"Istri, Anda koma."
Dunia Ekal seakan runtuh detik itu juga, Evans baru saja mendapatkan hasil pemeriksaan secara menyeluruh yang ia lakukan pada Luna.
Dan, ternyata ada sesuatu yang salah pada kondisi Luna.
Semua orang yang mengetahui orang dicintanya koma, pasti akan terpukul. Namun, di sana hanya Sania yang tampak bahagia dengan senyuman tipisnya.
Dia menyembunyikan senyum itu dengan membuang muka ke arah lain, namun. Itu tak lepas dari pandangan Evans.
Dan, secara tak segaja matanya menangkap sesuatu yang tak asing. Tanda merah keunguan di leher jenjang Sania sangat kontras dengan ekspresi bahagianya hari ini.
Melihat itu Evans tak bisa menahan diri untuk tidak memastikan pada diri Ekal, dan benar. Tanda yang sama juga ada pada Ekal.
Cukup, Evans sudah muak. Dia pun geram, hingga tak sadar melakukan sesuatu yang seharusnya tak ia lakukan.
"Saya ingin melihat istri, saya!" seru Ekal, dia tak segan mendekati pintu ruangan inap Luna.
Namun, dengan berani Evans lebih dulu menghadang Ekal dengan merentangkan satu tangannya di depan pintu.
Kontan Ekal berhenti, keningnya berkerut tak paham dengan maksud dokter yang menangani istrinya.
"Pasien belum bisa dijenguk, lebih baik, Anda. Tunggu saja di sini, atau pergi seperti kemarin malam!" tandasnya membuat asistennya mendelik.
"Dokter...." tegurnya, merasa ini tak pantas dikatakan untuk ukuran dokter seperti Evans.
"Apa maksud, Anda?"
Evans menarik tangannya kembali, dia menempatkan ke dua tangannya saling bertautan di belakang tubuhnya.
Dengan dada yang tegak dan tatapan begitu tegas, Evans menjawab.
"Maksud saya, kemarin adalah kali pertama saya melihat seorang suami tega meninggalkan istrinya yang tengah operasi dengan wanita lain, jangan salah paham, Pak. Ini hanya ungkapan hati saya saja...."
Evans menarik napas sejenak.
"Akan lebih baik kekesalan ini saya ungkapkan dengan kata-kata, dari pada sebuah pukulan, permisi!"
Muak melihat wajah dua orang itu, Evans kembali masuk ke ruang inap Luna. Dia tampak sangat menjengkelkan bagi Ekal.
Tangannya terkepal, tapi. Dirinya tak bisa melakukan apa pun sebab yang Evans katakan memang benar.
Ekal semalam menghabiskan waktu dengan kekasihnya, melihat suasana yang tak lagi seru.
Asisten dokter itu, ikut masuk menyusul dokter yang harus dirinya selalu bantu dalam segala hal.
"Apa itu tadi, Dok? Bukannya pasien sudah bisa dijenguk?"
"Benar, tapi tidak untuk seorang bajingan."
"Tapi, Dok. Pria tadi adalah suami pasien," tegurnya ragu.
Evans tertarik untuk melihat asistennya dengan tatapan yang begitu dingin.
"Jika wanita ini tidak koma, saya yakin. Dia pun tidak akan mau bertemu dengan suaminya yang baru saja menghabiskan malam panas dengan wanita lain," cakapnya penuh keyakinan.
"Dokter tau dari mana kalau suaminya seperti itu, kita tidak boleh berpikir buruk tentang orang lain, Dok."
Evans mendengkus, tatapannya kembali menyorot pada Luna.
"Pria itu sendiri yang menimbulkan nilai buruk pada dirinya, tanpa melihat pun saya tau dia bersenang-senang di saat istrinya sekarat. Ada begitu banyak tanda menjijikan di leher ke duanya," tutur Evans sukses membuat asistennya menutup mulut tak percaya.
"Dokter, sangat peka akan hal seperti itu?" ucapnya tak sangka.
"Dokter Dion, saya memintamu ke sini. Untuk apa memangnya?" tegur Evans gantian pada pria yang disapa Dion itu.
Secara naluri, setelah mendengar nada seperti itu dari dokter ahli bedahnya.
Maka, Dion langsung melakukan tugasnya. Yaitu memeriksa setiap alat yang baru saja dipasang demi kelangsungan hidup Luna sudah aman terpasang.
Evans menggeleng, tak habis pikir dengan Dion yang selalu saja tak berubah.
***
"Kamu tidak apa-apa, Sayang? Kamu terlihat kesal," tegur Sania.
Masih setia di depan ruang inap Luna, Sania mengambil kesempatan ini untuk semakin membuat Ekal bertekuk lutut di hadapannya.
Selama ini dia dan Ekal hanya bermain diam-diam di belakang Luna, dan. Sekarang Luna koma, entah kapan wanita itu akan sadar.
Sebisa mungkin Sania akan gunakan waktu ini dengan sebaik-baiknya.
"Apa aku akan tetap baik-baik saja? Dokter sialan itu sangat berani padaku, memangnya apa haknya? Untuk menceramahi aku? Dia hanya dokter rendahan!" caci Ekal tak tahan lagi.
Dia masih saja cemas sebab belum bisa melihat keadaan istrinya, dan. Sekarang emosinya malah diuji dengan ucapan Evans.
"Eummm, tapi. Yang dokter itu katakan benar, Sayang...."
Pelan tapi pasti, kalimat itu sangat membuat Ekal tak tahan untuk tidak melirik garang pada kekasihnya.
"Kamu ada di pihaknya, huh?" tanyanya tak santai.
Melihat Ekal yang semakin kesal, Sania menggeleng cepat. Dia mengusap lengan Ekal berkali-kali demi menenangkan pria itu.
"Jangan salah paham, aku tentu akan selalu di pihak kamu...."
Sania menjeda ucapannya, dia melihat sekitar. Tak ada yang bisa mereka lakukan di sana selain menunggu, tetapi. Masalahnya adalah Sania sangat benci menunggu.
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan saja agar pikiran kamu sedikit jernih, lagi pula tidak ada yang bisa kita lakukan di sini, istrimu masih belum bisa dijenguk," usulnya.
Ekal membuang napas kasar, dia mengangguk. Sepertinya pria itu memang sudah terlalu banyak dipengaruhi oleh Sania.
Hingga dia kali ini tak ada lagi terlihat tanda-tanda jika dirinya keberatan meninggalkan istrinya yang koma seorang diri.
Tanpa malu, Sania mengandeng lengan Ekal dengan erat. Senyumnya begitu lebar menghiasi wajah.
Tak butuh waktu lama, ke duanya sampai di tempat yang pas untuk menghilangkan suntuk.
Apartemen Sania, padahal baru saja beberapa jam lalu Ekal keluar dari sana. Dan, kini dia kembali datang.
Sampai di lobby, ke duanya tampak bahagia berbincang ria. Tak menyadari jika mereka berselisih dengan seorang wanita yang terlihat terkejut dengan kedatangan ke duanya.
Dia wanita yang seumuran dengan ke duanya, bahkan dirinya sampai berbalik untuk memastikan jika matanya tak salah lihat.
"Bukannya itu suaminya Luna? Apa yang dia lakukan dengan wanita lain di sini? Mereka tampak mesra," ucapnya.
Tak mau terlalu banyak menerka, dia langsung mengeluarkan ponselnya dan memotret mereka dari tempatnya berdiri.
Begitu ke duanya menghilang saat masuk lift, baru wanita itu berhenti memotret.
"Ah, Luna yang malang. Apa dia tahu kelakuan suaminya seperti ini?"
Dia adalah teman Luna semasa SMA, masih berhubungan baik hingga kini. Membuat dirinya mengenal siapa yang baru saja dia potret.
"Aku harus kirimkan ini padanya, setidaknya dia harus tau jika suami yang begitu dia cintai adalah pria brengsek," geramnya dengan jemari yang sibuk mengirimkan beberapa foto itu.
"Kuharap kamu masih tetap baik-baik saja setelah ini, Luna."
Wanita itu tampak prihatin, dia kasihan pada nasib Luna.
"Ah, padahal dia wanita yang sebatang kara tanpa orang tua. Melihat suami macam apa yang dia dapatkan, membuatku ingin menangis."
***