"Sorry Dew, kita udah cari cewek itu di mana-mana bahkan sampai ke rumahnya, tapi tetep gak ada." Glen mengadu setelah beberapa jam mencari keberadaan Anna di rumahnya, tetapi berakhir sia-sia. Semua ini karena penghuni rumah itu, kedua cewek di sana membuat Glen dan Digo ngeri. Meskipun tampang dari kedua cewek yang mengaku sebagai kaka dan adiknya Anna sedikit cantik. Akan tetapi cara mereka yang terlalu over dalam melayu membuat Glen dan Digo berisik.
"Kata kakaknya sih, si Anna lagi kerja. Cuma kita gak bisa dapetin alamat di mana si Anna bekerja." Digo menambah.
"Kenapa gak bisa?" Tatapan Dewa tampak datar. Padahal hari ini ia sangat berharap bisa membalas gadis itu atas perlakuan kurang ajarnya beberapa waktu lalu. Dan lagi gadis itu tidak merasa takut, seharusnya hari ini dia sudah menjadi pelayannya.
"Kita berdua keburu kabur, soalnya kakaknya si Anna itu gatel banget."
"Kayaknya kita harus nunggu besok. Besok kita gampang nangkap tuh bocah di sekolah," rayu Digo, semoga saja Dewa dapat mengerti. Jika habis ini Dewa menyuruhnya untuk mencari Anna lagi, maka ia dan Glen akan kewalahan.
Dewa menonjok bantal sofa seolah bantal itu adalah tubuh Anna.
"Lihat besok! Lo gak akan lepas dari gue, Anna!" Mata Dewa terlihat tajam.
***
Tak disangka Juna benar-benar menyetujui permintaan Bu Angel. Rasanya sangat canggung duduk berdua di ruang tengah dengan majikan sendiri.
Juna terfokus pada bahan untuk olimpiade yang sebentar lagi akan diadakan. Sedang Anna, masih memerhatikan Juna secara diam-diam.
"Tuan," panggil Anna memberatkan diri.
Tangan Juna langsung berhenti ketika suara Anna masuk ke gendang telinganya. Tatapan Juna yang dingin membuat nyali Anna ciut.
"Barusan lo manggil gue apa?" Juna terdengar sinis. Bukan apa, selama ini Juna paling tidak suka dipanggil sebagai Tuan atau Tuan Muda. Itu terlalu berlebihan baginya.
"Tuan." Anna memberanikan menatap mata cowok berhidung mancung itu.
"Juna!" Tegas Juna memperingatkan.
"Sorry, Kak. Tapi bisa ngga kita belajarnya di tempat yang tertutup aja?" Mata Anna terpejam. Bertahap agar cowok itu menyetujui permintaannya.
"Maksud lo, di kamar gue?"
Cepat-cepat Anna menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah.
"Eh? Bukan. Bukan itu maksud gue. Cuma, Kakak kan majikan gue, jadi aku ngerasa gak enak kalau ada yang lihat pelayan sama majikan belajar bareng gini." Anna sungguh tidak merasa pantas duduk setara begini. Jika Nyonya besar lihat, apa mau dikata?
"Terus urusan gue apa?" Juna kembali membuka buku dan menandai materi untuk dipelajari.
"Aku gak enak aja, Kak."
"Bahasa lo aneh." Tanggap Juna tanpa beralih pada sang empu. Juna sibuk dengan rutinitasnya sendiri.
"Hem, maksudnya?"
"Kadang gue kadang aku." Juna sangat menjaga kontak matanya, atau lebih tepat memang cowok itu enggan berdua mata dengan Anna.
Anna menyelipkan sejumput anak rambutnya.
"Hehe, kebiasaan."
Tetiba Juna berdiri. Kemudian mengambil beberapa buku dan naik ke atas.
"Lho, Kak mau ke mana?"
"Mau terbang!" sindir Juna, kesal dengan Anna yang tiba-tiba lemot.
***
Salah satu cowok yang selalu mendapat peringkat dua di Guaradana sedang berperang dengan buku-buku yang sejatinya sudah cukup membuatnya depresi. Cowok itu harus belajar keras agar bisa mendapatkan posisi satu atau minimal mempertahankan posisi kedua jika masih tak bisa menyingkirkan Juna yang tak pernah tergeser.
Di dalam keseriusannya, banyak sekali rasa kecewa yang membuat riuh isi kepala. Rasanya tidak ada jeda, tiap hari harus belajar. Jika tidak, maka dirinya akan menjadi bulan-bulanan ibunya sendiri.
"Kak, aku buatin kue untuk kakak."
Pria itu masih bergeming, meskipun sejak tadi gadis kecil yang sedari tadi di kamarnya terus meraung minta dipedulikan.
"Kak!"
"Kak P–" panggil Dinda yang berakhir dibentak oleh sang empu.
"Bisa diam gak sih lo!" Dia membuang pulpen ke sembarang tempat. Mulai jengkel dengan Dinda yang terus mengusiknya.
"Gak lihat gue lagi belajar?"
Suara dari pria itu membuat Dinda kaget. Meski ini bukan sekali dua kali kakaknya itu membentaknya. Namun, Dinda masih sering terhenyak.
"Tapi aku buatin kue kesukaan kakak." Dinda mencoba untuk menahan air matanya agar tidak tumpah. Entah kenapa jika sang kakak membentaknya, air mata di pelupuk matanya ingin sekali berderai.
"Stop panggil gue kakak ya anak cacat! Gue bukan kakak lo! Dan berhenti cari perhatian gue!"
"Kenapa kakak gak pernah nganggap aku? Emangnya apa salahku?" Dinda tak bisa lagi membendung buliran bening di kedua matanya. Rasanya tidak sanggup setelah sang kakak menyebutnya cacat.
Dinda mencengkram sisi kursi rodanya kuat-kuat. Kakaknya itu terlalu tega.
"Mau tau salah lo apa? Salah lo, lo terlahir cacat!"
***
Sudah sekitar tiga puluh menit Anna dan Juna menghabiskan waktu di balkon. Beberapakali mereka bergantian saling menjelaskan materi.
Sebenarnya mereka bisa belajar sendiri-sendiri. Namun Bu Angel sengaja menerapkan sistem latihan seperti ini, karena tahu dengan begini saja bisa menciptakan adaptasi baru terhadap siswa kelas unggulan dan siswa biasa dalam berinteraksi.
"Kayaknya udah cukup Kak. Aku boleh pamit kerja ke bawah?"
"Terserah," jawab Juna malas.
"Ya udah, aku beresin ini dulu." Anna merapikan buku-buku sisa mereka belajar secara cepat. Sedari tadi Anna merasa tak cukup tenang, sebab takut bila Nyonya Livia masuk lalu melihat dirinya sedang berada di sini.
Selama Anna beberes, Juna beralih pada stik game yang ada di kamarnya. Juna tampak tak berselera belajar, anak itu terlihat sangat santai.
Saat Anna lewat untuk keluar dari kamar Juna, ia tak sengaja melihat Prince berada dalam bingkai foto bersama Juna, lalu cowok yang satunya, cowok itu tidak nampak terlalu jelas, karena menutup wajahnya dengan tangan.
"Apa mereka bertiga bersahabat?"
"Lihat apa lo?" Juna menoleh. Sudah cukup lama Anna memandang foto tersebut.
"Maaf Kak." Anna tak mau memancing amarah Juna maka dari itu ia cepat-cepat keluar dari sana.
Tak lama Anna keluar, Juna mendengar suara ponsel yang tampak asing mengusik dirinya.
Juna pergi ke balkon dan mengambil ponsel tersebut.
Telinganya memekik hebat saat tak sengaja mengangkat panggilan yang entah dari siapa. Juna mendengar suara wanita di sebrang sana mengumpat, memanggil nama Anna dengan tak sopan.
Tak mau kepo, Juna segera menutupnya secara sepihak lalu melempar ponsel itu ke tempat tidurnya. Tak sudi jika harus memberikan ponsel itu pada pemiliknya, biar pemiliknya saja yang mencari sampai dapat.
Usai mengerjakan pekerjaannya, Anna baru sadar jika dirinya kehilangan ponsel. Padahal ia sedang menunggu email penting, karena beberapa minggu lalu sempat melamar pekerjaan online paruh waktu.
"Aduh, di mana jatuhnya?" Anna mencari ke setiap sudut rumah.