-Terjebak Menjadi Simpanan-
"Kau bicara seolah kau yakin tidak akan jatuh cinta lagi."
Tidak ada manusia yang sempurna, itulah yang Rian yakini. Meskipun ia mengerti bagaimana sikap terjang sang sahabat, tapi tetap saja. Tidak akan ada yang tau bagaimana takdir itu sendiri bekerja.
"Cinta tidak berlaku untukku, Ian. Aku menjamin diriku sendiri. Hidup yang kujalani tidak akan hancur hanya karna cinta." Mahesa bicara dengan tenang.
"Cih." Rian mendecih pelan.
Laki-laki itu kembali membuka minumannya yang baru. Mahesa langsung membantunya dengan cepat.
"Tidak perlu membantuku. Aku bisa sendiri."
Mahesa tidak menggubris perkataan Rian. Ia tetap membantu sahabatnya itu. Tujuannya ke sini adalah untuk menemani Rian. Mendengarkan keluh kesahnya yang tetap saja tidak berguna.
Racauan Rian nyaris selalu sama setiap kali ia mabuk. Tentang wanita, cintanya dan juga tentang ayahnya. Semua itu bergabung dengan ilusi yang bercampur dengan kebencian dan mimpi, juga angan-angan yang tidak pernah terwujud.
Mahesa menghela pelan. Laki-laki itu memberikan minuman kepada Rian. "Cepat habiskan jangan banyak meracau tidak jelas." Ia berseru tegas. Sesekali melirik arlojinya dan kembali menatap Rian.
"Kau punya waktu satu jam untuk membicarakan keluh kesahmu sebelum kita pulang. Ini sudah terlalu larut untuk seseorang yang akan bekerja besok pagi."
"Shit, berisik." Rian merebut gelas yang diberikan oleh Mahesa. Sekaligus dengan botolnya. Laki-laki itu meminumnya sekaligus. Kemudian membalikkan botol dan gelasnya, mengejek ke arah Mahesa jika ia sudah mengosongkan minumannya lagi.
Mahesa tidak mengatakan apapun selain menghela nafas Panjang. Ia melepaskan jasnya, membuka kancing lengan baju dan melipatnya hingga siku. Otot lengannya terlihat jelas, menyepul dibalik kulit putih bersihnya.
"Cepatlah bercerita. Aku akan mendengarkan seperti baisa, dan besok kita lupakan semuanya." Mahesa berseru. Ia membuka botol lain, menuangkan kembali ke gelasnya.
"Kau temanku atau bukan sih." Rian berseru. Pandangannya sedikit sayu, meski suaranya masih terdengar jelas dan sadar.
"Tidak perlu membahas yang tidak penting."
"Cih." Rian kembali mendecih.
Laki-laki itu memejamkan matanya. Ia sudah meletakkan gelas dan botol kosong tadi di atas meja. Rasa sakit mulai menyerang kepalanya. Membuat pikiran melayang dengan suara lain yang mulai terdengar samar-samar. Ada musik, dan teriakan.
"Ian, kau masih sadar?"
Degh…
Rian menggeram pelan. Suara tegas Mahesa membuat pikiran kacaunya buyar seketika. Ia membuka matanya. Pandangan saat ini tidak terlalu jelas, mulai berbayang-bayang. Begitu juga dengan wajah Mahesa yang duduk di depannya.
"Kau ada dua. Hik.."
Mahesa mendengus pelan. "Kau sudah mabuk rupanya."
"Tidak, tidak. Aku sadar, hik … sungguh."
"Terserah."
Mahesa tidak terlalu mempermasalahkannya. Laki-laki itu diam sambil menikmati minumannya dengan pelan. Ia tidak suka mabuk, dan membenci segala jenis minuman seperti itu.
Mahesa hanya meminum wine kualitas mahal, dan ia tidak pernah mabuk di acara resmi. Kewaspadaannya meningkat di beberapa waktu. Ia bahkan tidak pernah pergi sendirian. Para pengawal dan juga sekretarisnya selalu menemani ke acara besar. Kecuali di tempat pribadinya.
"Aku sangat mencintainya. Sungguh." Rian membuka suaranya. Kali itu terdengar jelas.
"Tapi, kenapa dia bahkan tidak pernah melirikku walau sedetik, hik … Padahal, aku selalu berada di dekatnya. Mengawasinya sampai detik ini," lanjutnya.
Rian menekan dadanya. Laki-laki itu seolah mengatakan jika ia merasakan sakit yang luar biasa di sana.
"Apa aku tidak pantas untuknya? Hik .. aku seperti seekor lebah yang menunggu bunga mekar."
Mahesa mengangkat bahunya. Raut datar yang ia pancarkan sama sekali tidak berubah, ia hanya melirik arlojinya secara berkala.
"Aku melihatnya dari jauh, atau melihatnya dari dekat. Semua tetap sama, dia tetap seperti bunga mawar yang berada di rumah kaca. Sangat menyedihkan untukku yang tidak memiliki kuncinya, hik …."
Mahesa menghela nafas pelan. Laki-laki itu bahkan sudah hapal apa yang dikatakan oleh Rian. Kata-kata, bahkan rautnya juga sama seperti biasanya ketika menceritakan kisah itu lagi.
"Bungaku yang indah, tidak bisa kugapai. Mawarku," Rian mengeling beberapa kali. Air Matanya terlihat mengenang di kelopak. "Aku lebah yang malang. Bukan begitu?"
"Entahlah." Mahesa berseru tenang.
"Kau selalu merespon dengan kata-kata yang sama."
"Dan kau juga mengatakan kata-kata yang sama juga." Mahesa menimpali dengan cepat.
Rian mendecak pelan. Ia kembali meminum minumannya sampai tandas. Tertawa tidak jelas, sebelum kemudian terisak pelan.
"Apa yang harus aku lakukan? Ini semua karna pria tua itu. Jika bukan karena dia, aku sudah memiliki kebahagiaan sendiri."
"Tidak ada yang harus kau lakukan Ian. Kau hanya harus melanjutkan hidupmu. Jangan terjebak ilusi tidak nyata. Kau hanya akan menderita. Wanita itu tidak pantas kau perjuangkan, sedarlah!"
Mahesa meninggikan suaranya. Laki-laki itu menahan botol minuman yang akan diminum Rian kembali. "Dengarkan temanmu ini sekali saja, Rian!"
Rian mendenggus. Ia menepis pegangan Mahesa dari minumannya. "Kau tau apa. Kau sama saja seperti semua orang. Menyuruhku mundur, menikmati hidupku dan melupakannya? Cih, itu tidak akan bisa. Kau tidak mengerti!"
"Aku mengerti!"
"Bohong! Kau sama saja dengan yang lain. Kau tidak pernah memiliki perasaan sakit yang pernah aku rasakan. Kau tidak pernah mencintai seseorang sampai seolah dunia ini tidak pernah ada artinya lagi. Kau tau apa dengan apa yang kurasakan." Rian mengeling dengan cepat. Rautnya mengisahkan rasa kecewa dan sakit yang teramat dalam.
"Kau akan mengerti jika suatu saat kau mencintai seseorang. Namun kau tidak akan bisa bersamanya. Itulah rasa sakit yang aku rasakan, Mahesa." Rian bicara panjang lebar.
Mahesa menghela pelan. Ia mengusap wajahnya sendiri sebelum kembali menatap Rian yang sudah delapan puluh persen mabuk, suaranya juga terdengar tidak terlalu jelas lagi.
Mahesa lupa jika dalam keadaan sadar pun sahabatnya itu enggan menerima nasihatnya. Apalagi dengan keadaan seperti ini.
"Lalu, apa maumu. Apa kau akan terus hidup seperti ini? Menjadi pecundang?"
Rian tertawa pelan. Laki-laki itu mengeling, matanya setengah terpejam beberapa saat.
"Ian?"
"Hn, aku mendengarmu."
Mahesa menunggu. Laki-laki itu tidak lagi bicara dalam beberapa menit.
"Kau pingsan? Ian?"
Mahesa bangkit dari tempat duduknya. Memastikan keadaan sahabatnya, sebelum ia kembali menghela pelan.
Rian sudah pingsan.
Mahesa mengambil ponselnya, ia menghubungi para pengawal agar dapat membantu mengopong tubuh sahabatnya itu.
Tidak berlangsung lama, para pengawalnya dan juga sekretarisnya yang baru datang muncul di balik pintu. Mereka mengangguk hormat sebelum masuk mendekat.
"Bawa Ian ke apartemennya dengan selamat," perintah Mahesa.
"Baik Tuan."
Mereka menggotong tubuh Rian, membawanya ke luar klub meski yang dibawa masih meracau tidak jelas dengan mata tertutup.
Mahesa mengikuti di belakang dengan jas yang sudah ia berikan pada sekretarisnya.
"Tuan, apa anda ikut ke apartemen untuk mengantar tuan muda Rian?"
"Tidak perlu, dia akan baik-baik saja. Tempatkan saja salah satu pengawalku untuk melaporkan segalanya. Atau setidaknya sampai Ian sadar dari mabuknya."
"Baik Tuan." Sekretarisnya mengangguk paham.
To be continued....