Kabar bangunnya Luna dari koma membuat Ekal langsung datang ke rumah sakit, tanpa basa-basi. Di wajahnya terpancar aura kebahagiaan yang tak terbendung. Ini adalah kabar bahagia yang selalu dirinya nantikan.
Kali ini Sania tak ikut, sebab pria itu tentu tak akan melakukan hal bodoh membawanya ikut bertemu dengan Luna secara langsung.
Di sana bi Inem tampak tersingguk dengan linangan air matanya yang tak bisa berhenti, juga ada Evans yang menatap ke arah Luna yang masih berbaring dengan tatapan kosong ke langit-langit ruang inapnya.
Membuat spekulasi buruk mulai menggerogoti Ekal, dia mengerutkan keningnya. Lantas perlahan mendekati istrinya.
"Luna?"
Mata Luna berkedip sekali, hampir saja dia menoleh ke arah suara itu. Namun, dia tahan dengan tetap memaksakan dirinya dalam posisi awal.
"Luna, kamu sudah bangun, Sayang?"
Bahkan sentuhan lembut yang biasanya membuat Luna selalu exaited, kini tak wanita itu respon.
Melihat tingkah tak biasa dari istrinya ini, jelas membuat Ekal bertanya-tanya. Apa agaknya yang membuat Luna demikian.
"Sayang, aku ada di sini. Kenapa kamu tidak mau menoleh ke arahku?" tanya Ekal mulai gelisah.
Mendengar itu, Luna menoleh ke arah Ekal. Namun, tatapannya tak tertuju pada suaminya.
Masih tak membuat Ekal puas, pria itu lantas menyentuh lengan istrinya.
Dan, sama saja. Itu tak membuat perubahan apa pun pada Luna.
"Sayang, aku ada di sini. Kenapa kamu tidak mau menatap mataku?" tanya Ekal langsung pada intinya.
Alih-alih mendapatkan jawaban, isakan pilu dari bi Inem semakin keras.
Jelas saja itu menarik perhatian Ekal.
"Ada apa, Bi? Kenapa, Bibi. Menangis? Luna sudah sadar, harusnya kita senang ka––"
Belum selesai kalimat Ekal, Luna sudah lebih dulu menyela dengan mengatakan.
"Maaf, Sayang. Mulai sekarang aku sudah tidak akan bisa membalas tatapan kamu lagi, bahkan aku hampir lupa seperti apa wajahku sendiri," selanya sukses membuat Ekal menatap Luna dengan tatapan yang tak percaya.
Untuk menyebut Ekal dengan sebutan itu saja rasanya Luna sudah muak, andai dia bisa. Dirinya akan langsung marah dan memukuli Ekal habis-habisan.
"Apa ... apa maksud kamu?"
"Nyonya Luna mengalami kebutaan, cedera pada kepalanya menimbulkan gangguan pada syaraf matanya," timpal Evans lugas.
Diam-diam Luna menatap Evans, dan begitu pulak sebaliknya. Luna bernapas lega sebab dokter yang menanganinya mau bekerjasama.
Ya, ini adalah permintaan Luna pada Evans. Dia ingin Evans menyatakan dirinya buta supaya bisa menjalankan rencana untuk membalas sikap buruk sang suami yang sudah di batas wajar.
"What? Tidak, tidak mungkin istri, saya buta. Luna, katakan padaku kalau ini semua bohong!" tegas Ekal, guna membuat Luna berkata jujur.
Ekal mencengkeram ke dua lengan otot Luna, matanya menyiratkan sesuatu yang tak bisa Ekal sampaikan dengan kata-kata.
"Apa ini pantas untuk dijadikan bahan candaan?" balas Luna, membuat harapan Ekal pupus detik itu juga.
Pria itu kontan mengusap wajahnya, dia menjauh dari Luna dengan tak yakin. Hal semacam ini bisa terjadi pada istri yang sangat dia cintai.
Tak lagi mendapatkan respon apa-apa dari Ekal, Luna tersenyum tipis. Namun, satu tangannya terkepal kuat.
"Kenapa, apa kamu tidak bisa menerima aku yang sekarang?"
Sungguh rasanya sakit untuk mengungkapkan kalimat itu, andai saja Ekal menjawab iya, maka Luna akan benar-benar hancur.
Awalnya Ekal tak menjawab, dia masih syok. Hingga terdengar helaan napas berat dari pria itu, setelahnya dia sedikit membungkuk lagi guna menatap wajah Luna yang masih terdapat luka lebih jelas.
"Apa yang kamu katakan, Sayang? Aku mencintai kamu, bagaimana pun kondisi kamu. Aku janji akan terus mencintai dan ada di sisi kamu," janji Ekal terdengar sangat manis.
Namun, Luna muak dengan itu. Andai saat ini Ekal tak selingkuh, mungkin Luna akan bahagia mendengar janji itu.
Tetapi, keadaannya sudah berubah. Luna tahu Ekal selingkuh saja sudah membuat dirinya hampir mati, dan setelah tahu saat dirinya koma pria itu membawa selingkuhannya ke rumah.
Tak ada kata maaf lagi bagi Ekal, Luna memilih pura-pura buta. Ingin melihat bagaimana Ekal dan selingkuhannya ke depannya nanti.
Apakah mereka semakin berani atau tidak, dan. Jika ke duanya semakin gila, maka. Luna tak akan segan untuk mengambil tindakan.
"Aku ragu dengan janji itu, Sayang...."
"Apa maksud kamu?"
Ekal tak paham, tentu saja. Dia tak tahu jika Luna kecelakaan karena melihat dirinya bermesraan.
Jadi, Ekal masih menganggap jika Luna tak tahu apa-apa tentang perselingkuhannya.
"Saat pertama kali aku membuka mata, kamu tidak ada di sini. Kupikir mungkin selama aku koma, kamu sudah terjatuh ke dalam pelukan wanita lain," sindir Luna berlagak tidak tahu apa-apa dengan ekspresi yang begitu datar.
Bahan ekspresi itu, tak pernah dia perlihatkan pada Ekal selama mereka bersama. Namun, kini situasinya sudah berbeda dan Luna pun akan menjadi wanita yang berbeda.
Ekal tampak gugup, dia memandang sana dan sini dengan tak tenang. Hingga tak segaja matanya melihat Evans yang menatap dirinya dengan datar.
Detik itu juga Ekal kembali bersikap santai, tak mau membuat keburukannya terlalu kontras dengan ekspresi bodohnya itu.
"Sayang, kamu baru saja bangun dari koma. Jangan pikirkan yang macam-macam, kamu tau aku tidak mungkin bermain gila."
"Ya, dulu aku tau. Tidak mungkin bagi kamu seperti itu, tapi. Sekarang keadaannya sudah beda, jemuran saja jika terlalu lama tidak dipedulikan akan diambil oleh orang lain. Apa lagi suamiku yang tampan dan kaya," balasnya membuat Ekal kehabisan kata-kata.
"Ehem, sepertinya saya harus ke luar. Permisi," potong Evans.
Dia cukup sadar dirinya hanya orang asing di sana, walau Luna meminta bantuannya untuk rencana wanita itu. Bukan berarti Evans harus tahu perbincangan di sana.
Melihat kepergian sang dokter, bi Inem ikut menyusul keluar. Memang benar, mungkin saja Luna dan Ekal butuh waktu berdua untuk bicara.
Sepeninggalan ke duanya Ekal duduk di kursi tunggal yang ada di sampingnya.
Dia butuh keadaan rileks untuk menjawab Luna.
"Sayang, ada apa dengan kamu? Kenapa mendadak kamu seperti ini? Apa karena aku tidak ada di saat kamu bangun mangkanya kamu berpikir serendah itu tentang aku?"
Tak mudah putus asa, Ekal harus memenangkan kepercayaan istrinya.
"Masalahnya tidak sesederhana itu."
"Lalu, apa? Kenapa kamu tiba-tiba menuduh aku begini?"
"Tapi, ini bukan tuduhan. Ini fakta, Ekal!" teriak Luna dalam batin, dia tak bisa menyuarakan isi hatinya.
Dia tahu harus bermain cantik untuk beberapa saat ke depan.
"Sayang?" tegur Ekal, tak kala Luna hanya diam dengan tatapan kosongnya.
"Maaf, aku terlalu over thinking," ucapnya pada akhirnya.
Demi keberlangsungan dendamnya, Luna tak keberatan untuk meminta maaf padahal dirinya tak pernah salah.
***