-Terjebak Menjadi Simpanan-
Kirana menghela nafas panjang. Wanita itu membuka pintu rumahnya. Kegelapan menguasai segalanya. Ia tersadar jika dirinya hanya sendirian.
Kakaknya mungkin belum datang. Atau lembur seperti biasanya. Ia sudah terbiasa di rumah sendirian.
Kirana memejamkan matanya cukup lama sambil berdiri, bersandar di belakang pintu. Ia tidak menoleh sedikitpun ke belakang. Sampai deru mobil milik Rafael terdengar meninggalkan halamanan.
Kirana membuka matanya. Mengintip sedikit di sela-sela gorden. Memastikan sang kekasih sudah pergi.
'Huhh.'
Kirana menghela nafas panjang. Wanita itu melemparkan tasnya ke sofa. Berjalan gontai, menyalakan lampu sampai ruangan gelap tadi berubah menjadi terang.
Tidak ada yang berubah. Suasana sepi dan dingin selalu menyertai rumah kecil ini sejak mereka memutuskan untuk mandiri.
Kirana kembali menghela nafasnya berulang kali. Terdiam menatap dinding kosong. Sesekali memijit pelipisnya. Membiarkan rasa kesal dan kecewanya menguap bersama helaan napas.
Kirana tidak tau apa yang harus ia lakukan. Disatu sisi ia kecewa dengan apa yang Rafael katakan. Kekasihnya itu mengelak dengan gerak-gerik kebohongan yang jelas.
Bahkan firasatnya juga mengatakan demikian. Rasa percayanya perlahan mengikis tanpa kepastian.
Tapi disisi lain. Kirana juga berharap masih ada kesempatan untuk hubungan mereka. Walau bagaimanapun ia mencintai Rafael. Hubungan tiga tahun mereka tidak bisa berakhir hanya dengan satu kesalahan.
Kirana mengeling. Matanya kembali terpejam beberapa saat. Waktu berjalan dengan cepat sampai terdengar suara pintu dibuka.
Kirana mendongak. Manik hitam itu menangkap sosok Nina, sang kakak yang muncul di balik pintu.
"Ah, kau masih belum tidur." Nina berseru sambil meletakan sepatunya di rak.
Kirana tidak menjawabnya. Ia hanya mengangguk samar. Melirik jam di ponselnya yang ternyata sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
"Kaka tidak lembur?"
Nina mengangkat bahunya tanpa menjawab. Wanita itu melangkah ke arah Kirana. Tersenyum kecil dan ikut duduk di sofa usang mereka.
"Tidak sampai lembur. Besok kami kedatangan tamu penting, jadi semua karyawan harus on time."
Kirana hanya mengangguk. Ia tidak terlalu ingin tau.
"Ini sudah tengah malam. Biasanya kau sudah tidur." Nina kembali berseru.
"Tidak bisa tidur."
"Kenapa?"
Kirana terdiam. Ia tidak mungkin mengatakan jika ia sedikit bertengkar dengan Rafael.
Kakaknya itu terlalu protektif. Pembahasan mengenai Rafael tidak akan hanya berakhir tentang siapa yang salah. Tapi kakaknya akan mengungkit perihal lain, memojokkan Rafael dan pada akhirnya akan diketahui siapa kekasihnya selama ini.
Kirana mengeling. Ia tidak ingin kakaknya mengetahui tentang keluarga Rafael, atau tentang penghinaan yang baru-baru ia dapatkan.
Nina yang melihat reaksi sang adik, nyaris kembali membuka suaranya sebelum getaran ponsel kirana bergerak.
Kirana menoleh, nama Rafael terpampang jelas di sana.
"Kenapa tidak diangkat?"
Kirana mengeling. Kemudian menonaktifkan ponselnya.
"Kami baru saja bertemu. Dia mengantarku tadi. Lagipula ini sudah malam, jika penting dia akan menghubungi lagi besok."
Nina terlihat tidak yakin. Alisnya terangkat beberapa saat sebelum helaan nafas pelan terdengar. Ia mengangkat bahunya maklum.
Kirana tersenyum kecil. Wanita itu meletakkan tangannya di bahu sang kakak.
"Kaka mau dipijit?" tawarnya.
"Kau tidak ingin tidur?"
"Nanti saja. Kirana masih belum mengantuk."
Nina mengangguk paham. Ia tidak bicara lagi ketika sang adik memijat pelan bahunya.
"Ngomong-ngomong, kenapa kaka bisa mengenal bos Kirana?"
Kirana tiba-tiba bertanya. Wanita itu sebenarnya sudah lama penasaran. Namun, ia tidak berani bertanya pada kakanya.
"Kenapa penasaran?"
"Ah? Gak, err ... maksudnya bukan seperti itu." Kirana mengatur suaranya sendiri agar tidak terlihat terlalu ingin tau.
"Aneh saja melihat kaka akrab dengan bos Kirana," lanjutnya.
'Terlebih lagi bosnya itu terlihat begitu memperhatikan kakanya. Seolah mereka lebih dari sekedar kenalan biasa.'
Kirana mendengar kakanya menghela nafas panjang.
"Kaka tidak terlalu mengenal bosmu. Kami bertemu pertama kali karena insiden pencopetan. Kaka membantunya, hanya itu. Selebihnya kami tidak terlalu mengenal." Nina menjelaskan dengan tenang.
Kirana mengerutkan alisnya merasa aneh. Bahkan dari pengamatannya sekilas, juga dari bentuk perhatian si bos yang berlebihan tidak menggambarkan kata 'hanya sekedar kenalan yang tidak sengaja bertemu.'
Kirana yakin ada bentuk lain yang menjelaskan betapa anehnya sikap si bos tadi siang.
"Dulu Ian pernah menawarkan jika ia akan membalas budi, jadi kaka meminta tolong agar ia menerimamu sementara di restoran ayamnya."
Kirana tersedak pelan. Penjelasan kakaknya yang tiba-tiba itu membuat lamunannya hilang.
Nina sudah melepaskan tangan Kirana di bahunya. Wanita itu berbalik menatap sang adik yang masih kebingungan.
"Tumben kau menanyakan tentang Ian. Ada apa? Dia menyulitkanmu?"
Kirana langsung mengeling dengan cepat. "Ti-tidak, err... tidak sama sekali. Hanya merasa aneh saat melihat bos Kirana seolah mengenal kaka begitu jauh." Kirana bergumam. "Aneh rasanya. Juga menyebalkan."
Kirana kembali mengingat ucapan si bos mengenai Rafael, sesaat sebelum ia pulang tadi.
"Apa dia selalu seperti itu? Maksudnya si bos. Tingkahnya aneh."
"Aneh? Siapa? Ian?"
Kirana mengangguk. "Tadi siang dia memberikan paketan herbal mahal. Ia juga mengomentari Kirana dengan santai. Bukannya itu aneh. Dilihat dari manapun kami bukan orang yang akan mengetahui satu sama lain."
'Hubungan antara bos dengan karyawannya seperti jurang pemisah yang dalam. Mustahil bagi seorang pemilik restoran bersikap begitu mengenalnya dan keluarganya.
"Tidak aneh. Entahlah. Kaka tidak mengenal Ian sebanyak yang kau pikirkan. Dia mungkin lebih mengenalmu mengingat kalian selalu bertemu setiap hari."
Kirana tidak langsung menyetujui. Wanita itu berpikir, meski pikirannya bercampur aduk.
"Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Sebaiknya kau juga tidur. Ini sudah lewat tengah malam, besok tidak libur bukan?"
Kirana mengangguk. Ia berdiri, setelah kakaknya melangkah ke kamarnya sendiri. Kirana menghela nafas panjang. Kakanya benar. Ia tidak bisa memikirkan sesuatu yang masih tidak jelas berhubungan dengan dia atau tidak.
Kirana melirik kembali ponselnya. Pesan dari Rafael memenuhi layar.
Kirana ingin mengeluh, namun ia tetap membuka satu persatu pesan sang kekasih. Kebanyakan tentang permintaan maaf.
Ia sudah menduganya. Rafael meminta maaf, tapi laki-laki itu juga tidak tau kenapa ia meminta maaf. Seolah permintaan maaf hanya untuk sekedar basa-basi untuk meredakan amarahnya.
Kirana kembali menutup ponselnya. Membiarkan tergeletak begitu saja di meja depan. Sementara ia sendiri beranjak ke kamarnya untuk tidur.
Sementara di tempat lain. Gemerlap lampu warna warni yang berkedip disertai deguman musik yang memekik telinga terdengar heboh bersama lautan manusia yang tengah berjoget di lantai dansa.
"Dimana dia?"
Seorang laki-laki tampan dengan setelan jas hitamnya yang masih rapi terlihat kesal dengan suara bising dan orang-orang yang menyapanya dengan tidak sopan.
Rautnya tengah menahan rasa marah, bahkan dua pengawal yang mengikutinya tidak berani menyinggung tuan mereka sedikitpun.
"Tu-tuan Mahesa. Anda sudah datang."
Seorang manajer bergegas menghampiri. Menunduk hormat ketika mendekat.
"Tidak perlu basa-basi. Dimana dia."
"Eh. A-anu, tuan muda ada diruangan vvip."
To be continued....