-Terjebak Menjadi Simpanan-
"Cape?"
Kirana menoleh. Wanita itu baru saja memijat bahunya ketika seseorang memanggilnya. Manik hitam itu menangkap sosok wanita yang mengenakan seragam pelayan, sama seperti dirinya.
Kirana tersenyum kecil. Wanita itu adalah temannya, Nita.
"Ah, lumayan," gumamnya.
"Aku juga."
Nita ikut duduk di samping Kirana, keduanya menghela napas berat disela-sela waktu istirahat mereka yang singkat.
Suasana di dalam restoran ayam siang tadi sangat ramai. Mau tidak mau mereka harus bekerja ekstra agar tidak keteteran. Hal seperti itu sudah sering mereka alami. Bahkan nyaris setiap hari ketika jam makan siang berlangsung.
Nita sudah beberapa kali menghela napas di samping Kirana.
"Kaya gak pernah capek aja." Kirana bergumam.
"Biarin."
Nita mendengus pelan. Wanita itu memijat kakinya beberapa saat sebelum ia kembali membuka suara.
"Kirana."
"Hm?"
Kirana menoleh. Rautnya sedikit bingung ketika reaksi Nita yang terlihat segan ingin bertanya.
"Kenapa, Nit?"
"Hubunganmu dengan Rafael baik-baik saja kan?"
Kirana menyipitkan matanya beberapa saat. Sedikit kebingungan dengan pertanyaan Nita yang tidak biasa.
Selama mengenal sosok Nita, nyaris tujuh tahun belakang. Wanita itu tidak pernah menanyakan hal aneh tentang kehidupannya. Termasuk dengan hubungan asmaranya sekalipun.
Kirana mengangguk pelan, "Hm, kenapa Nit?"
Nita mengerutkan alisnya. Mengangguk beberapa kali dan menggelengkan kepalanya tanpa sebab.Wanita itu terlihat menimbang-nimbang pikirannya sendiri sebelum menghela pelan. Matanya menyipit.
"Kamu belum putus kan sama Rafael?" tanyanya lagi.
Kali ini ekspresinya jauh lebih terlihat dibandingkan sebelumnya. Manik hitam milik Nita melotot, sebelah tangannya meraih pundak Kirana.
Kirana kembali mengangguk dengan cepat. Wanita itu sedikit syok dengan perlakuan sang sahabat yang sedikit agresif tentang hubungannya bersama Rafael.
'Apa ada yang tidak biasa dengan sahabatnya itu?' pikir Kirana dalam hati.
"Serius, belum putus?" tanyanya lagi.
"Serius, Nit. Kenapa memang? Ada yang salah?"
Nita berdehem pelan. Wanita itu melepaskan cengkraman singkatnya pada Kirana.
"Ah, tidak. Err … sebenarnya." Nita menghentikan kalimatnya. Mendongak menatap Kirana lagi yang sedari tadi semakin kebingungan.
"Kenapa? Jangan aneh-aneh Nit. Sikapmu membuatku takut, tau," gumam Kirana.
Nita mendecih pelan, bibirnya manyun. "Apaan sih. Aku cuma mau bertanya, apa Rafael punya adik cewe? Ah, sepertinya bukan adik. Usia mereka terlihat sepantaran." Nita bergumam pada dirinya sendiri.
Kirana semakin bingung dengan kata-kata sang sahabat yang terdengar tidak jelas.
"Maksudmu apa Nit? Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan itu."
Nita mengeling dengan cepat. "Akum aku tanya. Tapi jangan emosi dulu."
"Tanya apa? Dari tadi pertanyaanmu aneh semua."
"Jangan emosi!" seru Nita sedikit meninggikan suaranya ketika sang sahabat sudah terlihat emosi.
Kirana mendengus pelan. Wanita itu menyunggingkan bibirnya dengan tipis, sedikit dipaksa.
"Begini?" gumamnya.
Nita mendengus pelan. Ekspresi terpaksa sang sahabat membuatnya ingin tertawa sendiri. Pada akhirnya wanita itu mengeling pelan. Ia menghembuskan napas pelan.
"Apa Rafael punya saudara perempuan? Atau sepupu perempuan yang dekat dengannya. Usianya tidak jauh dari pacarmu itu."
Kirana tidak langsung menjawab. Wanita itu berpikir beberapa saat seraya mengingat siapa saja anggota keluarga Rafael yang sempat diberitakan oleh kekasihnya itu.
"Rafael tidak punya sepupu perempuan. Sepupunya laki-laki semua kalau yang sepantaran. Yang lebih tua banyak."
"Kalau adik?"
"Ada, tapi masih sekolah menengah. Dia tidak ada di sini, sekolahnya di luar negri." Kirana memberitahu.
Ia sedikit ingat tentang saudara perempuan sang pacar itu. Tiga tahun yang lalu, saat pertama kali Rafael menyatakan perasaannya ia juga menceritakan jika hari yang sama kakak sulungnya sedang melangsungkan pernikahan dengan keluarga konglomerat besar.
Adiknya yang baru diterima sekolah asrama di luar negeri juga hadir. Rafael lebih banyak menceritakan jika ia tidak menyukai kakak iparnya kala itu.
'Terlalu angkuh.'
Kirana ingat berapa kali sang kekasih mengumpati laki-laki yang baru saja menjadi kakak iparnya itu. Walaupun Kirana sendiri tidak terlalu mengerti.
Rafael juga mengatakan ia akan mengajak adik perempuannya dalam koalisi itu.
"Jadi adik perempuannya masih anak-anak?" Nita membuka suara dengan tiba-tiba.
Membuat Kirana tersedak kaget, dan melenyapkan semua kenangan tiga tahun yang lalu.
Wanita itu menghela nafas pelan dan mengangguk. "Seingatku begitu."
"Berarti tidak mungkin adiknya kan." Nita bergumam. "Ah, Apa kau pernah melihat wajah adiknya Rafael?"
Kirana mengeling. Jangankan melihat wajahnya, ia bahkan tidak mengetahui siapa nama saudara bungsu sang pacar.
"Kenapa kau menanyakan tentang adiknya Rafael?"
Nita mengeling. "Aku hanya sedikit curiga, jika pacarmu itu selingkuh dengan wanita lain."
"Apa maksudmu?" tanya Kirana curiga.
Wanita itu mengerutkan dahinya. Ia tidak suka dengan apa yang baru saja sahabatnya katakan tentang Rafael.
"Jangan marah tadi. Tadi saat aku mengantar pesanan ke luar, aku melihat-"
"Kirana! Bos memanggilmu, disuruh ke ruangannya. Cepat sana."
Belum sempat Nita menyelesaikan ucapannya, Pelayan lainnya berteriak memanggil Kirana. Membuat keduanya terdiam dalam keadaan yang canggung.
Nita menarik napas panjang. Wanita itu menepuk pundak Kirana, tersenyum kecil dan mengangguk.
"Sana gih, nanti kita sambung pembicaraan kita." Nita berseru, menenangkan.
"T-Tapi-"
"Kamu mau dimarahin Bos. Sudah sana, waktu kita untuk mengobrol masih banyak. Sana gih," usir Nita pelan.
Kirana hanya menghela nafas pelan dan mengangguk. Wanita itu bangkit dari tempat duduknya, memperbaiki pakaian dan menghela nafas Panjang.
"Jangan lupa baca doa. Kayaknya si bos ingin menceramahimu soal kemarin kamu tidak masuk." Nita bergumam setengah bercanda.
"Apaan sih. Aku kan sakit."
Kirana langsung pergi meninggalkan Nita yang tertawa sumbang.
Langkah kakinya diseret setengah berlari ketika menaiki undakan tangga menuju ke ruangan si bos.
Kirana berulang kali menghela nafas Panjang. Mengusapnya dan membaca doa seperti yang disarankan oleh Nita tadi.
Bukannya takut, tapi hanya ingin membangun tembok tersendiri jika ia dimarahi seperti yang sang sahabat katakan. Walau sebenarnya ia sudah minta izin sakit kemarin, meski lewat kakaknya.
'Atau kakaknya itu tidak mengatakan pada teman-temannya sampai sang bos tidak tau tentang izin sakitnya kemarin.'
'Mati aku,' gumam Kirana.
Wanita itu mengeling dengan cepat. Itu tidak mungkin terjadi, mengingat kakanya tidak pernah ingkar janji. Apalagi di situasi seperti kemarin.
Kirana mengangguk sendiri. Kakinya berhenti tepat di depan pintu kayu yang terlihat kokoh.
Kirana kembali menarik napas panjang sebelum jari-jemarinya terulur untuk mengetuk pintu di depan.
"Masuk."
Suara berat terdengar dari dalam.
Kirana menggigit bibirnya. Perasaan takut mulai menyelimuti benaknya. Mengingat selama ini ia tidak pernah dipanggil ke ruangan sang bos.
Krakk …
Pintu terbuka. Bahkan decitannya pun membuat hawa menyeramkan dari suara yang dihasilkan.
Kirana menunduk pelan, ia tidak berani menatap raut sang bos yang mungkin sedang marah saat ini.
"Sudah sembuh?"
Degh …
Kirana menoleh. Wanita itu tersenyum canggung dan mengangguk pada laki-laki muda yang menjadi pemilik restoran tempatnya bekerja.
"Err- Bos ingin memarahi saya?"
To be continued....