Saat ini badan Anna seakan mati rasa. Dewa benar-benar keterlaluan, dia mengacak-acak kamarnya sendiri dan menyuruh Anna untuk membereskannya. Mungkin jika saja kamarnya tidak seluas bak stadion maka hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja, ini sudah lebih dari 30 menit dan Anna masih menyapu lantainya–membersihkan camilan yang sengaja dibuat berserakan.
Sialan!
Cowok itu sungguh merepotkan. Anna masih sibuk menyapu dari sudut ke sudut sementara Dewa sedang menonton layar televisi sambil dengan nyaman memeluk guling.
Sesekali Anna menggerutu, menyumpahi anak itu agar segera lenyap dari muka bumi ini. Jika Dewa hilang dari semesta, maka tidak akan ada lagi intimidasi dan perundungan di sekolah. Ya, Anna berharap Dewa benar-benar bisa menghilang.
Harusnya hari ini menjadi hari istirahat untuk Anna, karena ia baru saja pulang dari luar kota. Entahlah, harinya selalu sial semenjak bertemu Dewa.
Saat menyedot sisa debu, mata Anna teralihkan pada sepatu kaca yang tampak familiar. Anna berjalan ke nakas untuk melihat benda yang terpajang di atasnya.
"Mau ngapain? Jangan sentuh barang-barang itu!" sentak Dewa membuat lengan Anna langsung turun.
"Itu sepatu kaca?" Anna bergumam sendiri sembari mengingat-ingat sesuatu.
Jantung Anna hampir saja imigrasi ke lambung saat Dewa tiba-tiba memangku tubuh mungilnya dan didudukan ke sofa.
"M–mau ngapain?" tanya Anna sedikit takut.
Dewa tak menjawab, pria itu kelihatan mengambil sepatu itu dan langsung memakainnnya pada Anna. Tadinya Dewa tidak kepikiran, tetapi saat mengingat perkataan Glen Dewa juga penasaran.
Dewa terkejut saat melihat sepatu itu pas dengan kaki Anna. Ia mendongak dengan mata lebar ke arah Anna yang sekarang sedang kebingungan.
"Lo pemilik sepatu kaca ini?" tanya Dewa dengan mimik wajah masih kelihatan kaget.
Anna melihat ke bawah, lebih tepatnya ke arah sepatu yang kini melekat di kakinya.
Gadis itu meremas sisi roknya saat mengingat kejadian malam itu. Di mana ia menabrak seorang pria lalu sepatunya menghilang dan sekarang Anna ingat bahwa sepatunya terlepas karena tersandung tangan pria yang ditabraknya.
Anna juga ingat bahkan ia tak sengaja berciuman dengan cowok itu. Ia benar-benar tidak menyangka jika cowok itu adalah Dewa.
Lalu bagaimana sekarang? Apa yang akan terjadi? Anna tidak mau jika Dewa tahu bahwa sepatu ini benar miliknya kemudian urusannya akan bertambah panjang dan pria ini enggan melepaskannya.
"Aw! Aduh.... sepatunya kesempitan!" rengek Anna bersandiwara. Hanya ini satu-satunya cara agar Dewa tidak mengira jika ialah pemilik sepatu itu.
Dewa segera melepaskan sepatu itu.
"Gue kira lo! Untunglah. Lagipula lo kan jelek, culun! Mana mungkin juga cewek di pesta itu lo!" kata Dewa sambil menggedikan bahu. Pria itu merasa lega karena perkiraan Glen salah.
***
Hampir jam empat sore, Prince masih sibuk main game di kamar Juna. Akan tetapi, sebetulnya tujuan pertamanya adalah mencari tahu siapa gadis yang Juna bawa ketika malam itu. Dia bilang gadis itu adalah pelayan di rumahnya. Namun sampai saat ini Prince masih belum melihatnya.
Sudah beberapa kali beralasan pergi ke dapur untuk mencari camilan favoritnya, tetapi Prince masih tidak melihat gadis itu. Hanya ada beberapa pelayan berusia kepala tiga. Tidak ada yang muda.
Prince berdeham, memecah keheningan.
Juna masih bergeming dan terus fokus pada stik gamenya.
"Ngomong-ngomong pelayan lo yang itu kok gak kelihatan?" Prince sedikit canggung menanyakan hal ini.
Juna menoleh sekilas. "Anna?"
"Anna? Bukannya namanya itu, Eliana yah?"
Dengan mata menyipit Juna berhasil mengalahkan Prince.
"Yah kalah," keluh Prince yang kemudian membanting stik game nya ke sembarang arah lalu tertidur dengan kepala menyandar di sisi ranjang.
"Lo gak tahu emang? Eliana itu Anna. Nama lengkapnya Eliana Mahesa," jelas Juna memberitahu.
Seketika mata Prince terbuka. Sekarang Prince ingat, ia juga pernah mendengar nama Eliana. Prince sangat terkejut jika Eliana di pesta itu adalah Anna. Penampilan gadis itu sangat jauh berbeda. Ya, bahkan Prince sendiri pun tak bisa mengenali cewek itu.
"Kenapa" tanya Juna datar
Prince masih menunjukan ekspresi kaget. "Dia kerja di rumah lo?" Pertanyaan dari Prince mendapat anggukan singkat dari sang empu.
"Sejak kapan?"
"Baru lima bulan."
"Selama itu? Wah, kenapa lo ga ngasih tahu gue?" protes Prince yang mendumel sendiri.
"Apa pentingnya ngasih tahu lo?"
***
Dewa menghabiskan dua jam di kamar mandi. Anak itu memang seringkali ketiduran saat berendam, entahlah rasanya nyaman saja tidur di bathtub dengan keadaan rilex.
Lelaki itu keluar dengan handuk membungkus pinggangnya. Saat hendak mengambil baju, betapa terkejutnya melihat Anna tergeletak di lantai. Lantas Dewa segera menghampiri anak itu.
Dewa sedikit membungkuk lalu menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah Anna.
"Heh! Lo pingsan?" tanya Dewa.
Anna masih tak berkutik. Matanya masih terpejam.
"Lo pingsan atau tidur si?" Dewa menepuk pipi Anna agar sang empu segera membuka mata. Namun nihil, anak itu tak kunjung bangun juga.
Dewa pikir tak ada gunanya membangunkan Anna, sebab usahanya sia-sia, anak itu masih mengatupkan netranya. Dewa membiarkan Anna tidur di lantai, sementara ia melanjutkan hal yang tertunda–berganti baju.
Usai beres, Dewa masih enggan membangunkan atau sekiranya memindahkan tubuh mungil Anna ke sofa atau tempat tidurnya. Dewa melenggang ke luar begitu saja.
Rasa dingin seolah menusuk tulang Anna. Cahaya matahari sore menembus mata Anna hingga membuatnya perlahan membuka kelopak matanya.
Anna meringis, merasakan kepalanya begitu berat ditambah perutnya serasa kembung. Bahkan Anna lupa, jika dari siang dirinya belum makan atau minum. Pasti ini karena kelelahan, maka dari itu tiba-tiba pandangan seketika gelap dan tubuhnya ambruk.
Ketika Anna terbangun, ia tak nampak keberadaan Dewa.
"Ke mana pria itu?" Anna bergumam dengan suara lemah.
Tak sengaja melihat ke arah pergelangan tangannya. Anna ingat betul saat ini ia ada janji dengan Prince.
"Astaga! Gue kan ada janji sama Kak Prince." Anna segera bangun dan mengambil tasnya. Tak lupa, dikepalanya juga terbesit nama Saga dan Rangga, untuk itu Anna segera menghubungi cowok itu untuk meminta maaf sekaligus meminta agar Rangga bersedia menunggu.
Saat hendak membuka pintu, Anna hampir menabrak Dewa yang mau masuk ke kamar. Baru saja Dewa hendak membuka suara, dengan sangat keras Anna mendorong tubuh Dewa kemudian segera berlari menurini anak tangga. Anna lupa jika ia sedang berada di lantai tiga.
Dewa cepat-cepat mengejar cewek itu dengan menaiki lift agar bisa tiba lebih dulu. Dewa tidak akan membiarkan Anna pergi begitu saja. Tugas Anna masih belum beres.
"Lo pikir lo bisa pulang gitu aja? Gak akan gue biarin!" Dewa tersenyum sinis.