"Lo yakin Dew, dia siswa Guaradana?"
Kejadian tadi malam membuat Dewa tidak bisa tertidur. Ia terus memikirkan gadis cantik misterius yang meninggalkan sepatu kacanya dan paling membuat Dewa mabuk kepayang semalaman adalah, gadis itu sudah mengambil ciuman pertama Dewa.
Dewa mengingat mata gadis itu. Matanya cantik, bola matanya cokelat dan bulu matanya tebal dan lentik. Andai saja gadis itu tidak memakai topeng pesta pasti saat ini ia akan lebih gampang untuk menemukannya.
Untuk pertama kalinya Dewa dibuat tidak tenang semalaman hanya karena seseorang gadis. Namun, gadis itu benar-benar cantik dan anggun. Dewa tak menyangka ada seorang putri di Guaradana ini.
"Ya iyalah. 90% acara semalam itu dihadiri oleh siswa Guaradana." Dewa menimpali. Ia yakin gadis itu berada di sekolah ini.
"Iya juga yah. Ya udah gas!" Glen dan Digo mengawal Dewa menuju kelas junior. Banyak pasang mata yang mengarah pada mereka bertiga ketika menuju gedung anak bahasa.
"Kak Dewa!"
"Omaygat ganteng banget."
"Ada acara apa trio tampan itu datang ke kelas kita?" Salah satu siswi berambut sebahu tampak kegirangan saat Dewa dan kedua temannya memasuki kelas mereka.
"Hai, kak."
"Hai," sahut Dewa kembali menyapa membuat orang itu seketika meleleh.
"OMG dia balik sapa gue." Gadis itu berteriak heboh pada teman-temannya.
"Boleh minta kakinya gak?"
Mendengar suara Dewa, gadis yang biasa disapa Icha itu pun jadi bergidik ngeri. Tidak seperti tadi yang kelewat senang.
"Hah? A–ampun, Kak." Icha menelungkupkan kedua tangannya sembari ketakutan.
"Hoho, maksud gue, pinjem kaki lo." Dewa tertawa.
Icha menggaruk tengkuk leher sekenanya. Kemudian melepas sebelah sepatunya untuk mencoba sepatu kaca yang diberikan Glen di bawah kakinya.
"Gimana pas gak?" tanya Dewa sembari menjamah dagu. Dewa hanya duduk menonton.
"Bukan," jawab Glen. Glen bisa melihat sepatu yang di sematkan pada kaki Icha terlalu kebesaran.
"Ciwi-ciwi tolong berjejer di sini ya. Dewa mau nyari Cinderellanya." Digo meminta semua siswi agar maju ke depan kelas lalu berjejer, karena ia dan Glen akan mencoba sepatu kaca itu ke tiap kaki mereka.
Semua gadis itu pun berbondong-bondong dengan semangat membuka sebelah sepatunya untuk mencoba sepatu kaca yang kini terlihat berkilauan bak berlian.
***
"Kita udah capek Dew." Digo dan Glen sampai ngos-ngosan menghadapi banyak gadis yang ingin mencoba sepatu itu. Bukan apa, diam-diam ada yang menjambak hingga mencubit mereka, karena baru pertamakali mereka melihat ketampanan tiga cowok itu secara dekat di kelas mereka.
"Masih ada tiga kelas Junior lagi, ayoo!" Paksa Dewa. Ia masih belum menyerah. Ia masih ingin tahu siapa cewek itu sebenarnya.
"Nanti deh kita lanjutin pencariannya. Mending sekarang minum dulu, gue haus banget." Keluh Glen. Sekadar untuk menelan salivanya saja sudah tidak bisa. Tenggorokannya benar-benar kering.
"Ah, asu lo pada!"
"Gue belum mau nyerah sebelum nemuin cewek itu. Gue yakin dia anak Guradana."
"Ayo!" Dewa menarik kedua temannya itu menuju kelas berikutnya.
"Harus sabar jadi temennya Dewa mah." Pasarah Glen diselingi seringaian dari Digo.
***
"Aduh ... gue rada malu si masuk kelas senior." Glen menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Sebenarnya ada seseorang yang membuat Glen enggan untuk masuk.
"Pasti karena ada gebetan lo kan?" Digo mendelik sinis. Beberapa bulan ini Digo tahu bahwa sahabat dekatnya itu sedang suka terhadap kakak kelas yang cukup populer di sini. Nama cewek itu Dewi. Dulu Dewi pernah mengejar Dewa. Cewek itu menitipkan banyak hadiah pada Glen untuk Dewa. Sayangnya Dewa menolak karena dia tidak tertarik sama sekali. Alhasil, Glen menjadikan itu sebagai peluang. Namun cowok itu malah keliatan lembek, tidak melakukan pendekatan sama sekali. Alasannya malu. Glen hanya mencintai dalam diam.
"Najis!" Dewa mengumpat. Ia memaksa kedua temannya untuk ikut masuk.
Sontak suara teriakan menggema di dalam kelas. Ada yang langsung membuka ponsel dan mempotret ketiga cowok itu diam-diam.
"Astaga mimpi apa gue semalam, Dewa dateng kelas kita!" Dewi bersorak. Ia langsung menghampiri Dewa dan kedua sahabatnya di depan kelas.
"Hai, apa ada yang bisa gue bantu?" tanya Dewi menawarkan. Di sisi lain Glen tampak menunduk, tak mampu melihat Dewi dari dekat. Rasanya tubuh Glen menjadi gemetar tak karuan.
"Gue mau kaki lo," ujar Dewa disambut dengan ekspresi kaget dari sang empu.
"Heh?" Dewi terhenyak.
"Sorry, maksud Dewa. Dia mau cobain sepatu ini ke kaki lo." Digo menambahi.
Dewi melirik sepatu yang ada di tangan Digo. Sepatunya tampak indah berkilau, seperti terbuat dari berlian.
"Oh, boleh-boleh." Dewi duduk di bangku yang tersedia. Kemudian Digo memenangkan sepatunya.
"Aduh, kok sempit ya." Keluh Dewi saat kakinya masuk separuh. Sepatu itu terlalu kekecilan.
"Gak muat tuh. Lepasin, nanti yang ada malah rusak lagi." Dewa memperingati sembari melipat kedua tangannya di depan dada.
"Coba ke yang lain," usul Dewa.
"Gue Glen, gue!" kata cewek bertubuh gendut. Cewek itu sangat antusias ingin mencoba sepatunya. Tadi pagi saat dia makan di kantin, para junior tak henti-hentinya membicarakan Dewa yang sedang mencari pemilik sepatu itu. Dia mengira jika Dewa sedang mencari seorang putri untuk menjadikannya kekasih. Dia ingin ikut serta mencoba sepatunya, karena barangkali dia akan menjadi kekasih Dewa. Ya apabila secara ajaib sepatu berukuran sedang itu muat di kakinya.
"Gak mungkin lo deh. Kaki gajah Gak mungkin muat di sepatu semut." Glen menimpali membuat cewek bermata sipit itu mendengkus kesal.
"Ih rese."
***
"Nih sepatu aneh banget. Harusnya punya ukuran yang
sama, tapi malah gak ada yang pas sama siswa di sini." Dewa kembali memasukan sepatu itu pada paper bag.
"Menurut lo gimana?" tanya Glen pada Dewa.
"Apa bukan siswa guaradana yah?" Digo menanggapi.
"Tapi aneh dong, yang hadir kan emang dikhususkan untuk anak-anaak Gauradan," kata Dewa masih yakin jika pemilik sepatu itu berada di lingkungan Guaradana.
"Gue tahu siapa Cinderella yang lo maksud Dew."
"Siapa?" Dewa menunjukan ekspresi penasaran.
"Yang ikut olimpiade."
"Siapa?" Dewa semakin penasaran dengan orang yang Glen maksud.
***
Rita dan kedua anaknya bersembunyi di dalam rumah saat rentenir beberapakali menggedor pintu. Ketiga orang itu ketakutan, mereka masih setia bersembunyi di kolong ranjang milik Anna.
"Ibu gimana nih," bisik Nina panik. Takutnya orang-orang berbadan besar itu menerobos masuk dan menemukan ia, ibunya dan sang kakak.
"Lagian ibu tuh aneh banget, ke mana uang hasil kerja ibu sama si Anna? Bukannya kalian kerja di rumah besar ya?" Rina ikut bergumam.
"Diamlah kalian! Ini semua juga karena kalian. Jika saja kalian tidak terlalu boros, berbelanja ini itu, ibu sudah membayar separuh hutang ibu!" bentak Rita yang tak terima disalahkan oleh kedua putrinya.