Genap dua Minggu sudah Luna koma, dan sejak Ekal tak lagi menemani Luna di rumah sakit.
Bi Inem yang rutin datang untuk sekedar melihat majikannya yang malang itu, lagi pula Bi Inem sudah tidak betah di rumah lama-lama.
"Bu, cepatlah sadar. Saya lelah terus melihat pak Ekal kerap sekali membawa wanita menjijikan itu ke dalam rumah...." adu bi Inem dengan matanya yang berkaca-kaca.
Padahal bukan dirinya yang diselingkuhi, tapi. Rasanya seperti dia bisa merasakan apa yang Luna rasakan jika wanita itu sadar.
"Jika, Ibu. Bangun setidaknya pak Ekal tidak akan berani membawa wanita lain ke rumah dan bermalam di kamar ... kamar kalian...."
"Malang sekali nasib, ibu."
Pertahanan bi Inem runtuh, air matanya tumpah begitu saja. Dan, tanpa sadar air mata itu mengenai lengan Luna.
Luna memberikan respons dengan menggerakkan tangannya, sebab dia terkejut dengan air yang jatuh.
Yang mana itu membuat bi Inem kontan berhenti menetaskan air mata, dia lihat wajah Luna beberapa detik.
"Astaga, Bu Luna apa sudah sadar? Tunggu, saya panggilkan dokter!"
Bi Inem sangat exaited mendatangi dokter, sampai dia tak bisa lagi melihat ketika air mata luruh dari kelopak mata yang masih tertutup rapat itu.
Awalnya hanya air mata saja, hingga beberapa detik ke depannya isakan pilu itu berhasil lolos dan telapak Luna meremas kuat sprai rumah sakit menyalurkan rasa sakitnya.
Diam-diam dia mendengarkan apa yang bi Inem katakan, Luna sebenarnya sudah sadar sejak bi Inem mengatakan semua hal itu padanya.
Luna segaja tetap menutup mata untuk mengetahui seberapa brengsek suaminya.
"Ahhhh, kenapa rasanya begitu menyakitkan?" gerutu wanita itu dengan mata tertutup.
Dia enggan membuka mata.
"Kenapa aku harus bangun di saat kenyataan pahit itu tengah diutarakan?" tambahnya, Luna seperti berharap jika dirinya tak mendengar semuanya.
Dia tahu suaminya main gila, tapi. Tak pernah duga kalau akan semakin buruk dengan Ekal membawa wanita itu ke rumah mereka.
Suara derap langkah mendekat, membuat Luna menarik napas panjang.
Dia tidak lagi terisak, dan masih pura-pura belum sadar. Namun, bodohnya dirinya lupa untuk menyeka air matanya.
Evans masuk dengan bi Inem di belakangnya, Evans yang pertama kali sadar akan air mata dan ekspresi sedih Luna.
Luna tak terlalu pandai menyembunyikan kesedihannya, hingga Evans mengatakan.
"Tolong tunggu di luar!"
Bi Inem mengangguk patuh, sepeninggalan wanita tua itu. Evans yang tadinya ingin memeriksa Luna, jadi berdiri saja dengan ke dua tangan yang dia tautkan di belakang punggungnya.
"Buka matamu, sudah tidak ada siapa-siapa di sini!"
Luna tak merespon, dia bertingkah sama. Menganggap Evans sangat bodoh, tak akan paham dengan pura-puranya.
Terdengar helaan napas dari Evans, dia membalikkan tubuhnya memilih menghadap tembok dan kembali berseru.
"Saya tidak akan melihat, setidaknya hapuslah air matamu jika ingin berbohong!"
Mendengar itu, kontan Luna membuka matanya. Tangannya secara naluri menyentuh pipinya yang basah, dan buru-buru menghapusnya.
"Dokter berbohong, Dokter. Bilang sudah tidak ada siapa-siapa, tapi. Anda, masih di sini," kata Luna tak lagi menyembunyikan keadaannya.
Masih dengan posisi yang sama, Evans dengan wajah datarnya tampaknya sangat betah melihat ke tembok.
"Saya tidak berbohong, saya hanya dokter. Saya bukan siapa-siapa bagi, kamu arusnya biasa saja. Dan, anggap saja. Saya tidak ada. Oh, iya. Saya harus memeriksa kamu, apa saya sudah boleh berbalik?"
"Berbaliklah, lagi pula saya tidak akan anggap kehadiran, Dokter," balas Luna mengatakannya sesuai dengan yang Evans sampaikan.
Dan, itu menarik sudut bibir Evans menciptakan senyuman tipis. Luna ternyata wanita yang pandai bicara.
"Baiklah, mari kita periksa. Dan, cari tau apa alasan kamu menangis. Apa ada yang sakit? Jika, ada katakan saja. Saya akan melakukan pemeriksaan menyeluruh lagi," tawar Evans dengan tangan yang sibuk memeriksa Luna.
Luna tersenyum miris, dia menyentuh dada sebelah kiri.
"Saya menangis karena lukanya di sini, lagi pula. Dokter, tidak akan bisa menyembuhkannya," ungkap Luna membuat pergerakan Evans terhenti sejenak.
Hanya beberapa detik, sebab dia kembali melakukan tugasnya. Dan, saat sudah memastikan Luna dalam kondisi yang stabil. Evans menjauh.
"Andai saya bisa, saya juga akan menjadi ahli bedah jantung," ucapnya bercanda.
Tak terlalu buruk, Luna tersenyum manis mendengar itu. Namun, senyumnya tak terlalu indah sebab masih kontras dengan ekspresi sedihnya yang sangat kentara.
"Jangan terlalu bersedih, kamu baru bangun dari koma. Setidaknya berbahagialah untuk diri sendiri sudah bisa melewati masa-masa kritis," tambah Evans memberikan semangat pada Luna.
Sebab hanya dirinya yang ada di sana, Luna melirik sekitarnya dengan perasaan hampa. Lantas dia tersenyum miris untuk yang ke dua kalinya.
Dia buang muka, guna menyembunyikan kesedihannya.
"Tidak ada alasan untuk saya senang, Dok. Lihat, tidak ada siapa-siapa yang mengharapkan saya bangun. Sepertinya kesembuhan saya juga akan membawa kesusahan untuk suami saya, dia tidak akan bisa membawa wanitanya lagi ke rumah."
Seperti tengah berbagai dengan teman lama, Luna tak segan menyampaikan semuanya pada Evans. Padahal ini kali pertama dirinya bicara empat mata.
"Ada yang menunggu kamu untuk sembuh."
Luna tertarik untuk menoleh ke arah Evans, keningnya berkerut tanda dia tak paham dengan maksud pria itu.
"Siapa?"
"Saya."
Mendadak hening, Luna bingung harus memberikan reaksi seperti apa. Dan, melihat itu Evans tersenyum tipis. Dia sadar sepertinya ucapannya sudah membuat Luna salah paham.
"Jangan salah paham, saya memang selalu mengharapkan kesembuhan semua pasien saya. Saya yang menangani kamu, jika kamu terlalu lama koma. Maka, reputasi saya akan buruk mengingat saya ini adalah dokter yang sangat terkenal," ungkapnya apa adanya, sedikit sombong.
Luna manggut-manggut paham, bersama senyuman maklum dengan ucapan Evans.
Dia pun tahu maksud Evans berkata demikian hanya untuk menghibur saja, Luna tak keberatan setidaknya ada satu orang yang mengharapkan kesembuhannya.
"Saran saya, sebaiknya kamu tidak perlu terlalu memikirkan ulah suamimu. Fokuslah pada masa pemulihan. Dan, jika memungkinkan lebih baik kamu membalasnya. Melihat dirimu, saya yakin kamu bukan wanita yang akan diam saja jika diperlukan buruk," saran Evans.
Luna masih mendengarkan Evans dengan baik, dan pikirannya tak bisa berhenti untuk tidak memikirkan suaminya dan Sania.
Hingga tekad muncul dalam benaknya, tak sadar berapa lama dia melamun. Evans sudah hampir keluar dari sana.
Tetapi, Luna lebih dulu mencegah dengan memanggilnya.
"Dokter!"
"Ya?"
Dengan gesit, Evans berbalik bersama dua alis yang dia angkat.
"Apa saya boleh minta sesuatu dari, Dokter?" tanyanya ragu-ragu.
Evans yang penasaran, tak bisa menahan diri untuk tidak mendekati Luna kembali pada posisi awal.
Dia mengangguk, siap untuk mendengarkan apa permintaan wanita yang baru saja bangun dari komanya.
"Saya minta kerjasamanya."
"Untuk apa?"
***