Harusnya Prince tidak memberi Anna eskrim, karena saat ini eskrim itu berceceran oleh tangannya yang gemetar hebat.
"Eh, eskrimnya meleleh," kata Prince memperingati Anna.
"Lebih meleleh lagi hati gue, Kak ...," gumam Anna dalam hati. Jika boleh ia ingin berteriak sekencang mungkin, memberitahu pada dunia saat ini bahwa ia tak tahan melihat Prince yang begitu perhatian padanya.
Tempat ini memang sudah menjadi tempat favorit Juna dan kawan-kawan. Udaranya sejuk dan yang lebih penting di sini sepi.
"Btw, kalian lusa berangkat buat olimpiade kan?" Prince mulai membuka obrolan. Jika menunggu Juna duluan itu tidak mungkin. Anak itu bila tak ditanya tak mungkin mau membuka suara.
"Em, kayaknya empat hari lagi deh. Ya, kan kak?" Anna meminta persetujuan. Namun anak itu tak menanggapi apa pun.
"Mampus," keluh Anna dalam hati. Saat ini ia merasa semakin canggung. Sudah tahu Juna itu anti bertele-tele.
"Ah, iya. Sorry, ya Na. Si Juna lagi puasa ngomong maklum aja," sindir Prince agar Anna tak merasa kikuk dengan sikap dingin Juna.
***
Betapa lega rasanya saat waktu istirahat kedua telah tiba. Setelah melakukan praktik renang, cacing-cacing di perut Anna mendemo ingin seraga diberi asupan makanan.
Claudia masih berganti baju, dengan inilah Anna berangkat sendiri menuju kantin. Lagi pula ia harus segera duluan ke kantin sebelum ketahuan cowok menyebalkan itu, lalu waktu makannya akan terganggu lagi.
"Anna! Lo dicariin Kak Dewa, Tuh." Panggilan seseorang membuat mood baik Anna jadi lenyap.
"Aduh, mau ngapain lagi si tuh cowok. Tadi pagi kan gue udah ngerjain pr dia. Udah jadi pelayannya dia. Gue udah banyak direpotin," keluh Anna.
Anna berbalik secara perlahan. Tangannya meremas perut seperti orang kesakitan.
"Sorry, kayaknya gue lagi sakit deh. Gue ke UKS dulu." Segeralah Anna terbirit ke UKS.
Di sepanjang jalan menuju UKS, Anna terus bergerutu.
Setibanya di sana ia terhenyak mendapati Dewa yang sedang selonjoran di bangsal tempat orang sakit.
"Kok ada di sini?" Mata Anna masih belalak.
Anna segera menutup tirainya kembali, ia berniat kabur. Akan tetapi, Dewa segera menariknya.
"Jangan coba-coba kabur dari gue!"
"N–nggak kabur kok." Anna segera menepis Dewa. Jika begini, ia memang tidak bisa ke mana mana lagi.
"Mana?"
"Apa yang mana?" Bingung Anna.
"Makan siang gue lah." Dewa kembali berselinjor, tertidur dengan santai.
"Makan siang?" Anna tak merasa anak itu memintanya untuk membawa makan siang.
"Pesenin ke kantin dan bawa sini." Dewa memerintah dengan seenak jidat.
Awalnya Anna hanya mematung. Namun ketika Dewa menghentaknya Segeralah Anna pergi ke kantin untuk membawakan makan siang.
Sekembalinya Anna dari kantin memberikan pesanan anak itu, raut wajahnya berubah seperti anak kecil yang tak kebagian ayam goreng.
"Telor mata sapinya mana? Lo lemot banget si jadi cewek!"
Anna menghembuskan napas panjang. Ia harus menahan emosinya bila tak mau masalah lain bermunculan. Dengan sangat sabar, Anna kembali ke kantin, meminta Telor mata sapi khusus untuk Dewa.
Dalam hitungan menit, Anna sudah kembali lagi. Ia melempar Telor itu ke tempat Dewa makan.
"Nah. Baru gue bisa makan." Dewa terlihat puas.
"Et mau ke mana?" Cegah Dewa saat Anna hendak pergi.
"Ke kantin. Gue belom makan." Sudah sangat lelah dan lapar. Semoga saja Dewa mau melepaskannya.
"No! Lo harus tetep di sini."
"Btw, pulang sekolah temuin gue di ruang musik kelas unggulan."
"Gak bisa. Gue harus kerja."
"Lo gak boleh nolak. Pokoknya temuin gue di sana."
Tring! Tring!
Tak terasa waktu tiga puluh menit terbuang percuma hanya untuk melayani Dewa. Makan siang Anna terelwat begitu saja. Padahal Anna ngiler dengan menu di kantin yang ia lihat tadi.
"Tuh bell udah bunyi," ucap Dewa dengan senyum penuh kemenangan. Wajahnya tidak mencerminkan seperti manusia. Dewa adalah iblis.
"Ish!" Anna mendecak. Mau tak mau ia harus segera masuk kelas. Ini kali pertama Anna belajar di kelas dengan keadaan lapar.
***
Dewa memaninkan piano sejenak sembari menunggu kedatangan Anna. Hanya selang beberapa menit, orang yang sedang ditunggunya tiba.
"Bagus, lo datang tepat waktu."
"Apa lagi?" Anna duduk dengan lesu.
"Mulai sekarang, tiap pagi lo harus masak dan bawa buat gue."
"Wah, ini udah gak bener. Gue tuh bukan babu lo ya! Gue siswa juga di sini." Anna sebenarnya lelah. Cowok itu terlalu banyak menindas. Jika Anna melakukan perlawanan lagi, ia hanya takut Dewa akan semakin menjadi-jadi.
"Semenjak lo cari masalah sama gue, lo udah harus jadi babu gue. Sadar diri gih! Cuma anak beasiswa aja belagu!"
"Cuma anak beasiswa?" Anna refleks berdiri.
"Aduh, kok gue jadi gemes ya sama mulut lo!" Rasanya ingin sekali menyumpal mulut Dewa dengan sepatu milik Pak Lurah.
"Kenapa? Pengen cium ya. Sini!" Dewa mendekati Anna.
"Apaan sih!" Sang empu segera mendorong pria itu menjauh dari dirinya. Keadaan sudah tak aman. Anna cepat-cepat berniat keluar dari sana. Takutnya Dewa berbuat yang tidak-tidak. Anna tidak tahu isi otak Dewa yang bisa saja dipenuhi dengan kemesuman.
"Mau ke mana?"
"Gue mau pulang! Lepasin!" Tenaga Dewa yang menarik tangannya lumayan kuat. Namun Anna tak berhenti berusaha untuk bisa terlepas.
"Ya udah pulang aja!" Secara seketika Dewa melepaskan Anna hingga anak itu terbentur pintu.
Bruk!
"Aws!"
"Hahaha, seru juga ngerjain tuh bocah." Dewa seperti di atas angin. Ia selalu puas mempermainkan Anna.
***
Pemandangan di depannya membuat Dewa menghentikan mobilnya seketika. Setelah beberapa menit Anna pulang, Dewa juga ikut pulang dan tak menyangka akan melihatnya di jalanan ini.
"Waduh si cewek kampung tuh. Ngapain lewat sini si, jalan ini kan gak aman buat anak sekolah." Setau Dewa, jarang anak sekolah yang jalan sini, karena kerap dipalak oleh preman. Kecuali dirinya, karena Dewa tak takut dengan siapa pun.
"Cepet kasih duit lu!" kata si preman berkulit sawo matang sambil memegang tangan Anna dengan kencang.
"Gue gak ada duit! Lepasin gue!" Anna memberontak. Namun sayang, tenaga mereka terlalu kuat.
"Gak ada duit katanya bos!"
"Halah bohong! Cepet periksa!" titah preman berkepala plontos. Sebelum mereka meraba-raba seragam Anna, gadis itu cepat-cepat berteriak dan menghindar dari tangan mereka.
"Heh! Jangan sembarangan perkisa-periksa! Gue cewek!" bentaknya geram.
"Ngapiain kalian!" sambar Dewa.
"Kak Dewa?" Mata Anna sampai tak berkedip saat mengetahui kedatangan Dewa. Baguslah, ia memang sangat perlu bantuan orang lain.
Saat kedua preman itu lengah, Anna menepiskan tangan mereka dan segera berlari ke belakang Dewa.
"Tolong kak, mereka mau ngerampok Gue," adu Anna yang kini bersembunyi di balik tubuh Dewa yang tinggi.
"Ini bukan urusan lo, minggir dan pergi dari sini." Kedua preman itu memasang badan kekar. Mudah untuk mereka mengalahkan Dewa jika saja pria itu berani macam-macam.
Jakun Dewa naik turun menelan salivanya. Mata Dewa tertuju pada otot-otot kekar mereka. Benar juga, mereka berdua sedang Dewa hanya sendiri.
"Ahaha bener juga. Tuh, bawa aja. Di jual juga kagak papa." Dewa menyerahkan Anna ke hadapan mereka. Hal itu membuat Anna bingung, bukan kah kedatangan Dewa hendak menolong dirinya? Akan tetapi mengapa malah seperti sengaja memberi daging pada singa yang lapar.
"Wah, bener juga. Kita jual aja ke hidung belang, bos."
"Lah kok tega si!" Anna berdecak sebal.
"Udah ayok, ikut kita!" Kedua lelaki bertubuh besar itu menyeret Anna untuk dibawa pergi. Namun dalam beberapa detik Dewa bersuara hingga mereka menghentikan langkahnya.
"Cuma ya kalau dijual pun tuh bocah kagak bakal laku. Tuh cewek punya penyakit kudis akut. Dia juga sering kesurupan dan cewek ini gak bakal puas kalau empat ronde doang. Kalian harus hati-hati," ujar Dewa membuat kedua orang itu segera melepaskan Anna.
"Wah seram juga... mana punya kudis akut lagi." Si kumis tebal merasa jijik. Secara sepontan menggaruk tubuhnya seolah sudah tertular kudis dari Anna.
"Gak jadi deh. Tuh lu bawa aja!" Kedua preman itu pun lari terbirit, karena jika dipikir kembali akan serem bila nanti tiba-tiba Anna kesurupan.
Dewa terbahak-bahak.
"Enak aja ya lo bilang kudisan! Gue sehat jasmani dan rohani. Emangnya lo, sakit jiwa!" timpal Anna tak terima.
"Yeee udah gue bantuin juga."
"Gue malah gak berharap dibantuin sama cowok modelan kayak lo!" Anna tidak habis pikir pada pria itu, kenapa selalu bersikap menyebalkan tiap bertemu dengannya. Anna pergi meninggalkan Dewa tanpa rasa terima kasih.
"Dasar cewek gak bersyukur! Kalau gitu, gue biarin aja tadi!"
***