Mau pecah rasanya kepala Dhita saat ini, blunder di tengah perdebatan hanya semakin menyudutkan dia pada posisi yang sulit untuk menang.
"Ya Ampun Zayyan! emang pernah gue minta lo jadi pacar gue? lo nya aja yang kepedean jawab aneh-aneh di podium tadi." Menghembuskan seteguk udara keruh, ia mulai untuk mengimbangi perdebatan ini.
"Oke, yauda kalau gitu." Zayyan menarik tubuhnya kembali ke belakang dan duduk dengan normal.
"Yaudah apa?" alis Dhita hampir menyatu melihat respon Zayyan, ia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya itu.
"Yauda lo tinggal bilang aja kalau kita gak pacaran, selagi rame nih disini," menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, Zayyan menjawab dengan tenang.
Mendengar itu Dhita hanya bisa menatap meja kosong di hadapannya ini dan tidak menjawab sepatah katapun, jelas ia kalah disini.
"Kenapa diam? Gak berani? atau gak rela?" tawa Zayyan pecah, senang rasanya mendominasi percakapan dengan wanita ini. Karena biasanya ia juga cukup tertekan kalau berdebat dengannya.
"Mending lo makan, dah datang tuh pesanan lo." Dhita ingin mengambil kesempatan ini untuk melarikan diri ke mejanya Dina dan Anjani karena Zayyan gak mungkin bisa narik tangannya pas lagi makan.
"Makanannya buat lo." Zayyan mendorong mangkuk berisi bakso dengan kuah panasnya itu ke depan.
"Apaan sih! gua udah pesan sendiri." wajahnya kembali cemberut.
"Kalau gitu bungkus bawa pulang buat makan siang!" dengan tenang Zayyan memberikan solusi, karena bakso itu memang ia pesan buat wanita ini.
"Gue gak butuh, gak usah sok perhatian deh gak cocok buat cowok kayak lo," jawab Dhita yang mulai gerah karena menahan terlalu banyak emosi sejak tadi.
"Tapi jadian sama lo, cocok kan?" Dhita hanya bisa menatap tajam pria yang selalu menghancurkan moodnya di sekolah.
Tidak lama ibu kantin membawa semangkuk bakso pesanan Dhita, menyadari itu Dhita bertanya "buk itu pesanan saya? taruh di sana aja ya buk meja yang itu." Dhita mengarahkan ibu kantin untuk mengantar makanannya ke meja Dina dan Anjani.
Tapi Zayyan dengan cepat berdiri mengambil mangkuk bakso itu dan meletakkannya di atas meja makannya.
"Ngga papa buk, di sini aja, masak saya makan sendirian," menaik turunkan sekali alisnya, Zayyan menjelaskan.
"Baiklah kalau gitu ibu permisi dulu ya." ibu kantin yang bingung melihat 2 remaja ini, segera pamit setelah mangkok baksonya di ambil Zayyan.
"Za, udah deh gak capek apa debat kayak gini terus?" Dhita mencubit pangkal hidungnya dengan pasrah, kesempatan terakhirnya untuk meninggalkan meja ini sirna sudah.
"Oh ya buk, yg ini di bungkus aja ya? tahankan kalau sampe siang?" memanggil ibu kantin yang belum berjalan terlalu jauh, Zayyan mengabaikan kekesalan Dhita.
"Beneran mau di bungkus ni nak?" ibu kantin bengong dengan kebingungan, baru ini ada siswa yang minta pesanannya buat di bungkus.
"Zayyan pernah bercanda emangnya?" mengambil bakso yang dia pesan tadi, ia berikan pada ibu kantin.
Karena dicuekin barusan, Dhita tidak lagi memperhatikan Zayyan yang meminta baksonya buat di bungkus sama ibu kantin, ia hanya fokus sama makanannya karena perutnya sudah mulai berputar seperti pusaran air.
"Semangat bener makannya, enak ya makan di temenin sama gue?" Zayyan kembali dari depan dan langsung mengganggu Dhita lagi dan lagi.
"Bisa biarin gue makan dengan tenang dulu gak?" mengangkat kepalanya yang sebelumnya menunduk menghadap mangkok baksonya, Dhita menjawab dengan kesal.
"Makan ya makan, tapi jangan belepotan gitu dong." ada selembar rajangan sawi menempel di ujung bibir Dhita, dan itu sangat mengganggu pandangannya.
"Oh, mau modus lo ya? gak guna tau gak, jaman banget sih trik lo." Mana mungkin Dhita percaya dengan modus receh kayak gitu.
"Yauda kalau ga percaya!" Dan jangan harap Zayyan mau nyingkirin rajangan sawi yang menempel di ujung bibir Dhita kayak adegan romantis di sinetron, ia lebih memilih membiarkannya walaupun itu mengganggu.
Keheningan mulai tercipta ketika Dhita makan, Zayyan tidak ingin anak itu mati tersedak karena harus menjawab semua pembicaraan mereka. Makanya ia memilih diam ketika Dhita makan dan memilih memainkan tusuk gigi di meja itu.
Dhita yang merasa aneh karena tidak ada lagi ocehan yang mengganggu dirinya sejak suapan ketiga baksonya melirik ke depan untuk melihat apa yang sedang dilakukan pria itu.
Memperhatikan Zayyan yang diam dan tidak membuatnya kesal terasa sedikit nyaman dalam batinnya, tanpa sadar ia pun mulai mengagumi ketampanannya dan meliriknya lebih lama.
"Ehh, apa ngeliatin? ntar naksir lo sama gue! Oh ya lupa kan udah jadi pacar." Zayyan kaget mata indah itu menatapnya dengan serius.
Dhita tersentak dari tatapan itu, dan ia berkedip kedip sambil membenahi tempat duduknya karena merasa canggung, kemudian ia kembali fokus menyantap bakso paling enak di sekolahan ini.
Dhita tidak menjawab apapun, membuat Zayyan menatapnya lebih lama. 'cantik juga lo ternyata, tapi kenapa galak banget sih' gumamnya dalam hati sambil tersenyum.
"Gue dah siap, mau balik kelas dulu." Dhita langsung buru buru pergi ke meja Dina dan Anjani setelah menyelesaikan makannya dengan khidmat, beruntung Zayyan tidak mengganggu dirinya saat makan.
"Hati-hati!" suaranya cukup besar untuk didengar oleh seluruh isi kantin, dan itu membuat Dhita menghentikan langkahnya untuk menghembus nafas kotor sebelum melanjutkan langkahnya ke meja Dina dan Anjani sambil menggelengkan kepala.
"Lo gak apa Ta? kalian ngobrolin apa aja sih kok wajah lo tegang banget dari awal duduk, sampek sekarang malah." Dina langsung membombardir Dhita dengan pertanyaan.
"Lo berdua emang parah banget ya, bukannya bantuin gue biar gak duduk berduaan dengan dia gitu, malah nontonin dari jauh."
Jujur rasa kesalnya pada dua sahabatnya ini bertambah karena mengabaikannya dalam penderitaan, ya duduk berdua dengan Zayyan adalah penderitaan terhebat yang pernah ia rasakan.
"Mau gimana lagi, dimata orang-orang kalian tu udah pacaran, masak iya kami ganggu kalian yang ada nanti kita berdua di ledekin sama mereka, apalagi ada temen-temennya Zayyan tu di sana!" bibir Dina menunjuk ke arah teman-teman Zayyan dengan muncung bibirnya.
"Ya cari cara kek biar gue bisa lepas dari dia, udah kelas 3 bentar lagi masuk perguruan tinggi, masak mikir gitu aja gak khatam sih!" kesal Dhita.
"Ya maaf!" Anjani tidak ingin banyak berkomentar karena ia tau kalau itu hanya akan menambah kekesalan Dhita.
"Ni bakso lo buat makan siang, kata ibu kantin pas mau di makan di panasin dulu biar enaknya nambah apalagi sambil liatin poto gue." Zayyan tiba-tiba datang dengan kantongan plastik, sudah jelas isinya bakso yang dipesannya tadi.
"Gue gak mau –" belum siap Dhita menjawab Zayyan udah ninggalin meja itu dan kembali nongkrong sama temannya.
"Jangan di buang, mubazir!" teriak Zayyan tanpa berbalik menghadap Dhita.