Chereads / Balas Dendam Terindah Sang Istri / Chapter 21 - Panti Asuhan

Chapter 21 - Panti Asuhan

Di tempat yang dulu adalah menjadi hal yang selalu Luna sukai, kini sudah berubah menjadi tempat paling menjengkelkan baginya.

Ya, kamar indahnya yang selama lima tahun ini hanya ditiduri olehnya dan Ekal. Namun, malah sudah pernah ditempati oleh wanita lain.

Luna tersenyum masam, jika membayangkan apa yang dua orang dewasa itu lakukan di dalam kamarnya membuat dia ingin membunuh ke duanya habis-hanisan.

"Harusnya Ekal cuma membagi cintanya bukan kamar ini, kalau aku sendiri. Sekarang kenangan di sini sudah tampak menjijikan," gumam Luna pelan.

Dia memejamkan matanya sejenak, berusaha mengontrol diri memikirkan apa yang harus dia lakukan selanjutnya.

Pada akhirnya Luna bulat mengambil keputusan untuk pergi ke panti asuhan.

Dimulai mengemas barang-barang yang sekiranya perlu, Luna hanya sesak jika harus di sana seorang diri.

Entah apa yang Ekal lakukan di luaran sana, Luna tak percaya sepenuhnya jika Ekal benar-benar hanya melakukan perjalanan bisnis.

Karena tak ingin terlalu menyesakkan dadanya sendiri, Luna memilih untuk tetap diam sementara waktu. Dia tidak membalas orang-orang yang menyakitinya secara terang-terangan.

Luna hanya perlu menunggu hingga amarahnya sampai di puncak dan meledak. Nalurinya sebagai manusia yang baik, terkadang masih membuat Luna ragu.

Kerena itu, dirinya butuh sebuah bukti yang akan melenyapkan hati nuraninya.

"Tunggu saja Sania, Ekal. Aku akan melakukan apa yang menurutku benar jika sesuatu yang salah telah kalian mulai lebih dulu, dendamku baru membakar sumber uang Sania. Setelah ini bisa saja membakar sesuatu yang jauh lebih berharga," ujar Luna saat tangannya sibuk memindahkan pakaiannya ke dalam koper berukuran sedang.

Luna tak berpikir dia akan lama di panti, dia hanya akan berkunjung. Tapi, juga perlu membawa beberapa setel pakaian.

Setelah dirasa cukup, Luna bergegas mengganti pakaiannya. Tak butuh waktu lama, Luna akhirnya selesai.

Dia menyeret kopernya dengan hati-hati, dan saat sampai di luar wanita itu kembali melakukan akting yang luar biasa.

Menarik perhatian bi Inem yang kebetulan lewat, merasa aneh melihat majikannya membawa koper. Maka, tanpa banyak basa-basi wanita paruh baya itu mendekati Luna.

"Loh, Bu. Mau ke mana dengan koper ini?" tanya bi Inem pelan, dia menyentuh lengan Luna dengan sangat lembut, seakan Luna adalah gelas yang retak jika disentuh terlalu kuat. Bi Inem khawatir akan membuat Luna hancur berkeping-keping.

"Oh, karena Ekal tidak di rumah. Saya pikir saya harus mengambil kesempatan ini untuk berkunjung ke panti, Bi."

Walau hanya sebatas pembantu dan majikan, Luna sangat sopan bicara apa pun pada bi Inem yang sangat menyayangi dirinya.

"Berapa lama, Bu? Kenapa mendadak begini? Kalau tau, Ibu akan pergi ke panti. Saya akan siapkan beberapa bingkisan untuk anak panti," ucap bi Inem tak ingin majikannya pergi ke tempat para anak yang terlantar itu dengan tangan kosong.

Luna tersenyum manis, dia bahkan sampai menggeleng karena kepekaan bi Inem untuk hal-hal kecil ini.

"Tidak apa-apa, Bi. Saya akan membelinya saat diperjalanan nanti. Ya, sudah. Tolong jaga rumah, ya. Bi, saya pergi dulu."

Bi Inem mengangguk, dia menuntun Luna dengan sangat hati-hati saat menuruni anak tangga bi Inem tak henti-hentinya mengingatkan Luna untuk melangkah tak terlalu jauh.

Mendapatkan perhatian manis ini, hati Luna menghangat. Dia memang tak mendapatkan kasih sayang orang tua dan kini diduakan suami. Tapi, setidaknya masih ada orang-orang di sekitarnya yang begitu perhatian pada dirinya.

Luna sangat bersyukur akan hal ini.

Sampainya di teras, di luar pagar sudah ada taksi yang menanti Luna.

"Bu, hati-hati, ya. Di jalan, kalau ada apa-apa langsung hubungi saya saja, ya?" pesan bi Inem dengan raut khawatir.

Dia khawatir karena kondisi Luna yang sekarang sangat tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan seorang diri, bi Inem rasanya sangat ingin menemani Luna.

Namun, dia pun sadar dirinya hanyalah pembantu rumah tangga karena itu dia tak punya hak untuk mengajukan diri agar ikut.

"Iya, Bi. Saya akan hubungi, Bibi. Kalau perlu sesuatu, ya. Sudah, ya. Saya pergi, dulu."

Bi Inem mengangguk singkat, dia membuka pagar untuk Luna. Lantas membukakan pintu mobil juga dan setelah memastikan Luna duduk dengan nyaman.

Baru bi Inem memasukkan koper majikannya itu ke dalam bagasi mobil, tak lama taksi berjalan. Bi Inem masih setia memandang taksi Luna hingga tak terlihat lagi.

Sementara itu di dalam mobil, Luna menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Dia sandarkan kepalanya pada kaca mobil. Memikirkan seperti apa sebenarnya masa depan yang menanti dirinya.

***

Satu jam perjalanan, akhirnya Luna sampai di depan panti asuhan yang memiliki bangunan bertingkat yang tampak sudah usang siap untuk roboh kapan saja.

Matanya memanas kala ingat seperti apa hari-hari berat yang harus ia lalui dulu di panti itu.

Di masa lalu, setiap ada kesempatan Luna selalu gunakan untuk mencari jati dirinya ke sana dan ke sini mengais informasi tentang siapa sebenarnya orang tua yang telah menelantarkan dirinya.

"Akhirnya aku kembali ke tempat ini," gumam Luna dengan senyuman yang ia paksakan.

Tak ingin terlalu sedih akan masa lalu, pada akhirnya dia menyeret kopernya dan tetap pura-pura buta di hadapan seluruh dunia kecuali Evans.

Ya, Luna akan tetap buta di mata dunia. Sampai di depan pintu dia mengetuk pintu kayu itu dengan lembut.

Tak lama setelahnya seorang wanita paruh baya yang dulu membesarkan dirinya dengan penuh kasih kini muncul di hadapannya.

Luna rasanya sangat ingin menatap manik wanita itu, tapi dia tahan karena misinya.

"Luna?" sapa wanita tua dengan rambut putih yang mulai mendominasi kepalanya.

"Bu Aisyah? Apa kabar?" balas Luna, dia tersenyum ke arah dinding. Melihat itu wanita yang disapa Aisyah tersenyum sendu.

Dia tahu kabar kecelakaan hebat yang dialami Luna dari berita televisi.

"Jadi, kabar itu benar, Nak?"

Luna mengangguk pelan, Aisyah tampak sedih. Air matanya tumpah begitu saja, namun. Buru-buru ia hapus sebab tak ingin terlihat sedih di depan Luna, padahal dia tahu Luna tak akan melihat air matanya.

"Baiklah, ayo masuk dulu. Kamu pasti lelah habis melakukan perjalanan jauh dari kota," ajak Aisyah lembut sembari menuntun Luna.

Dia bahkan mengambil alih koper Luna agar Luna tak repot, menanggapi itu Luna tersenyum lembut.

"Bu Aisyah, tidak perlu repot-repot. Aku bisa sendiri, kok."

"Iya-iya, Ibu tau. Kamu bisa, tapi ini kali pertama kamu berkunjung setelah kamu menikah. Karena itu Ibu harus repot," kata Aisyah dengan ceria.

Luna tertawa renyah mendengar itu.

"Oh, iya. Bu, ngomong-ngomong anak-anak ke mana kenapa di sini sunyi?"

"Ah, di jam segini mereka belum pulang, Lun."

"Memangnya mereka ke mana?"

"Sekolah," jawab Aisyah dengan cepat. Senyumnya terus mekar tanda dia sangat bahagia mengingat itu.

"Mereka sekolah, Bu? Semuanya?" tanya Luna tak sangka.

"Iya, Luna. Ada orang baik yang membiayai pendidikan semua anak panti, kini tinggal yang belum cukup umur masih tidur di dalam kamar. Semua anak yang sudah besar di sekolah, ah. Ibu sangat bersyukur walaupun mereka tidak memiliki orang tua, setidaknya mereka memiliki masa depan yang cerah," tutur Aisyah membayangkan orang baik itu.

"Wah, siapa orang yang berhati mulia itu, Bu?"

"Emmm, sampai sekarang Ibu juga belum tau. Sebab orangnya tidak pernah datang langsung, dia selalu mengamanahkan biaya mereka melalui orang suruhannya."

***