Tuan Amartha sedang merenung di balkon kamarnya. Kekhawatiran mulai melahap kepalanya. Melihat sikap Dewa yang tidak pernah berubah membuat Tuan Amartha jadi takut jika nanti tidak ada yang bisa mewarisi kekayaannya. Umurnya sudah mulai menua seiring berjalannya waktu, dan Dewa adalah anak satu-satunya yang menjadi harapan menjadi penerus Titian Group.
Dari istri pertama, Tuan Amartha tidak dikaruniai seorang anak, karena rahimnya bermasalah. Waktu itu Tuan Amartha hendak mengadopsi anak. Namun keluarganya melarang, mereka ingin anak hasil darah daging Tuan Amartha
Jujur saja, Tuan Amartha juga kesepian. Ia juga menginginkan buah hati dalam hidupnya. Hingga malam itu terjadi, ia melampiaskan hasratnya pada wanita di klub malam. Tentu saja ia tidak asal pilih, wanita yang ditidurnya adalah wanita yang baik, karena sebenarnya wanita itu hanya menjual minuman. Sengaja ia meminta pemilik klub untuk menyuruh wanita bernama Sarah mengunjungi kamarnya dengan dalih memesan minuman.
Dari jauh hari Tuan Amrtha sudah mencaritahu siapa Sarah, tidak ada alasan untuk tidak menyukainya. Tubuh Sarah bagus, wajahnya cantik dan dia masih gadis. Tuan Amartha berpura-pura menawarkan pekerjaan pada Sarah. Pria itu menyuguhkan air putih yang sudah diberi obat agar Sarah tak sadarkan diri. Sarah benar-benar polos. Ketika hanyut ke dalam pembicaraan yang cukup serius, wanita itu meneguk airnya dan sesuai harapan Tuan Amartha, Sarah pun menjadi buas pada malam itu.
Jelang dua bulan, Sarah baru menyadari dirinya hamil. Ia terpukul hebat, dan sadar bahwa malam itu seseorang telah menodainya. Sarah kembali ke klub, mencari laki-laki yang sudah menidurinya. Tak disangka, laki-laki itu pun sedang mencarinya.
Tuan Amartha terlihat bahagia saat mengetahui bahwa Sarah telah mengandung. Awalnya Sarah marah besar, tetapi mau tidak mau memang ia harus mengiyakan ajakan Tuan Amartha untuk menikahi dirinya.
Pernikahan kedua Tuan Amartha mendapat pertentangan dari istri pertama hingga hal-hal di luar dugaan terjadi begitu saja. Setelah lahirnya Dewa, sikap Sarah jadi berubah, persis seperti orang gila. Karena takut akan membuat Dewa celaka, pada akhirnya Tuan Amartha memilih mengasingkan Sarah. Sejak kecil Dewa dirawat oleh babysiter, Sarah tak pernah menyentuh Dewa sejak umurnya menginjak dua bulan, karena kondisinya yang sakit jiwa.
"Ada apa Mas?" Reta membangunkan Tuan Amartha dari lamunan panjangnya.
"Mikirin Dewa ya? Udahlah, jika anak itu gak mau jadi penerus Titian Group, kan masih ada adik aku–Gilang." Jujur saja, Reta berharap memang adiknyalah yang dipilih untuk mewarisi Titian Group.
"Mas pusing. Sikap Dewa tidak pernah berubah. Sejak kecil selalu membangkang."
***
Sengaja Anna tidak memberikan surat itu pada ibu tirinya, ia tak mau wanita itu tahu dan menambah beban dalam kepalanya.
Mungkin hari ini ia akan dikeluarkan dari sekolah, tapi semoga saja ada keajaiban dan masih bisa mempertahankan beasiswanya.
Bruk!
Hampir saja Anna terjerembab ke lantai saat seseorang melempar tas secara sembarangan ke arahnya. Cepat-cepat Anna mencari pelakunya.
"Cowok itu?" Anna melihat Dewa sedang cengengesan seraya berjalan ke arahnya.
"Bawain tas gue!" bisik Dewa saat melewati Anna.
"Hah? Emangnya gue babu dia apa?" Anna mengejar langkah Dewa menuju kelas.
"Heh, ini tas lo! Jangan suruh-suruh gue sembarangan. Pokoknya sekarang, gue gak takut lagi sama lo," sunggut Anna sembari melempar tas pada wajah cowok itu.
Sebelum Anna pergi, Dewa segera menarik lengannya.
"Lo gak bisa pergi gitu aja. Lo itu udah tanda tangan di atas materai, lupa? Udah nih bawain tas gue!"
Benar apa yang Dewa bilang. Hampir saja Anna lupa, bahkan anak itu melibatkan Saga dalam hal ini. Entah darimana cowok itu tahu mengenai keluarganya.
Anna tidak mau Dewa sampai lancang menyentuh anggota keluarganya. Mau tidak mau memang ia harus melaksanakan hukuman dari Dewa. Apa boleh buat, semuanya ia lakukan secara terpaksa.
Dengan malas, Anna mengikuti Dewa ke dalam kelasnya.
Tiba di sana, Dewa menutup pintu secara tiba-tiba membuat Anna terbaru keras hingga jidatnya memerah. Bukannya memberikan rasa empat, semua orang malah mentertawakannya.
"Rasain lo!" Dewa tersenyum miring.
"Ini tas lo. Gue mau ke kelas."
"Jangan harap bisa keluar dari sini!" Dewa menahan Anna lagi.
"Maksudnya?"
"Lap dulu sepatu gue," titah Dewa lancang.
Napas Anna memburu. Dewa bisa melihat kemarahan dalam diri cewek itu, tangannya terlihat mengepal kuat. Namun, tampaknya asik juga bila cewek itu melupakan amarahnya.
"Gak mau? Lupa lo udah terikat sama selembar kertas bermaterai?" Dewa mengancam.
Anna terpaksa berlutut dan membersihkan sepatu Dewa yang padahal tidak kotor sama sekali. Ya, mungkin hanya ada sedikit debu.
Sesudah itu, Anna masih tak dibiarkan keluar. Ia kembali disuruh-suruh. Dewa meminta Anna untuk mengerjakan PR-nya yang masih belum terisi satu pun.
Warga kelas mulai bergunjing membicarakan Anna. Mencacinya dengan membahas anak yang ada dalam kandungannya.
"Kulit badak!"
"Kok bisa Dewa milih cewek itu jadi ceweknya sih?"
"Bukan ceweknya, tapi babunya. Dewa sengaja mempermainkan cewek kampung itu."
***
Anna berlari sekencang mungkin setelah mendengar bell berbunyi nyaring. Memang sialan Dewa itu, dia sengaja membuatnya terlambat masuk kelas.
"Maaf, Bu. Saya telat." Sayang sekali Bu Yeni sudah mendahuluinya.
"Kamu Anna?"
"I–iya, Bu."
"Kamu tidak diizinkan masuk kelas. Silakan datangi Pak Natta, tadi ada yang bahas soal kamu di ruang guru."
"Ah, begitu. Baik, saya ke sana. Sebelumnya terima kasih," ucap Anna dan segera undur diri.
Seperti yang Anna takutkan, ini pasti mengenai pengeluaran dirinya dari sekolah. Sejak tadi malam Anna tidak bisa tidur memikirkan ini. Namun siap tidak siap Anna akan menerima keputusan semesta padanya. Mau bagaiamna lagi, Anna tak punya kekuatan apa pun di sekolah ini.
"Permisi, Pak." Anna dipersilakan masuk. Tidak ada orang selain Pak Natta.
"Kamu datang sendiri? Di mana orang tua kamu? Bukannya saya suruh kamu bawa mereka."
"Maaf, Pak. Ibu saya tidak bisa hadir." Akan sangat berbahaya jika ia sampai membawa ibu tirinya ke sini. Mungkin saja ketika sampai rumah, ia akan diusir atau bahkan nyawa Anna akan melayang.
"Loh kenapa? Ini soal yang penting."
Anna hanya menggelengkan kepala. Tidak ada alasan lain yang dapat ia berikan.
"Ya sudah tidak apa-apa. Begini Anna, masalah kamu sudah sangat fatal. Kami tidak bisa mempertahankan siswa yang sedang hamil. Oleh karena itu, dengan secara tidak terhormat beasiswa kamu dicabut dan kamu dikeluarkan dari sekolah."
"Huuftt...!" Anna mengembuskan napas berat. Dasarnya terasa sesak mendengar keputusan tidak adil itu.
"Pak? Apa bapak ngga bisa bantu saya? Saya bisa ke rumah sakit dan berikan hasil tesnya bahwa saya tidak hamil." Anna mencoba bernegosiasi. Sangat berharap bila ia bisa membuktikannya.
"Lho, Dewa sudah memberikan hasil tes kandungan kamu kemarin. Makanya saya yakin bahwa kalian memang telah melakukan itu."
"Apa?! Ngga, ngga! Pak. Dewa bohong, hasil itu palsu. Saya mana ada ke rumah sakit."
"Loh, Dewa bilang, kemarin kamu dan Dewa pergi untuk memeriksa kandungan?"
Di sisi lain, Claudia tampak tidak tenang memikirkan Anna. Ia kerap merasa bersalah karena terus diam dengan kebenaran yang ada. Dalilnya karena ia belum kenal dekat dengannya dan beranggapan hanya akan menjadi sebatas teman sekelas. Lagi pula, Anna terlalu banyak terlibat dalam masalah, sehingga ia takut jika nantinya ikut terlibat.
"Apa gue harus tetep diem di sini? Kasihan juga Anna. Ah, udahlah. Lagian gue gak terlalu dekat dengan cewek itu." Claudia berusaha untuk kembali fokus pada materi yang tengah dijelaskan oleh Bu Yeni.
"Tapi ...." Kepala Caludia riuh, dipenuhi Anna, Anna dan Anna.
"Bu Yeni, saya izin ke toilet!" Claudia berlari ke luar kelas. Ia sudah tidak bisa tahan lagi.
Meskipun Anna bukanlah sahabatnya, tetapi sebagai manusia ia wajib menegakan kebenaran. Ia tahu yang sebenarnya dan barangkali ini bisa membuat Anna tak jadi dikeluarkan, Claudia tahu Anna sejatinya anak yang baik.
"Anna gak hamil!" teriak Caludia begitu sampai di ruang BK. Anna dan Pak Natta terkejut dengan suaranya yang tiba-tiba memenuhi isi ruangan.
"Claudia?"
"Saya saksinya. Anna gak hamil!" Tegas Claudia.