"Pilihanmu hanya dua, minta maaf pada adik kelasmu atau jangan masuk sekolah selama tiga hari?" Setelah melakukan pertimbangan, Pak Natta hanya akan memberi hukuman skors pada Dewa jika semisal anak itu tidak mau mengakui kesalahannya dan tidak mau minta maaf pada Anna.
"Diskors maksudnya?" sahut Dewa sesantai mungkin. Anak itu tidak kelihatan takut-takutnya.
"Ya tentu saja milih gak masuk sekolah. Ngapain saya harus minta maaf sama cewek itu?" sambung Dewa. Wajahnya terlihat tidak merasa berdosa sama sekali. Inilah yang membuat Pak Natta dan guru-guru yang lainnya merasa hampir menyerah menghadapi Dewa. Anak itu sombongnya bukan main.
"Dengarkan saya Dewa. Jika kamu terus seperti ini, mungkin saja kamu tidak akan lulus atau semester depan kamu tidak bisa naik kelas."
Tidak ada yang bisa diharapkan dari anak ini sebenarnya. Jika nilainya setiap semester turun, maka Dewa memang akan dikeluarkan dari sekolah, karena memang sudah peraturan di sini. Jika salah satu siswa tidak berdaya mempertahankan nilainya atau tidak ada usaha belajar maka siswa itu akan di hempas. Tentunya nama sekolah ini memiliki citra yang bagus di mata negara dan di luar. Banyak yang ingin masuk Guaradana dengan cara mati-matian, karena setelah lukus dari sini para siswa dengan mudah masuk universitas favorit di luar negeri. Guaradana ikut andil dalam masa depan para siswanya. Namun Dewa seperti hanya bermain-main, anak itu sering menarik ulur nilainya sehingga membuatnya tetap bertahan di sini.
"Setidaknya perbaiki atitude kamu. Saya tidak peduli kamu anak pemilik sekolah ini atau bukan, tidak ada hubungannya dengan peraturan sekolah. Kamu akan tetap diperlakukan setara dengan siswa yang lain. Jadi tolong perbaiki sikap kamu.
"So so ngancam lagi. Saya bisa lulus sendiri, bapak gak usah repot-repot mikirin gimana saya naik kelas dan lulus dari sini." Debat Dewa. Ia sudah muak dengan Pak Natta yang menyuruhnya berubah. Baginya tidak ada yang perlu di rumah, ia memang begini adanya.
"Lucu sekali. Apa yang bisa diharapkan? Nilai kamu? Nilai kamu itu dibawah rata-rata. Saya tahu, kamu jarang mengerjakan tugas atau bisa jadi kamu menyalin punya temanmu? Apa yang bisa diharapkan? Nilai dan atitude kamu itu di bawah standar," caci Pak Natta sudah mulai emosi dengan keangkuhan dari anak pemilik Guardana school ini.
"Saya terpaksa mencaci kamu seperti ini. Saya harap kamu bisa introspeksi diri. Silakan keluar dari ruangan saya. Dan ingat, laksanakan hukuman dari saya."
***
Tidak ada masalah jika harus diskors, malah ini bisa membuat Pak Amartha bertanya-tanya dan akan membuat lelaki itu malu memiliki anak seperti Dewa. Hanya ini yang bisa Dewa lakukan untuk membalas ayahnya yang telah memisahkan dirinya dengan ibu kandungnya.
Kantin tampak penuh. Glen dan Digo melambai-lambaikan tangan, meminta Dewa agar segera menghampiri mereka. Namun perhatian Dewa tertuju pada seorang gadis yang sedang tertawa bersama teman sebangkunya. Lantas Dewa menghampiri gadis itu.
"Hai," sapa Dewa dengan mimik menyebalkan.
"Claudia," bisik Anna saat Caludia tiba-tiba saja pergi dan pindah ke tempat lain saat Dewa datang.
"Masalah kita udah selesai kan?" Anna memasang wajah bengis. Rasanya menyebalkan jika harus bertemu dengan Dewa di sela makan siangnya.
Dewa mengambil duduk di depan Anna dan merebut sendoknya lalu di mainkan dengan cara memukul meja hingga menimbulkan irama.
"Belum dong. Lo masih harus jadi pelayan gue. Perjanjiannya itu satu minggu. Ini baru dua hari." Dewa tersenyum menyeringai.
"Et, mau ke mana?" Dewa menarik tangan Anna saat anak itu bangkit dari tempat duduknya.
"Duduk di sini." Dewa memaksa Anna untuk tetap duduk.
Perasaan Anna sebenarnya sudah tidak enak. Anna mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Nyadar gak sih lo udah bikin masalah sama gue?" Dewa memutar dagu Anna agar beralih padanya.
"Heh! Apaan si." Anna menepis tangan Dewa yang menggetok keningnya. Rasanya lumayan sakit.
"Denger ga gue ngomong? Bolot!"
"Hah?"
"Huah heh hoh mulu. Pertama, lo itu maling telur mata sapi gue. Kedua lo lempar gue pake sepatu dan ketiga lo nyelipin bra ke dalam loker gue. Jadi wajar kalau gue marah. Wajar kalau gue balas perbuatan lo." Sayangnya ia ketahuan dan nama Anna kembali menjadi bersih. Entah siapa yang berani ikut campur.
"Apa pembalasan lo belum cukup, ya? Gue dibully satu sekolah gara-gara lo. Gue juga dikira hamil sampe mau dikeluarkan dan ini ulah lo juga. Seharusnya impas. Plis... tolong lepasin gue," tutur Anna. Seharusnya sudah cukup sampai di sini. Ya, seharusnya memang sudah impas.
"Gak! Gak bisa!" Tolak Dewa.
"Lo itu sebagai Junior gak ada takut-takutnya ya sama gue? Ini yang bikin gue tertarik." Ini baru separuh permainan dari Dewa. Nanti akan ada yang lebih dari ini dan Anna akan benar-benar menyesal karna telah mencari masalah dengannya.
"Wah, sejak kapan lo mau duduk bareng dede gemez ini?" Digo yang tiba-tiba datang membuat Anna jadi makin merasa kikuk ditambah sekarang ia jadi pusat perhatian para siswa.
"Bukannya lo paling anti yah, duduk bahkan makan bareng sama sembarangan siswa?" Goda Glen sambil menyuap makannya. Sesekali melirik ke arah Anna dan mengedipkan sebelah matanya.
"Jangan lupa, Anna ini sekarang pelayannya Dewa,"sindir Digo sambil menyikut lengan Dewa. Dewa tersenyum puas mendengar mereka menyindir Anna.
"Ups! Hampir aja lupa."
"Ok. Sekarang lo pesenin makanan buat kita. Anterin ke sini," titah Celase yang baru datang. Sesudah pulang dari Bali ia jadi ketinggalan banyak gosip menarik.
"Jangan sembarangan. Dia ini pelayan gue. Jadi cuma gue yang berhak nyuruh-nyuruh dia," pekik Dewa yang mendapat anggukan dari ketiga temannya.
"Oke-oke!"
Dewa berjalan ke tengah. Kemudian naik ke atas meja secara lancang padahal meja itu sedang di isi oleh siswa yang sedang menikmati makannya.
"UNTUK SEMUANYA! HARI INI KALIAN AKAN GUE TRAKTIR. DUDUK MANIS AJA DI KURSI KALIAN. BIAR PELAYAN GUE YANG ANTERIN MAKANNYA KE MEJA KALIAN!" ujar Dewa membuat semua orang bersorak gembira.
"Wah! Asiiikkkkkk!"
***
"Sialan! Dewa sialan!" teriak Anna sekencang mungkin. Hanya dengan berteriak ia bisa melupakan emosinyq pada cowok bernama Dewa itu. Anna benar-benar kelelahan menghadapi sikap arogannya.
Jam makan siang Anna dihabiskan untuk melayani semua siswa yang berkunjung ke kantin. Bahkan Anna menjadi bahan tertawaan saat Dewa dengan sengaja menaburkan jus tomat ke wajahnya. Cowok itu sungguh tidak berperasaan.
"Gue gak mau kayak gini terus! Gue mau hidup tenang!" Anna kembali berteriak.
"Suara lo bikin orang gak tenang."
Suara itu membuat Anna segera menutup mulut. Ia menoleh ke belakang, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah beberapa meja dan kursi yang penuh dengan coretan.
"Hah? K–kak Juna?" Jantung Anna hampir saja copot. Keberadaan Juna yang sedang membaca buku di sana sangat mengagetkan Anna.
"Sejak kapan kakak di sini?" tanya Anna masih kaget.
"Sorry, Na. Tempat ini emang jadi tempat nongkrong kita." Sambar Prince yang baru tiba.
"Kak Prince?" bibir Anna melirih.
"Hai?" sapa Prince.
"Aduh. Gimana nih." Anna jadi kesulitan menelan salivanya. Jika berdekatan dengan Prince, entah kenapa Anna mendadak tremor.