Luna membuka sarung tangan hitam itu, lantas melemparkannya begitu saja ke kasur kamar hotel.
Smirknya menghiasi bingkai wajah cantiknya yang kini tampak berbinar, tanpa basa-basi. Wanita itu langsung mengambil remote televisi.
Duduk di kasur dengan satu kaki yang bertumpu pada paha, dia menekan satu tombol. Maka, berita besar malam ini dapat dia saksikan.
Perlahan smirk itu berubah jadi senyum, lantas tawa renyah, dan berikutnya tawa wanita itu sangat menggelegar di dalam sana.
"Hahahaha, lihat wanita jalang itu. Dia menangis di depan abu pabriknya, itu yang kamu banggakan dan merasa pantas dengan suamiku? Ck, sekarang semuanya tinggal abu," cakap Luna bangga pada dirinya sendiri.
Masih setia menyaksikan kesengsaraan Sania, tubuh Luna perlahan tegak dengan keningnya yang berkerut kala melihat ada suaminya di sana.
"Kamu berbuat sesukamu sekarang Ekal, karena kamu pikir aku tidak akan melihat ini?" tanya Luna pada Ekal yang kebetulan disorot tengah menenangkan Sania yang histeris.
"Tidak masalah, Sayang. Lakukanlah apa pun sesukamu, maka. Aku juga akan lakukan semuanya seperti yang kuinginkan."
Luna mematikan televisi, dia rasa hari ini sudah cukup. Wanita itu menghempaskan tubuhnya ke atas kasur.
Luna membuang napas panjang, seperti satu beban hatinya sudah menguap kini.
"Ternyata menjadi jahat tidak seburuk itu," gumamnya dengan mata yang terpejam.
Malam ini Luna akan bebas di sana seorang diri, dan membiarkan Ekal bersama Sania walau jauh di dalam hati kecilnya Luna masih belum ikhlas.
Sebisa mungkin dia berusaha menerimanya dengan lapang dada. Entah berapa lama wanita itu akan sanggup untuk membohongi perasaannya sendiri.
Sementara itu, di tempat kejadian Sania sudah berhenti menangisi pabriknya.
Tak ada yang bisa diselamatkan, pabriknya sudah bersih jadi abu. Kini ditemani oleh Ekal, mereka duduk di dalam mobil.
Menghindari wartawan dan terus mengincar Sania untuk menanyakan banyak hal, padahal Sania pun tak tahu apa-apa.
"Aku yakin, pria sialan itu yang melakukan ini semua pada pabrikku," ucapnya di tengah keheningan mereka.
Ekal menoleh, dia tidak tahu apa yang Sania katakan dan siapa yang wanita itu maksud.
"Pria sialan, siapa?"
"Aku tidak kenal, tapi. Beberapa saat sebelum pabrik kebakaran ada nomor asing yang hubungi aku dan menerorku untuk menjauhi kamu, dan setelahnya dia membahas tentang pabrikku," imbuh Sania masih sangat ingat setiap perkataan Evans.
Ya, pria sialan yang Sania maksud adalah Evans.
"Berikan nomornya, aku akan lacak nomor itu dan kita akan temukan siapa dia."
Ekal tampak penuh semangat, tentu saja. Dia tak suka ada yang menganggu Sania seburuk ini, meneror seperti ini sudah tak bisa ditolerir lagi.
Tanpa bicara, Sania berikan nomor itu pada Ekal melalui pesan. Ekal melakukan tugasnya, dengan memberikan nomor itu pada anak buahnya untuk mereka lacak.
"Tunggu sebentar, aku yakin hanya dalam hitungan menit. Anak buahku akan menemukan siapa pemilik nomor itu," janji Ekal.
Dia mengusap puncak kepala Sania, berusaha menghibur. Namun, tampaknya itu tak memberikan arti apa pun.
Sania masih syok, bisnisnya yang selama ini dia usahakan mati-matian sudah lenyap hanya dalam satu malam.
Selang beberapa saat, satu notif dari ponsel Ekal. Membuat pria itu melihat ponselnya.
Ada pesan dari anak buah yang ia perintahkan untuk melacak nomor Evans, namun.
"Bagaimana, apa mereka sudah menemukan pemilik nomor itu?" tanya Sania penasaran bukan main.
Dia sudah siap untuk membalas bajingan gila itu pikirnya, sudah terlalu banyak berharap melihat kediaman Ekal membuat Sania merampas ponsel pria itu.
Dan, membaca apa agaknya pesan yang membuat Ekal membeku.
Melihat pesannya, reaksi Sania pun sama. Detik berikutnya dia memukul kaca jendela di sampingnya dengan kesal.
"SHIT! Bajingan itu mengunakan nomor yang tidak terdaftar," amuk Sania tidak tahan lagi.
Dia rasanya hampir gila karena masalah ini, Ekal menarik napas panjang lalu dia hembuskan perlahan.
Ekal ambil kembali ponselnya, dia lantas menggenggam telapak Sania dan berkata.
"Tenanglah, Sayang. Pria itu pasti memiliki tujuan hingga dia melakukan ini, jika kita tidak bisa mencari tahu siapa dia sekarang. Maka, di lain waktu kita akan tahu siapa dirinya," ujar Ekal memberikan pengertian.
"Tapi, Ekal. Kamu lihat! Pabrikku sudah hangus, tidak ada apa-apa lagi yang bisa kuselamatkan. Apa aku bisa tenang?" balas Sania, dia menoleh dengan matanya yang memerah menahan sesuatu yang sejak tadi siap tumpah.
Dia sungguh sedih, dia juga manusia biasa. Hal semacam ini tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Melihat itu, Ekal berinisiatif untuk memeluk Sania. Membawa kepala wanita itu tenggelam di dadanya.
"Ustttt, baikan, Sayang. Aku mengerti ini berat untuk kamu, tapi. Aku janji akan temukan pelakunya, sekarang jangan menangis lagi, ya? Aku akan temani kamu," janji Ekal tulus.
Sania tersingguk, dia sudah menangis di sana membuat kemeja Ekal basah.
"Aku tidak tau siapa dia, aku yakin tidak memiliki musuh...." aku Sania lirih.
Persekian detik setelahnya dia teringat akan sesuatu, dengan cepat wanita itu melepaskan pelukannya dia tatap manik Ekal dengan matanya yang sedikit membesar tak yakin pada apa yang baru saja diingat oleh otaknya.
"Ada apa?" Ekal bertanya heran.
"Aku tidak memiliki musuh dalam bisnis, tapi. Aku punya satu musuh dalam percintaan, istri kamu. Luna!"
Wajah Ekal berkerut, dia membuang muka. Tertawa sumbang, lantas mengusap wajahnya.
"Sayang, apa yang kamu maksud? Luna itu buta, memangnya wanita buta bisa membakar habis pabrik sebesar itu? Ah, ayolah. Sayang, Luna tidak mungkin bisa melakukan hal gila ini," bela Ekal.
Ekal tak bisa mempercayai Sania, wanita itu menuduh Luna yang buta.
"Untuk berjalan saja dia harus dituntun, Sayang. Bukan Luna pelakunya," tambah Ekal mantap, kala Sania hanya menatapnya dengan kebungkaman.
"Kamu membelanya di depanku?" ketus Sania.
Ekal tampak gelagapan, dia refleks menggeleng cepat tak membenarkan hal itu.
"Tidak, bukan begitu maksudku. Aku hanya menyampaikan apa yang menurutku benar, kamu hanya frustasi karena masalah ini. Aku mengerti, tapi. Bukan berarti kamu bisa menuduh Luna, ayolah. Dia bahkan tidak tau tentang kamu, Sayang...."
Sania membuang muka, napasnya memburu. Benar kata Ekal, Luna memang belum tahu tentang dirinya begitulah yang mereka tahu.
"Kalau begitu pasti aku memiliki musuh di bisnis ini, tapi siapa? Ah, aku hampir gila."
"Ck, sudahlah. Berhenti berpikir, sekarang kita kembali ke apartemen kamu, ya? Wartawan masih mencari kamu, aku akan temani kamu malam ini. Lagi pula Luna tidak akan pulang," tawar Ekal tanpa pikir panjang.
Pria itu menghidupkan mesin mobilnya, detik selanjutnya mereka menjauh dari tempat kebakaran itu.
Sania butuh waktu untuk menenangkan dirinya, dan memikirkan siapa musuhnya sebenarnya.
***