Lima hari berikutnya, Luna masih belum bangun dari komanya. Sepertinya wanita yang patah hati itu begitu betah dengan tidurnya yang panjang.
Hal itu pun semakin membuat Ekal mulai lelah terus bolak-balik ke rumah sakit, namun. Sampai detik ini kabar baiknya belum kunjung didengar.
"Saya dengar, Anda. Ahli bedah yang hebat, tapi. Kenapa istri saya masih belum sadar? Apa saya salah mempercayakan kesembuhannya pada, Anda?"
Pertanyaan itu lebih mirip ke sebuah comooh, Ekal katakan hanya untuk membalas sikap Evans tempo hari.
Tak memberikan respons yang menunjukkan jika dirinya tersinggung, Evans tetaplah Evans. Dia sangat santai tanpa mau menoleh pada Ekal sedikit pun.
Hal itu membuat Ekal merasa kian terhina, sebab sepertinya Evans tak peduli jika Ekal mencaci lebih dari itu.
"Tidak ada yang salah dengan reputasi saya, dan setiap pasien yang mendapatkan sentuhan tangan saya pasti akan hidup lebih lama. Tetapi, itu tidak terjadi pada istri, Anda."
Matanya masih fokus memperhatikan setiap alat medis yang melekat pada Luna, setelah yakin semuanya aman. Baru Evans menghadap ke arah Ekal dan Sania yang selalu di sisi pria itu.
"Bukan berarti saya gagal dalam memberikan penanganan, semuanya baik-baik saja setelah operasi. Tapi, sepertinya yang salah bukan pada operasi saya. Melainkan pada keinginan pasien sendiri," tambahnya dengan nada yang dingin.
Dion yang ada di antara mereka, harap-harap cemas melihat bagaimana dokter ahli bedahnya terlibat perang dingin dengan keluarga pasien.
Yang mana ini tidak pernah terjadi.
"Apa maksud, Anda? Anda, tidak ingin mengakui jika ada yang salah dengan operasi itu hingga istri saya koma?" tekan Ekal semakin memojokkan Evans.
Alih-alih kesal karena tudingan yang tak berbukti itu, Evans malah tersenyum miring.
Dia memalingkan pandangannya, jika tak ingat Ekal adalah keluarga pasiennya. Mungkin Evans tak akan segan mengatai pria itu bodoh.
"Sehari setelah pasien koma saya sudah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh, memang pada saat itu ada yang salah. Tapi, saya sudah perbaiki. Dan, jika sesuai dengan hitungan saya. Maka pasien akan sadar dalam waktu satu hari berikutnya, namun. Sampai masalahnya sudah tidak ada, pasien masih belum siuman. Saya menyimpulkan dari sini, jika pasien memang tidak ingin kembali hidup...."
Ekal mengeram kesal, dia tak suka jika ada yang bicara macam itu. Hal itu sungguh mengerikan, dia belum siap untuk segala kemungkinan.
"Atau mungkin sebelum kecelakaan, pasien menjalani hidup yang membuat mentalnya down. Jadi, lebih baik mari sama-sama berkaca, Pak. Apakah yang salah ada pada kinerja saya, atau pada tingkah, Anda."
Senyum itu langsung hilang, begitu Evans menatap pada mata elang Ekal.
"Permisi!"
Seperti biasa, Evans yang akan lebih dulu meninggalkan perbincangan panas itu. Selalu menyisakan Ekal dengan rasa kesal yang kian menggebu-gebu.
"Apa maunya dokter sialan itu?" gerutunya.
Sania mengigit bibir bawahnya, setelah mendengar jika Luna tak memiliki semangat untuk sadar membuat dirinya bahagia bukan main.
Itu tandanya, dirinya akan bisa memiliki Ekal seutuhnya.
"Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan. Dia hanya seorang dokter," tegur Sania.
Ekal menggeleng guna mengembalikan kesabarannya, Ekal mendekati istrinya yang masih saja damai dalam tidurnya.
"Sayang, ada apa sebenarnya? Kenapa kamu tidak mau bangun? Apa tidurnya terlalu menyenangkan dari pada bertemu denganku?" tanyanya mulai putus asa.
Sania bersedekap dada, dia muak melihat hal yang sama selalu Ekal lakukan lima hari belakangan ini.
Hingga malam, Ekal baru teringat. Jika barang-barang Luna kurang, mengingat wanita itu masih koma. Dan tak tahu kapan akan siuman.
Ekal memutuskan untuk kembali pulang bersama Sania untuk menjemput barang yang Luna perlukan.
Begitu semua barangnya sudah di tangan Ekal, hujan turun dengan badai. Membuat ke duanya memutuskan tak pergi.
"Sayang, ini sudah malam sekali, cuacanya sangat tidak memungkinkan untuk aku pulang," kata Sania.
Di sofa putih yang berada di kamar Ekal dan Luna, Sania tak segan bersandar pada dada bidang kekasihnya.
Ekal pun sama saja, dia tak menunjukkan tanda-tanda jika dirinya keberatan.
"Ya, sudah. Kalau begitu tetap saja di sini," katanya tak tahu malu.
Tidak ada yang menduga, jika di celah pintu yang tak tertutup rapat itu. Pembantu rumah yang sudah bekerja empat tahu melihat adegan yang tak seharusnya ia lihat.
Wanita paruh baya itu menutup mulutnya tak menduga, saat Sania dengan berani memancing Ekal lebih dulu untuk melakukan hal yang lebih.
Pembantu yang sering disapa Bi Inem itu menggeleng tak habis pikir, ia bergegas menjauh sebab merasa sangat jijik dengan pemandangan yang baru saja dirinya saksikan.
"Astaga, bagaimana bisa pak Ekal melakukan hal itu? Kasihan bu Luna," katanya sedih.
***
Paginya, niat Ekal untuk mengantarkan barang-barang Luna malah lenyap begitu saja sebab pikirannya sungguh sudah penuh oleh Sania.
Dia memerintahkan pada bi Inem untuk mengantarkan barang Luna ke rumah sakit.
"Bi, tolong bawakan barang-barang Luna ke rumah sakit, dan temani dia di sana. Untuk beberapa hari ini saya akan sibuk," katanya sembari memberikan sebuah tas berukuran sedang.
Bi Inem dengan kepala tertunduk tak bisa menolak, dia diam-diam melirik Sania dengan wajah tak suka.
"Hey, kenapa menatapku seperti itu?" tegur Sania, dia sadar akan tatapan tak suka dari wanita paruh baya itu.
"Maaf, Pak. Jika terkesan tidak sopan, tapi. Siapa wanita ini, kenapa dia ada di sini pagi-pagi begini?"
Memilih untuk pura-pura tidak tahu, bi Inem hanya ingin tahu apakah majikannya itu akan jujur.
Secara naluri Ekal menoleh, menatap Sania. Wanita itu mengangkat ke dua bahunya.
"Dia teman, saya. Sudahlah, lakukan saja perintah saya!"
"Kenapa tidak, Bapak. Sendiri yang mengantarkan barang bu Luna ke rumah sakit?"
Mendengar pertanyaan yang terkesan tak sopan itu, Ekal dan Sania yang tadinya sudah berbalik siap untuk pergi. Kembali menghadap pada bi Inem dengan Ekal yang mengerutkan keningnya.
"Apa yang baru saja Bibi katakan? Apa, Bibi. Tidak suka dengan perintah saya? Lagi pula saya sudah bilang, belakangan ini saya akan sibuk," tegas Ekal dingin.
"Bukan begitu, Pak. Tapi, bukannya selama bu Luna di rumah sakit. Bapak, yang selalu menjaganya, kenapa sekarang tiba-tiba sibuk?"
Entah bagaimana Ekal akan menilai bi Inem, yang bi Inem lakukan hanya sesuai dengan nalurinya saja.
Dia juga wanita, sebagai sesama wanita. Bi Inem sakit hati melihat Ekal main gila di belakang Luna yang sekarat.
"Apa urusan saya harus, Bibi. Ketahui semuanya? Lagi pula kamu ini hanya pembantu! Selama ini saya lunak bukan berarti kamu bisa seenaknya!"
Bi Inem membeku, Ekal yang jauh lebih muda mulai mengingatkan posisi wanita tua yang dulu selalu dirinya perlakukan sopan.
"Dan, ya. Jangan bicara apa pun tentang ini jika Luna sudah sadar nanti."
***