ke dalam pagar, api mulai menyala, menjalar ke bagian yang disiram bensin.
Perlahan tapi pasti, api masuk ke pabrik.
Evans bergegas menarik tangan Luna agar menjauh dari sana, mereka semua masuk ke mobil masing-masing menjauh dari sekitar.
Saat sudah dirasa cukup jauh, hanya mobil Evans yang berhenti. Dia tahu Luna pasti ingin melihat kehancuran awal dari wanita yang merebut suaminya.
Mata ke duanya terdapat api, suara ledakan dari pabrik kontan membuat banyak pengendara di jalan langsung berhenti.
"Kamu lega?"
Tanpa menoleh Evans memberikan pertanyaan sederhana itu.
"Biasanya saya tidak bisa lega setelah melakukan kejahatan, tapi. Kali ini rasanya sangat menyenangkan," gumam Luna.
Evans melirik Luna sejenak, mata wanita itu tak bisa berhenti melihat api besar yang ada di depan mereka.
"Kamu pasti sangat terluka, karena itu kamu puas sekarang."
"Lagi pula ini hanya awal, dia menggoda suami saya, maka. Bisnisnya yang jadi taruhan."
Evans melirik ke luar jendela, jalanan mulai macet sebab banyak sekali pengendara melihat kebakaran besar itu. Dan, tak jarang dari mereka mengabdikan momen tersebut dengan merekamnya.
"Kamu ingin pulang? Akan saya antarkan," tawar Evans.
"Tidak, saya sudah bilang pada Ekal akan bermalam di rumah teman saya."
"Baiklah, di mana rumah temanmu?"
"Tapi, itu kebohongan."
Evans langsung diam, dia menoleh dan Luna membalas tatapan Evans. Detik berikutnya Luna tersenyum gemas dengan ekspresi bingung Evans.
"Antarkan saja ke hotel, malam ini saya akan bermalam di sana dan dengan begitu akan mudah bagi saya melihat berita besar ini."
"Hahaha, luar biasa. Baiklah, Nyonya!"
Sebelum jalanan benar-benar tak bisa dilalui, Evans menjalankan mobilnya.
Mereka bahkan melintasi pabrik yang terbakar itu dengan senyuman bangga di bibir masing-masing.
Beberapa meter setelah melewati sumber kebakaran, suara mobil pemadam terdengar nyaring kian mendekat. Dan, mobil mereka berselisih.
"Apakah akan padam secepat itu? Bahkan pabriknya belum terbakar habis?"
"Pabriknya besar, tidak ada sumber air di sana. Yang terbakar pabrik minyak, akan membutuhkan waktu yang lama jika mereka kehabisan air. Santai saja, tidak ada yang bisa diselamatkan dari pabrik itu," tuturnya membuat Luna lega dan mengangguk paham.
***