"Sorry, Na. Gue malah sembunyi. Gue malah diem aja padahal gue tahu dan punya bukti kuat." Setelah mengatakan semuanya pada Pak Natta dan Anna, Claudia jadi merasa lega. Ternyata setelah mengungkapkan kebenarannya rasa takut pada diri Caludia jadi hilang. Memang tak sepatutnya ia takut dengan Dewa, bila ketahuan pun itu sudah risikonya dan wajib menanggungnya.
"Yang penting lo udah ngasih tahu di waktu yang tepat. Dan gue sangat berterima kasih." Anna mengangkat kedua tangan Caludia. Ia sangat berterima kasih pada gadis itu, jika tidak ada bukti dari Claudia mungkin saja hidupnya di Guaradana akan berakhir saat ini.
"Tapi kenapa lo bisa dapetin bukti itu?" tanya Anna. Ia cukup penasaran, kenapa bisa Caludia mempunyai video Dewa yang sedang berada di rumah sakit.
"Jadi sebenarnya kemarin gue pergi ke rumah sakit. Nah, gak sengaja gue juga lihat Kak Dewa. Anehnya dia masuk ke ruangan dokter kandungan. Ya udah dari sana gue ikutin diam-diam."
Pada malam itu, Claudia datang ke rumah sakit untuk menemani kakaknya memeriksa kandungan. Ia memang sudah janji akan mengantarkan wanita itu jika suaminya tak jadi datang dari luar kota.
Kebetulan sekali, Claudia melihat Dewa juga datang ke rumah sakit yang sama. Anehnya pria itu tampak datang sendiri padahal rumah sakit ini adalah rumah sakit khusus anak dan ibu hamil.
Merasa ada yang janggal, Claudia mengikuti Dewa masuk ke ruang Dokter yang tadi melayani kakanya.
Claudia tidak bisa masuk ke dalam, sebab jika ia ikut masuk maka Dewa bisa mengetahui bila ia sedang mengikutinya.
Claudia hanya bisa mengintip dibalik pintu.
"Lho, terus kenapa lo bisa dapetin rekaman Dewa sedang membujuk dokter itu?"
"Nah, ini. Kayaknya Tuhan lagi berpihak ke gue. Tiba-tiba ada suster, nah si suster ini ternyata temennya kakak gue. Jadi gue minta bantuan dia deh ...."
***
"Selamat bergabung kembali. Maafkan saya karena ikut terhasut tanpa tahu kebenarannya dahulu." Apa yang Bu Angel pikirkan tentang Anna memang tak salah. Gadis itu memang anak yang baik. Kemarin ia sebenarnya terpaksa harus melepas Anna, sebab anak itu tadinya akan dikeluarkan.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya mengerti."
"Ngomong-ngomong si Juna mana, ya? Kemarin aja sibuk terus maksa saya buat jangan keluarin kamu, sekarang pas ada kamu malah gak datang." Bu Angel membagikan kertas soal pada anak-anak peserta olimpiade. Sengaja Bu Angel menyatukan mereka di ruangan yang sama karena ia ingin memberi semangat pada semuanya, sebab tinggal menghitung hari mereka akan berangkat.
"Maksud Bu Angel?"
"Iya ... jadi kemarin itu si Juna coba negosiasi supaya kamu tetep ikut olimpiade."
Meski Juna kelihatan dingin dan cuek, sebenarnya pria itu juga ikut membantu Anna. Entahlah, pria itu sulit untuk ditebak.
***
Nyonya Livia sengaja meminta Anna tetap tinggal setelah dua jam lalu Rita sudah meninggalkan tempat ini. Ia ingin mencaritahu seperti apa kepribadian Anna, karena ada satu hal yang membuatnya kagum pada gadis itu.
Ia mengajak Anna untuk membuat kue bersama dan tak disangka gadis sebelia Anna begitu cekatan. Anaknya juga ceria meski kelihatan kerap canggung mengobrol dengan dirinya. Nyonya Livia memaklumi itu, Anna sangat menjaga tata krama padanya.
"Makasih ya. Saya salut sama kamu. Oh iya, ini udah malam kamu pulang naik apa?"
"Saya naik angkot, Nyonya." Sebenarnya jam segini sudah tak ada bis atau angkot. Bis terakhir seharusnya sudah berangkat sekitar satu jam yang lalu. Akan tetapi, Anna tak boleh memberitahukannya, takutnya wanita itu khawatir. Anna tahu majikannya ini adalah orang yang sangat baik.
"Jam segini naik angkot? Apa gak bahaya?"
"Raja!" Panggil Nyonya Livia pada pria yang sedang asik main game di ruang tamu.
"Iya, Mah?"
"Panggilin kakakmu."
"Tuh kakak." Raja menunjuk Juna yang sedang berjalan menuruni anak tangga.
"Jun kamu anterin Anna pulang yah."
"Kenapa harus aku? Dia bisa pulang sendiri." Juna terdengar sinis. Cowok itu membuka lemari es dan mengambil sebotol air.
"Iya, Nyonya. Saya bisa pulang sendiri. Lagian Tuan Juna mungkin lagi belajar." Anna ikut menolak. Bahaya jika Juna dipaksa, bisa-bisa Anna yang kena oleh pria itu nanti.
"Belajar? Haha, mana ada. Dia itu gak pernah belajar. Udah sana Jun, anterin. Kamu gak kasian apa sama adek kelas kamu?"
"A–adek kelas? Nyonya sudah tahu–"
"Iya. Saya udah tahu kalau kamu siswa Guaradana juga. Saat kamu belajar bareng sama Juna, saya gak sengaja lihat. Jangan tanya, saya ini kepo banget jadi saya cari tahu tentang kamu. Saya bangga lho, kamu bisa masuk Guaradana lewat beasiswa akademik."
***
Sejak tadi, tak ada pembicaraan di keduanya. Yang ada hanya suara deruan angin malam. Perlahan Anna menggeser tubuhnya lebih dekat lalu berkata,
"Kak, anterin aku ke rumah sakit aja ya. Soalnya udah lama gak jenguk ayahku."
Tak ada suara yang menyahut. Anna yakin Juna mendengarnya, tetapi hanya seolah berpura-pura tuli.
"Makasih, Kak," ucap Anna, ia menganggap Juna sudah mengangguki. Jika pun pria itu menolak pasti akan menyanggahnya.
Di depan ada mobil yang melaju kencang, Juna memelankan laju kendaraan untuk tetap berhati-hati. Ia tak mau kejadian dulu terulang lagi.
Setelah mobil besar itu terlewat, Juna tak tahu jika dibelakangnya lagi ada motor yang hendak menyalip.
"Kak awas!" teriak Anna kencang membuat Juna ikut kaget.
Bruk!
"Kak Juna! Kamu gak apa-apa?" Juna terpental ke rerumputan di pinggir jalan. Untung saja helemnya tidak sampai terlepas.
Juna kesal bukan main pada pengendara ugal-ugalan yang tidak bertanggung jawab. Untung saja Juna segera menggulingkan motornya ke sisi, jika tidak maka mungkin saja ia dan Anna akan mati.
"Gue gak papa. Lo gimana?"
"Aku baik-baik aja." Anna membersihkan sisa tahan yang menempel.
Mereka melanjutkan perjalanannya lagi. Hari sudah semakin malam, langit pun bertambah gelap. Bintang-bintang perlahan memudar tertutup awan, hanya ada Dewi malam yang setia menerangi.
Tak terasa setelah 30 menit, akhirnya mereka sampai juga di rumah sakit Pelita.
Anna memberikan helm pada sang empu, juga ia ingin mengucapkan terima kasih karena Juna telah bersedia mengantarnya ke rumah sakit di sela waktu malamnya.
"Makasih udah anterin–" Kalimat Anna tertelan begitu saja saat melihat tangan Juna lecet dan keluar darah.
"Ya ampun! Tangan kamu..."
***
Anna tak mungkin membiarkan Juna pulang dengan luka di tangannya. Ia memaksa pria itu untuk masuk ke rumah sakit dan menemui dokter. Sementara Anna masuk ke ruangan di mana ayahnya di rawat.
Gadis itu termenung melihat mata sang ayah masih terlejam lesu. Rasanya seperti mimpi melihat kondisi ayahnya seperti ini. Rasanya baru kemarin ia membantu ayahnya berjualan.
Helaan napas lolos dari bibir Anna. Ia memeluk sang ayah dan tidur di dadanya.
"Ayah cepet bangun. Anna kangen banget sama ayah," lirih Anna dengan suara bergetar.
"Dia kan?" Juna terlihat kaget melihat pria yang sedang terbujur di bangsal rumah sakit.
"Eh, Kak Juna." Anna tersadar saat mendengar suara pintu dibuka. Ternyata ada Juna. Anehnya secara perlahan cowok itu memundurkan langkahnya. Kemudian berlari.
"Loh kenapa?" Anna cepat-cepat mengejar pria itu. Ia bingung kenapa Juna tiba-tiba berlari, seperti orang ketakutan.
***