Chereads / Balas Dendam Terindah Sang Istri / Chapter 14 - Permintaan Sania

Chapter 14 - Permintaan Sania

Bi Inem bergegas keluar kala melihat Luna sudah kembali dengan taksi, dengan penuh kehati-hatian bi Inem menuntun majikannya itu masuk ke dalam.

"Terima kasih, Bi."

"Sama-sama, Bu. Oh, iya. Apa, Ibu. Butuh sesuatu?" tanya bi Inem cepat, dia menatap wajah Luna yang tampak berseri-seri pagi ini.

Namun, sebisa mungkin Luna tak menatap mata bi Inem agar sandiwaranya tetap aman.

"Ah, tidak, Bi. Nanti kalau aku butuh sesuatu, aku akan ambil sendiri."

"Tidak, Bu. Kalau, Ibu. Butuh sesuatu panggil saya saja, ya!" pesan bi Inem, tangannya masih memegangi lengan Luna dengan erat.

Dia begitu menyayangi sosok Luna, bi Inem ingin menjaga Luna. Sebab bi Inem tak tega jika kembali teringat bahwa Ekal sudah berselingkuh di belakang Luna yang buta.

"Ah, Bibi. Ini, aku tidak apa-apa, kok."

"Saya juga lebih tidak apa-apa kalau, Ibu. Meminta bantuan," balas bi Inem cepat membuat Luna tertawa renyah.

"Ternyata menjadi buta tidak terlalu buruk, ya. Bi, aku jadi tau siapa yang sangat peduli padaku," imbuh Luna lembut dengan tawa yang sudah berganti senyum tipis.

Bi Inem mengusap lengan Luna, dia setuju dengan ucapan majikannya.

"Yang, Ibu. Katakan benar, namun. Saat buta, kita pun tidak akan tau siapa yang bermain api di belakang kita."

Mendengar itu kontan senyum Luna luntur, tatapannya yang tadi penuh binar jadi sendu.

"Benar, di saat aku buta Ekal semakin menjadi," katanya dalam batin.

"Duduk dulu, Bu!"

Bi Inem membantu Luna duduk, kini perasaan wanita itu jadi campur aduk.

Dengan kepala tertunduk Luna membayangkan wajah suami dan selingkuhannya itu.

"Bi, di mana pak Ekal?"

Bi Inem yang hampir pergi, jadi berhenti. Dia melirik sekitar dengan gelisah, bingung bagaimana harus menyampaikannya.

"Katakan saja yang sejujurnya, Bi!"

Terdengar helaan napas berat dari bi Inem, wanita paruh baya itu lantas berbalik melihat Luna masih dengan posisi yang sama.

"Kemarin malam setelah, Ibu. Pergi, pak Ekal pun meninggalkan rumah."

Luna menutup matanya, dia menarik napas panjang lalu ia hembuskan perlahan. Berusaha mengontrol dirinya agar tak terlalu merasa sakit jika ingat pasti semalaman Ekal mengabiskan waktunya lagi untuk Sania.

"Baiklah, Bi. Kalau begitu aku mau teh hangat, ya."

"Baik, Bu."

Bi Inem meninggalkan Luna sendiri di ruang tengah.

"Ternyata peringatan besar kemarin tidak membuat mereka sadar," gumam Luna.

Dia angkat kepalanya, matanya menajam menatap ke depan, Luna tidak akan membiarkan hatinya kembali tersakiti dengan hal ini.

Diliriknya setiap sudut rumahnya, memastikan jika di sana tak ada orang lain. Maka, dia mengambil ponselnya.

Mengirimkan pesan pada seseorang yang sudah menjadi mitranya dalam balas dendam.

"Baiklah, aku sudah muak dengan mereka."

***

Evans melirik ponsel kala ada satu pesan masuk, dia menyipit melihat siapa yang mengirimkan pesan.

"Dia ingin bertemu?" gumam Evans.

Pria yang berprofesi sebagai dokter itu tengah melihat rekam medis pasien jadi terjeda.

Evans melihat tab nya, ingin tahu jadwalnya hari ini. Dan, tidak ada pasien yang harus dia tunggu.

Maka, dengan cepat ia membalas pesan Luna.

"Ada apa lagi sekarang, apa dia kembali disakiti?"

Evans membuang napas panjang, setiap tahu jika Luna disakiti rasanya Evans geram.

Jika, dia bisa dirinya tak akan segan untuk langsung memberikan pelajaran tanpa aba-aba.

Sementara itu di apartemen Sania, Ekal baru saja mendapatkan kabar dari rumah. Jika, Luna sudah pulang.

Pria itu kalang-kabut, dia belum sempat memikirkan alasan apa yang harus dia berikan pada Luna nanti.

Sampai pelukan di pinggangnya menarik perhatiannya, Sania tanpa malu menyandarkan kepalanya di bahu Ekal dengan manja.

"Kan, aku sudah sering bilang. Kalau kita sedang bersama, jangan pernah peduli hp mu," tegur Sania, dia sudah sering mengatakan itu sesering ketika mereka bersama.

Ekal sedikit menoleh.

"Luna sudah pulang, Sayang."

"Lalu?" balas Sania seperti tak peduli akan hal itu, padahal Ekal sedang buntu memikirkan alasannya.

"Aku bingung harus memberikan alasan apa, kalau dia bertanya nanti," aku Ekal apa adanya.

"Jadi, sekarang kamu akan pulang?" simpul Sania, padahal Ekal tak mengatakan hal demikian.

"Bukan, aku ingin tetap di sini. Tapi, Luna pasti tengah mencari aku sekarang."

"Ck, ini yang membuat aku kesal. Apa susahnya bagimu untuk menceraikan wanita tidak berguna itu?" ketus Sania.

Karena kepalang kesal, dia menjauh dari Ekal. Mendekati jendela kamar dan bersedekap dada.

Ekal melihat Sania dengan bimbang, dia tak tahu harus apa sekarang.

"Sayang, kenapa kamu marah?"

"Kita sudah dua tahun dengan hubungan seperti ini, Ekal. Kamu mau menyembunyikan hubungan kita berapa tahun lagi? Kalau memang kamu mencintai aku, harusnya kamu melepaskan istrimu," tutur Sania tidak habis pikir.

Dia seperti buang-buang waktu saja dengan Ekal, dan layaknya pencuri mereka harus selalu bertemu diam-diam.

"Aku tidak bisa, Sayang. Aku memang mencintai kamu, tapi. Luna adalah rumah bagiku, ke mana pun aku pergi aku pasti akan selalu pulang padanya."

Hal yang sama selalu Ekal katakan.

"Kalau begitu pergilah padanya, akhiri hubungan denganku!" ancam Sania sudah mulai muak.

Ekal tak terima, dia bergegas mendekati Sania. Membuat wanita itu berbalik menghadap padanya lantas Ekal berkata.

"Tidak, aku tidak akan melepaskan kamu sampai kapan pun. Jika, Luna adalah yang pertama maka kamu yang terakhir untukku."

Sania tak memberikan respons apa-apa, dia hanya menatap garang pada Ekal.

"Baiklah, aku minta maaf. Apa yang harus kulakukan agar kamu bisa memaafkan aku?" tanya Ekal serius, seperti dirinya akan menyanggupi apa saja yang Sania inginkan.

"Waktu kita bersama terlalu sedikit, aku mau selama satu Minggu ini. Kamu menemani aku di sini, kamu tau, kan. Aku masih sedih atas kebakaran di pabrik, apa kamu bisa menyanggupi permintaan sederhana ini?"

Sederhana bagi Sania, namun. Sangat sulit untuk Ekal, dia pasrah pada keadaan kini.

"Aku akan lakukan, asal kamu mau memaafkan aku."

***

Setelah memberikan janji itu, Ekal kembali pulang. Dia menuju kamarnya di mana Luna pasti berada.

Luna yang kala itu baru selesai mandi, masih mengenakan handuk yang menutupi dada sampai paha kembali pura-pura buta.

Sebab dia sadar ada yang berjalan mendekat.

"Sayang, kamu baru selesai mandi?" tanya Ekal basa-basi padahal dia tahu Luna baru selesai mandi.

"Hmmm, seperti yang kamu lihat."

Luna mendekati kasur, di sana pakaiannya sudah tersedia. Tangannya meraba-raba kasur hanya untuk meyakinkan saja.

Ekal dengan peka mendekatkan pakaiannya ke tangan istrinya.

"Apa acara kemarin seru?" tanya Ekal dengan nada manis.

"Bukan hanya seru, tapi luar biasa. Bahkan rasanya aku ingin kembali melakukan hal yang sama," balas Luna dalam artian dia ingin membakar pabrik Sania kembali.

***