"Nggak jadi, orangnya udah ke sini." jawab Daniel sambil berjalan kembali ke kursi kantinnya, terlihat ia duduk dengan beberapa teman pria dan salah satunya adalah Zayyan.
Benar, Daniel adalah salah satu sahabat dekat Zayyan sama seperti Yuda, hanya saja ia beda kelas dengan Zayyan dan Yuda.
Dhita yang mengekori kepergian Daniel dengan lirikan matanya setelah ia melihat Daniel berbalik pergi sebelum berpapasan dengannya itu, langsung menepuk dahinya dengan reflex.
"Guys, kayaknya gue ga bisa ke kantin deh, gue balik dulu ya?" dia baru ingat kalau Zayyan memintanya untuk ke kantin tepat sebelum ia turun dari podium.
"Eh Dhita, kenapa sih tadi katanya lapar?" Dina dengan cepat menarik tangan Dhita mencegahnya meninggalkan mereka berdua, masak ia mereka cuma makan berdua di kantin nanti dikirain lgbt lagi.
"Gue udah kenyang Din, lepasin ah!" wajahnya memerah, rasanya ingin menghilang dari muka bumi sekarang.
"Yah Dhita, masak lo tega ninggalin kita makan berdua si!." Anjani memelas dengan wajah cemberut.
"Lepas!" Dhita menghempas tangannya sambil melangkah pergi, tapi baru berjalan beberapa langkah tangannya ditarik sekali lagi.
"Din gue bilang gue mau balik sekarang, ga ngerti --" emosinya memuncak sambil ngedumel kesal.
Tapi temannya tidak menjawab sama sekali dan ia merasa tarikan di tangannya yang membuatnya melangkah mundur, karena kesal ia berbalik dan ingin memarahi semarah marahnya temannya yang memaksanya ikut ini.
"Din, lepasin ah!" wajahnya langsung padam ketika melihat ternyata orang yang menariknya bukan Dina apalagi Anjani, tapi Zayyan!
Sementara kedua sahabatnya hanya bisa melihat itu dengan tatapan kosong, tidak berani melarang Zayyan karena status yang disandangnya sekarang.
"Gue udah bilang temui gue di kantin pas lo udah kelar tutup acara." tanpa repot melihat ke arah Dhita, Zayyan bicara sambil menggeretnya ke kursi yang masih kosong.
Tidak, sebenarnya ada sepasang adik kelas yang duduk disana dan sedang asik bercengkrama, namun mereka dengan sadar diri pindah ketika Zayyan berjalan ke arah meja mereka sambil menggandeng pacar barunya.
"Apa-apaan sih Za, sakit tau gak?" duduk di kursi dengan kesal, Dhita memegang pergelangan tangan yang digenggam Zayyan untuk menggeretnya barusan.
"Lebay, gue aja pegangnya pelan." mengambil kursi di hadapan Dhita, Zayyan melirik ke pergelangan tangan Dhita memastikan kalau itu tidak cedera atau memar.
"Loh, lo kok duduk di situ sih, balik aja sana sama teman-teman brengsek lo itu." Dina dan Anjani tidak berani mengambil tempat duduk didekat mereka berdua, jadi mereka harus duduk berdua dengan wajah cemberut.
Padahal mereka udah maksain Dhita biar ikut ke kantin supaya mereka bisa makan dengan tenang, kalau makannya Cuma berduaan gini kan jadi geli, mana sesama cewek lagi.
"Siapa brengsek?" tanya Zayyan dengan senyum manisnya, dan itu sangat dibenci Dhita yang menganggapnya sebagai sikap tengil dan mengejek.
"Tu mereka yang duduk sama lo tadi." Menyangga kepalanya di tangan yang sikunya ia berdirikan diatas meja, Dhita memalingkan wajahnya malas melihat orang yang berada di depan.
"Yaudah, itu kan mereka makanya gue misahin diri." Mengangkat bahunya sambil melipat tangan diatas meja, Zayyan menatap Dhita dalam-dalam.
Bukan karena terpana akan kecantikannya, tapi itu adalah salah satu hal yang bisa membuat cewek itu merasa kesal, dan itu adalah kebahagiaan buatnya.
"Dih, pede banget sih lo? lo itu biang keladinya, kalo lo misahin diri mereka gak jadi brengsek lagi karena itu nempelnya di lo bukan mereka!" alisnya tertaut melihat kepedean Zayyan yang ga ketolong ini.
"Makanya gue milih duduk sama lo, biar luntur tu brengsek. Lagian kasar amat sih bilangin temen-temen gue brengsek." Mulai keluar senyum tengilnya, dilengkapi dengan satu alisnya yang lebih tinggi biasanya itu bisa meledakkan emosi Dhita.
"Dah ah, capek tau gak bicara sama orang gak punya sopan santun." Zayyan memiringkan kepalanya, agar bisa melihat wajah cewek di depannya dengan lebih jelas.
"Permisi, buk pesan bakso aja ya 1 mangkok aja buk gak usah banyak-banyak." panggil Zayyan pada ibu kantin.
"Kalau itu? udah sopan belum?" Dhita tidak menjawab sama sekali.
"Buk, Dhita kayak biasa aja ya, sama es teh satu buk!" pesan Dhita sama ibu kantin yang sama.
"Bentar ya nak Zayyan, neng Dhita!" sahut ibu kantin dari meja dapurnya.
"Loh, kok lo pesan lagi sih?" wajah Zayyan kebingungan.
"Gue lapar, ya gue pesan lah. Udah ah gue mau gabung sama Dina Anjani." tangan Dhita ditahan membuatnya tidak bisa meninggalkan meja makan ini.
"Za, mau lo apa sih? gue lagi ga pengen debat sama lo." wajah kesal bertambah lelah bercampur menjadi satu dalam kecantikan Dhita.
Sebenarnya bukan karena ia sedang malas berdebat, tapi masih tersimpan rasa malu terhadap Zayyan akibat kejadian di Aula tadi.
"Jadi karna udah pacaran sama gue, lo gak mau debat sama gue lagi gitu? pengennya nurut sama manja-manja?" Zayyan bercanda, tawa kecilnya meramaikan meja makan 2 orang ini.
"Lo apa-apaan sih Z!, gue kan udah bilang kalau gue ga punya niat buat jadi pacar lo." Spontan wajah Dhita berpaling menatap serius wajah Zayyan.
"Kalau sama jagoan yang nyelamatin adik lo? niat?" bahu dan dada Dhita mulai naik turun menahan emosi, jika bukan karena mikir kalau status mereka udah berbeda di mata orang lain, suaranya pasti sudah menggelegar.
"Lo denger sendirikan kalau itu saran dari Dina." bibirnya hampir kikuk tidak bisa menjawab, tapi untunglah ia masih punya alasan.
"Terus kenapa di terima?" Zayyan terkekeh pelan, melihat Dhita yang hampir tidak bisa menjawab pertanyaannya.
"Udahlah intinya gue gak ada niat sama sekali buat pacaran, kalau lo mau putusin sekarang gue bakal ikhlas dengan senang hati!" Dhita memalingkan wajahnya sekali lagi.
"Dih gimana tu ikhlas dengan senang hati? ikhlas ya ikhlas aja itu tandanya lo sedih gue putusin. Kalau senang ya senang aja!" Zayyan berlagak bingung.
Dina dan Anjani sebenarnya sangat ingin membantu Dhita, tapi mereka gak berani kayak biasanya karena mereka sudah berpacaran sekarang.
"Iss lo makin lama makin resek ya, cowok mana coba yang buat ceweknya kesel tiap menit?" karena kesal akhirnya Dhita bicara tanpa pikir panjang.
"Wow, apaan tuh barusan? coba ulang dong, kurang jelas gue dengernya barusan!" kalimat itu jelas untuk sebuah pasangan, Dhita yang menyadarinya langsung menutup mulutnya sambil melirik sana sini karena canggung.
'Apaan sih Dhita, kenapa pake salah ngomong segala coba? bisa makin ke geeran tu cowok' Dhita mengumpat diri sendiri dalam hati.
"Maksudnya lo mau gue bahagiain lo sebagai pacar gitu?" alisnya naik sebelah sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Dhita, itu sangat dekat sampai hidung mancung mereka hampir bersentuhan.