Chereads / Balas Dendam Terindah Sang Istri / Chapter 15 - Berbohong Demi Selingkuhan

Chapter 15 - Berbohong Demi Selingkuhan

"Sayang...." panggil Ekal sangat pelan, Luna baru saja selesai memakai semua pakaiannya dengan benar.

Di depan Ekal, ya. Lagi pula Ekal adalah suaminya, tak ada alasan bagi Luna untuk malu di hadapan Ekal. Yang seharusnya malu itu adalah Ekal, sebab dia sudah bermain gila di belakang Luna.

"Hmmm?" gumam Luna.

Ekal mendekati istrinya, dia membuat Luna duduk di bibir kasur lantas mengambil handuk kecil yang Luna pegang.

Ekal berdiri di belakang Luna, dia mengerikan rambut istrinya dengan handuk kecil itu. Kebiasaannya sejak dulu, dan sedikit aneh rasanya saat Luna tak meminta Ekal untuk melakukan hal itu.

Mungkin Luna lupa, mangkanya Ekal berinisiatif mengambil ahli saja. Padahal bukannya lupa, Luna hanya tak ingin terlalu manja lagi pada pria yang sudah membuat begitu banyak luka hatinya.

"Kamu tidak ingin tanya apa-apa padaku?" tanya Ekal penuh kehati-hatian, dia yang tak dapat melihat ekspresi Luna membuat jantungnya berdegup tak menentu.

Takut-takut jikalau Luna mengatakan sesuatu yang tak sesuai dengan ekspektasinya.

"Tidak ada, memangnya apa yang harus kutanyakan ke kamu?" balas Luna dengan mata yang membara.

Dia tidak akan bertanya sebab dirinya sudah tahu jawabannya, Luna diam tak ingin membuat dirinya semakin jauh dalam rasa sakit hati.

Air muka Ekal langsung berubah, Luna tak mengajukan pertanyaan jauh lebih menyeramkan dari pada saat dia harus menjawab pertanyaan itu sendiri.

"Sayang, kenapa? Kamu tidak ingin tau apa alasanku tidak ada di rumah semalam?" imbuh Ekal cepat, sekejap tangannya berhenti dalam mengeringkan rambut Luna.

"Aku tau apa alasan kamu tidak di rumah semalam," selanya cepat, kontan saja Ekal membeku.

Dia menelan ludahnya susah payah, perlahan Ekal beranjak ke depan Luna.

Dilihatnya wajah Luna, yang mana wanita itu tak menatap dirinya. Ekspresi Luna sangat datar, dia tidak menunjukkan tanda-tanda jika dirinya marah atau tidak.

Sulit untuk membaca pikirannya saat ekspresinya sedatar ini.

"Kamu, tau?"

"Ya, memangnya kenapa kalau aku tau?"

Suara lembut Luna membuat Ekal merinding, Luna sungguh berbeda hari ini.

"Sayang, kamu...."

"Kamu terdengar khawatir, ada apa?" timpal Luna langsung, dia menyadari jika Ekal sepertinya takut kalau dirinya bicara yang tidak-tidak.

"Eumm aku––"

"Kamu pasti ada urusan pekerjaan kemarin malam, dan itu membuat kamu harus lembur di kantor, aku benar, kan?"

Ekal menutup rapat bibirnya, keningnya berkerut saat Luna memotongnya dan berkata demikian. Jadi, Luna berpikir jika dirinya di kantor semalaman.

Persekian detik setelahnya, senyum Ekal kembali terbit di wajah tampannya.

"Ah, iya. Sayang, aku ada di kantor semalaman. Aku baru mau katakan itu tadi, tapi. Kamu sudah menebaknya lebih dulu, kamu memang istriku yang peka," seru Ekal lega.

Sangking senangnya dia, tak akan ketahuan oleh Luna. Ekal memajukan kepalanya, lantas mengecup pipi kiri Luna.

Gigi Luna bergemelatuk, dia benci mendapatkan kecupan singkat itu. Ekal kembali ke belakang istrinya, dia melakukan apa yang sempat tertunda.

"Oh, iya. Sayang, aku mau katakan sesuatu."

"Apa?" respon Luna singkat, dia hanya sudah tak mau banyak basa-basi dengan pria sialan itu.

"Aku ada perjalanan bisnis sore ini," dalihnya.

Ya, ini hanya alasan agar dirinya bisa menepati janjinya pada Sania, mata Luna berkedip beberapa kali.

"Berapa lama?"

"Seminggu, Sayang. Kamu tidak apa-apa kalau kutinggal selama itu?"

Luna diam, dia tak tahu harus mempercayai hal ini sebagai perjalanan bisnis atau hal ini. Sosok Ekal sudah sangat sulit untuk mendapatkan kepercayaan darinya.

"Apa aku tidak bisa ikut?"

"Maaf, Sayang. Perjalanan kali ini sungguh aku akan sibuk, kalau tidak. Aku pasti akan ajak kamu," dalih Ekal cepat.

Saat dia rasa rambut Luna sudah kering, Ekal mengambil sisir untuk merapikan rambut istrinya itu. Sungguh, sikap manis Ekal ini hanya membuat dada Luna kian sesak saja.

Pelan-pelan Ekal menyisir setiap helai rambut halus itu, dia suka aroma shampoo yang Luna gunakan. Sesekali dia menghirup aroma lemon dari rambut sang istri.

"Baiklah, aku tidak akan ikut kalau begitu," simpulnya mantap.

Toh, mau Ekal jujur atau berbohong soal perjalanan bisnis ini. Luna akan tahu nantinya, dia hanya perlu mencari tahu saja.

"Terima kasih atas pengertian kamu, Sayang."

Ekal memeluk Luna dari belakang, dia senang dengan posisinya sekarang. Seperti rasanya sungguh pulang ke rumah yang damai.

"Aku beres-beres sekarang, ya. Aku harus cepat."

Ekal menjauh dari Luna, dia mengambil kopernya dan mulai memasukan segala pakaian yang dirinya butuhkan nanti saat di apartemen Sania.

Diam-diam Luna melihat setiap senyum yang mengembang di wajah Ekal, seperti senyum yang tak biasa. Ketika Ekal menoleh ke arahnya, secepat kilat Luna buang muka memandang kosong ke arah lain.

Jam temu janjinya dengan Evans sudah hampir sampai, Luna tiba lebih dulu di restoran tempat mereka akan bertemu dengan taksi setelah Ekal pergi.

Dia melihat sekeliling restoran, semua orang tampak bahagia dengan pasangan mereka masing-masing. Luna, dia mengangkat tangannya menyentuh pipinya yang tadi dikecup oleh Ekal.

"Aku merasa sangat benci dengan ini, sebelum aku. Pasti bibirnya sudah lebih dulu mengecup wanita jalang itu," gumam Luna geram.

Perlahan tangannya mulai menggosok pipinya, semakin ke sini dia semakin keras menggosok pipi kirinya itu hingga kulitnya yang putih menjadi merah sebab dia terlalu kuat.

"Bekasnya harus hilang!"

Mata Luna berkaca-kaca, dia hampir menangis karena masih bisa merasakan hangat kecupan sang suami.

Tangannya berhenti kala ada yang menyentuh telapaknya untuk menghentikan aksi tidak wajarnya itu.

Secara naluri Luna langsung menoleh, di sana ada Evans dengan keningnya yang berkerut. Seakan menanyakan apa yang sebenarnya sedang Luna lakukan.

"Apa kamu sedang melukai dirimu sendiri, Nyonya?"

Luna tak bergeming, dia melirik tangannya yang masih dipegang Evans. Mengikuti arah mata Luna, Evans akhirnya sadar. Dia lantas menjauhkan tangannya dari Luna.

Karena tak ingin menjadi pusat perhatian, Evans bergegas duduk di kursi depan Luna.

"Nyonya Luna?" tegur Evans sekali lagi, tak menghilangkan rasa sopannya.

"Jangan terlalu formal, Dokter. Panggil saja saya Luna," pesan Luna, mereka bukan lagi sekedar pasien dan dokter. Karenanya Luna tak ingin Evans terus memanggil dirinya seformal itu.

"Ah, tidak. Kamu tidak menjawab pertanyaan sederhana saya, itu artinya saya masih orang asing bagi kamu," simpulnya.

"Bukan begitu, saya tidak memiliki niat untuk melukai diri sendiri. Saya hanya ingin menghapus jejak menjijikan yang Ekal tinggalkan di pipi saya," aku Luna tanpa ragu.

Kini dia sudah mulai nyaman untuk berbagai segalanya dengan Evans.

"Luna," panggil Evans tegas, Luna yang baru pertama kali mendengar namanya disebut oleh Evans langsung mengangkat kepalanya menatap manik pria itu.

"Ingin saya bantu untuk menghilangkan jejaknya?" tawar Evans membuat Luna membeku di tempat.

***