Hari-hari berlalu begitu cepat, tak terasa hari ini Luna datang ke rumah sakit, tentunya untuk melakukan pemeriksaan lagi.
Ditemani dengan Ekal yang setia menuntun dirinya, Luna semakin masuk ke bangunan rumah sakit.
Tiba mereka di ruangan Evans, ke duanya duduk. Tatapan Luna normal pada Evans yang tahu dirinya tidak buta.
"Selamat siang, Nyonya Luna. Bagaimana perasaan, Anda. Sekarang?" tanya Evans, namun. Matanya malah melirik tak santai ke arah Ekal yang sibuk dengan ponsel.
Luna ikut melihat ke arah tatapan Evans, dan dia paham apa maksud pria itu.
"Lebih baik, Dok. Karena saya memilih untuk mengikuti saran, Dokter."
Evans beralih menatap Luna, dia lantas tersenyum. Pria itu mengangguk bangga.
"Mari, kita akan melakukan pemeriksaan pada kepala, Anda."
Luna mengangguk, dia bangkit saat Evans bangkit.
Sadar akan hal itu, Ekal refleks ikut bangkit. Dia memasukkan ponselnya ke saku, dan memegang ke dua lengan istrinya.
"Akan ke mana?"
"Anda, tidak perlu ikut. Saya hanya hanya perlu memeriksa istri, Anda," ucap Evans membuat Ekal tak setuju.
"Saya harus selalu menemani istri, saya!" balasnya sengit, seakan-akan Evans akan merebut Luna darinya.
Evans hampir tertawa mendengar itu.
"Baiklah, Pak. Saya peringatkan sekali lagi. Istri, Anda. Hanya perlu diperiksa di ruangan yang berbeda."
"Ya, sudah. Kalau begitu saya ikut, untuk mengantarkannya."
"Tidak perlu repot-repot, suster yang akan membantu nyonya Luna."
Setelah mengatakan itu, seorang suster masuk dan gantian memegang satu lengan Luna.
Luna pun bergeser mendekati suster.
"Tidak apa-apa, Sayang. Aku pergi bersama suster saja, kamu tunggu di sini saja, ya!"
Mendapatkan perintah begitu dari Luna, Ekal tak bisa melakukan apa pun selain menurut.
Ke tiganya meninggalkan ruangan Evans, saat sampai di ruangan yang Evans maksud di sana sudah ada Dion.
Serangkaian pemeriksaan sudah dilakukan, dan. Evans melihat hasilnya merasa puas, kondisi Luna sudah jauh lebih baik.
Kini ke duanya tengah duduk berhadapan di ruangan itu, hanya berdua. Sebab Dion langsung pergi saat mendapat panggilan dari suster ada pasien yang harus dia tangani.
"Kondisi kamu sudah lebih baik, dan. Minggu depan adalah pemeriksaan terakhir," kata Evans memberikan hasilnya pada Luna.
Luna tak terlalu bersemangat untuk melihat itu, dia mengangguk sekilas. Lantas menutup berkasnya.
"Saya ingin melakukannya sekarang," kata Luna tiba-tiba saja.
Evans yang tak mengerti, mengerutkan keningnya.
"Melakukan apa?"
"Balas dendam saya, saya akan melakukan sesuatu yang paling ringan terlebih dahulu," katanya.
Mata Luna menyiratkan kebencian yang mendalam, melihat itu Evans memajukan sedikit tubuhnya dan membuat dadanya mengenai meja yang menjadi sekat antara mereka.
"Katakan, apa yang bisa saya bantu?"
"Dokter tidak perlu melakukan apa pun, saya hanya minta, Dokter. Mengirimkan beberapa orang untuk membantu saya nanti malam," imbuh Luna pelan.
Mereka bicara dengan sangat pelan, tak ingin ada siapa pun yang mendengar. Padahal hanya ada mereka di sana.
"Baiklah, hanya mengirim beberapa orang bukan hal yang sulit bagi saya. Tapi, kenapa saya tidak boleh melakukan apa pun? Memangnya kamu ingin melakukan apa?"
Luna memandang hal lain, tatapannya seakan melihat jauh ke masa depan. Perlahan wanita itu tersenyum miring.
"Sesuatu yang seru, dan. Reputasi, Dokter. Sangat bagus di kalangan masyarakat, saya tidak ingin membuat karir, Dokter. Hancur karena ikut campur, cukup kirimkan saja mereka nanti malam pada tempat yang saya inginkan. Nanti saya akan kirimkan tempatnya."
Setelah mengatakan itu, Luna bangkit siap untuk meninggalkan ruangan itu.
Sedetik sebelum pintu benar-benar dibuka, suara Evans sudah lebih dulu membuat Luna berhenti.
"Apa kamu akan turun langsung nanti malam bersama mereka?"
Luna memiringkan kepalanya sedikit, sampai ekor matanya dapat melihat sosok Evans.
"Ya, saya tidak akan benar-benar sembuh jika tangan saya tidak melakukannya sendiri, sebelumnya. Terima kasih atas bantuan, Dokter."
Luna membuka pintu dengan cepat, dia berjalan kembali layaknya orang buta dibantu suster yang sejak tadi menunggu dirinya di depan ruangan.
Setelah kepergian Luna, Evans masih terngiang-ngiang akan ucapan wanita itu.
"Apa yang ingin wanita itu lakukan? Apa pun itu pasti sangat buruk, balas dendam seorang istri adalah sesuatu yang paling tak bisa ditebak."
***
Malam ini, Luna sudah siap. Dengan gaun hitamnya dia bicara pada Ekal.
"Tapi, Sayang. Kenapa mendadak begini?"
"Mau bagaimana lagi, temanku yang menentukan ini. Dia bilang acaranya untuk syukuran atas kesembuhanku," dalih Luna.
Agar bisa meninggalkan rumah, Luna berbohong tentang temannya yang mengadakan acara.
"Kamu belum sembuh benar, Sayang. Bagaimana bisa kamu ingin bermalam di rumah orang lain?"
"Dia temanku, Sayang. Bukan orang lain."
Merasa misi ini akan berlangsung dengan penuh banyak resiko, Luna memutuskan untuk tidak pulang malam ini.
Ekal mengalah, dia akhirnya setuju.
"Aku antar, ya?"
"Tidak perlu, temanku akan mengirimkan mobil untuk menjemput nanti."
Suara mobil dari luar menarik perhatian ke duanya, itu adalah mobil yang akan membawa Luna pada misinya.
"Nah, itu pasti temanku!"
Luna sangat exaited ingin menuju pintu, Ekal tak tinggal diam.
Dia lagi-lagi membantu Luna untuk keluar, Luna bergegas masuk ke dalam. Melihat sopir yang akan membawa istrinya adalah pria dengan setelan serba hitam mata Ekal menyipit.
"Aku pergi, ya."
Belum sempat Ekal mengutarakan rasa penasarannya, mobil itu sudah melaju cepat meninggalkan perkarangan rumah.
Ekal membuang napas panjang, memilih untuk tidak mengambil pusing hal aneh itu. Dia mengambil ponselnya.
"Sayang, Luna sedang pergi. Malam ini aku sendiri, apa kamu mau menemani aku?"
Pria busuk itu menghubungi Sania, kesempatan seperti ini tidak boleh dilewatkan.
"Oke, datang saja ke apartemenku."
Sementara Ekal akan bersenang-senang dengan Sania, di perjalanan Luna tak sabar untuk memulai rencananya yang tampaknya akan sangat seru.
Mengabiskan waktu 20 menit untuk sampai pada tempat tujuan, di sana sudah terparkir tujuh mobil hitam.
Luna tahu, itu adalah mobil milik orang-orang kiriman Evans.
Saat dirinya turun dari mobil, semua pria dari mobil itu keluar.
Mata Luna terbelalak melihat begitu banyak orang yang Evans kirim, padahal Luna hanya minta beberapa.
"Apa yang dokter Evans lakukan, aku hanya minta beberapa. Dia malah mengirimkan begitu banyak, ck."
Walau tak sangka, Luna sedikit lega dan tak masalah.
"Jadi, apa misi yang harus kita lakukan?"
Suara bariton nan bas itu menarik Luna untuk melihat ke arah mobil paling depan yang pintunya perlahan terbuka.
Suara itu tak asing, persekian detik berikutnya Evans keluar dari mobil itu bersama pakaian yang senada dengan Luna.
"Dokter, kenapa ada di sini?"
"Karena mitra saya ada di sini, bukannya sejak awal kita sudah bekerjasama sama. Tidak pantas jika hanya kamu yang bergerak," katanya membuat Luna speechless.
"Kamu meminta mereka mengenakan pakaian hitam, pemakaman siapa yang akan kita hadiri?"
Luna tersenyum miring penuh maksud, tanpa menjawab. Dia berbalik melihat ke arah bangunan yang dipagar besi itu.
***