-Terjebak Menjadi Simpanan-
[ Okinawa Japanese restaurant, 02.15. Pm ]
Kirana tertawa pada dirinya sendiri. Kedua tangannya mengepal, menggenggam erat ponsel miliknya. Rasa kesal membuatnya bungkam seraya menatap pintu depan restoran untuk yang kesekian kalinya.
Dua jam ...
Dua jam Kirana menunggu Rafael di dalam restoran. Bahkan, matcha yang disajikan pelanyan tadi juga sudah dingin.
'Keterlaluan,' Kirana bergumam di dalam hatinya. Wanita itu menahan airmata yang mengenang di pelupuknya.
Rafael tidak datang. Laki-laki itu membohonginya. Janji yang diucapkan kala itu hanya angin lalu. Nyaris setiap menit ia menatap ponselnya, berharap dengan perasaan dalam seraya menunggu sang kekasih menghubunginya.
Tapi kenyataannya, Rafael melupakan janji kencan mereka. Persis seperti seseorang yang dicampakkan, menunggu dengan bodohnya.
Kirana mendesis, ia menetakkan ponselnya setelah menghubungi Rafael untuk kesekian kalinya, dan tetap tidak menemukan hasil apapun.
Ponsel Rafael tidak aktif.
Kirana menghela napas panjang, mencekram erat gelas matcha yang sudah dingin. Tatapannya kosong, dengan perasaan campur aduk.
Ia memejamkan matanya beberapa saat. Helaan nafasnya terdengar berat. Wanita itu membuka matanya ketika mendengarkan getaran dari ponselnya, sebelum helaan kecewa terdengar lembut.
Itu Nita sahabatnya itu menghubunginya, bukan Rafael yang dia tunggu-tunggu.
"Kirana," Nita nyaris berteriak dari seberang sana ketika Kirana mengangkat panggilannya.
"Kau masih di restoran sushi?" lanjutnya.
Kirana mengangguk pelan, meski lawan bicaranya tidak bisa melihat.
"Kirana?"
"Hmm ... Nita." Kirana menghentikan ucapannya beberapa saat. Berpikir apa ia harus mengatakan rasa kecewanya atau tidak pada sahabatnya itu.
"Kenapa?"
"Sepertinya Rafael tidak datang."
Degh ...
Ada jeda panjang yang terbentang setelah pengakuan singkat Kirana. Sebelum helaan napas berat terdengar dari seberang sana.
"Tunggu aku, lima menit lagi aku menyusul."
Nita menutup ponselnya. Meninggalkan Kirana yang menatap ponselnya dengan tatapan kosong yang sama.
Wanita itu lagi-lagi menghela napas, mendongak pelan. Tidak jauh dari tempatnya duduk, dua pelayan tengah mengamatinya dengan tatapan aneh. Kirana tersenyum canggung, kemudian membuang muka, ia tau dua pelayan itu mengamatinya sedari tadi. Mengingat sejak dua jam yang lalu hanya segelas matcha yang ia pesan.
Kirana mengusap wajahnya, menahan malu. Jika saja ia tidak menunggu Nita yang tengah menyusulnya, mungkin ia akan langsung pergi dari restoran ini.
'Memalukan,' pikirnya.
Setelah menunggu lima menit, Nita benar-benar datang menemuinya. Wanita itu dengan cepat menemukan dimana ia duduk.
"Berapa lama kau menunggu si brengsek itu di sini," ucap Nita tanpa basa-basi.
"Dua jam."
"Apa? Kau gila."
Kirana mengusap wajahnya canggung, menunduk. Perasaannya kali ini bercampur aduk antara kecewa, marah dan malu.
"Maaf, seharusnya aku tidak menyetujui tawaran kencan ini."
Nita menghela nafas panjang. Wanita itu tidak membuka suara dalam beberapa detik. Ia hanya memanggil pelayan dan memesan beberapa makanan, sebelum kembali menatap Kirana yang tengah kacau dengan perasaannya sendiri.
"Kau baik-baik saja?" tanya Nita pelan. Nada suaranya sudah sedikit terkontrol dibandingkan tadi.
Kirana mendongak, ia mengangguk mengiyakan. "A-aku baik-baik saja," dustanya.
"Jangan ditahan. Menangis saja."
"Ck, kau gila."
Nita mengeling. "Bukan aku yang gila, tapi kau. Itupun jika kau menangis di sini."
Kirana mendengus pelan. Setelah itu keduanya tertawa, melepaskan perasaan yang sedari tadi ia pendam. Nita memang sahabatnya, walau terkadang wanita itu sedikit cuek dan tidak peka, tapi instingnya selalu tepat jika menyangkut orang-orang yang disayangi.
"Apa ada lapangan golf di dekat sini?"
"Eh?"
Kirana terkejut mendengar pertanyaan Nita yang tiba-tiba. Ia mengerutkan alisnya beberapa saat sebelum mengangkat bahunya. Jelas ia tidak tau tentang hal-hal seperti itu. Ia hanya tau tentang hal remeh, restoran ayam dan beberapa tempat merakyat lainnya. Lapangan golf bukan tempat yang bisa ia datangi dengan mudah.
"Kenapa menanyakan itu?"
Nita mengeling, "Lihat, mereka mengenakan pakaian golf, sepertinya orang-orang itu baru saja selesai bermain dan mampir ke sini untuk makan siang."
Kirana mengikuti arah pandang Nita. Manik hitamnya menyipit pelan. Tidak jauh dari mereka, sekelompok laki-laki yang berjalan ke arah ruangan khusus yang biasa dipakai orang-orang berduit ketika melakukan pertemuan formal atau acara keluarga penting.
"Mereka sedang mengadakan pertemuan? Bukannya hari ini libur? Apa orang kaya tetap bekerja di hari libur?" Kirana balik bertanya.
Nita mengerutkan dahinya berpikir. "Bukannya itu Ceo Danaswara grub?"
Degh...
Kirana kembali menoleh, menatap lebih tajam ke arah sekelompok laki-laki yang berjalan sambil berbincang. Kirana mengenali laki-laki yang berjalan paling depan, didampingi sekretarisnya.
'Tuan Mahesa Danaswara.'
Laki-laki yang kakanya katakan beberapa hari yang lalu sebagai pewaris Danaswara grup di masa depan. Sekaligus menantu Nyonya Claudya.
"Wahh, sibuk sekali orang-orang kaya itu." Nita berseru.
Kirana tersenyum kecil. "Mereka mungkin tidak punya waktu untuk sekedar mengobrol."
Nita mengangguk menyetujui. Ia menghirup Ocha miliknya. Sesekali masih melirik kembali sebelum menghilang masuk ke ruangan khusus.
"Kau harus mendapatkan laki-laki seperti itu untuk membalas pacarmu tukang selingkuh itu."
"Kami belum putus." Kirana berseru.
"Tidak masalah. Dia selingkuh dan kau harus membalasnya."
Kirana tidak langsung menjawabnya. Wanita itu terdiam, sebelum ia menoleh ke arah yang sama. Di sana tidak ada siapapun, hanya jalan yang dilalui sekelompok laki-laki berduit tadi.
"Kenapa aku harus membalasnya?"
"Biar dia kapok. Dia pikir dia siapa, hanya karna anak orang kaya tidak bisa mengkhianatimu seperti ini." Nita berseru. "Atau kau masih belum percaya jika Rafael itu berselingkuh?"
Kirana mengeling. Meski ia tidak ingin percaya sepenuhnya, namun prasangka itu semakin lama semakin kuat.
"Tapi tetap saja, mereka itu orang-orang dewasa yang usianya setara dengan orangtua kita. kau mau aku berkencan dengan salah satu dari mereka untuk membalas Rafael?"
Nita langsung terkekeh dan mengangguk menyetujui. Memang orang-orang berduit tadi nyaris semuanya sudah berumur. Hanya tuan Mahesa yang masih muda.
"Bagaimana dengan tuan Mahesa?"
Kirana mengeling. wanita itu mengambil minumnya. Menghirupnya pelan sebelum kembali menatap Nita.
"Dia sudah beristri."
"Aku tau. Hanya bercanda."
"Candaanmu tidak lucu. Selain itu, tuan Mahesa memiliki hubungan dengan Rafael. Dia kaka iparnya."
Degh ...
Nita melotot, mulutnya menganga. "S-sungguh?"
Kirana hanya mengangguk mengiyakan. Setelah itu mereka tidak lagi membicarakan sosok Mahesa. Sampai Kirana membayar pesanannya.
"Sepertinya dompetku ketinggalan." Kirana berseru. Wanita itu meraba-raba tas kecilnya dengan raut pucat.
"Dimana?"
Kirana mengeling. "Entahlah. Mungkin di meja kita."
"Atau di toilet." Nita menambahkan, mengingat sahabatnya itu pergi ke toilet sebelum kemari.
"Aku bantu cari di meja, dan kau cari di toilet."
Kirana mengangguk menyetujui. Wanita bergegas berlari, ingatannya masih simpang siur. Tempat terakhir yang ia datangi adalah wastafel.
Brakk ...
Kirana terdorong, wanita itu terjerembab ke lantai dingin ketika tidak sengaja menabrak seseorang di depan toilet.
"Kau tidak punya mata."
Degh ...
Kirana mendongak, ia mengenali suara angkuh ini.
To be continued....