Chereads / 困在積蓄中 / Chapter 14 - Bab 14.Tidak Akan Pernah Jatuh Cinta

Chapter 14 - Bab 14.Tidak Akan Pernah Jatuh Cinta

-Terjebak Menjadi Simpanan-

Mahesa menghela napas berat. Laki-laki itu baru saja mendapatkan kabar jika seseorang yang ia kenali sedang berada di tempat ini. Ia mengusap wajahnya dengan cepat.

Jika bukan karena itu, Mahesa tidak mau menginjakkan kaki di tempat yang penuh dengan aroma asap rokok, aroma alkohol dan juga parfum wanita yang memuakkan.

Bahkan ia enggan menatap sekelompok manusia yang seolah tengah menikmati surga dunia dengan berlenggak lenggok di lantai dansa. Ia bahkan tidak segan-segan memerintahkan pengawalnya untuk menjauhkan dia dari para pengunjung lain dalam radius dua meter.

'Bagaimana bisa dia betah di tempat seperti ini,' Mahesa bergumam pelan di dalam hatinya.

Ia bahkan tidak pernah berniat pergi ke tempat ini apapun alasannya. Jika ada rekan kerjanya yang mengundang atau hanya sekedar minum-minum bisnis. Maka Mahesa akan membatalkan dan menolak mentah-mentah.

'Shitt..'

Mahesa kembali mengumpat pelan. Ia menghela nafas panjang. Kemudian menoleh kembali.

"Sudah berapa lama dia di sini?"

Mahesa bertanya pada Manajer yang kini menunjukkan jalan di belakangnya.

"A-anu, sekitar dua jam yang lalu tuan," ucapnya ragu-ragu.

Mahesa menghentikan langkahnya dan diikuti oleh pengawal yang mengikuti di belakang.

Laki-laki itu mengerutkan alisnya. Meski raut yang ia pancarkan masih tetap datar seperti sebelumnya. Jasnya masih rapi. Para pengawalnya tidak akan membiarkan bos mereka disentuh seujung jari pun dari orang-orang yang sibuk dengan dentuman musik di lantai dansa.

"Kenapa kau baru menghubungiku."

"A-anu tuan, itu tuan muda melarang kami untuk menghubungi siapapun."

"Cih." Mahesa mendecih pelan.

Ia tidak habis pikir dengan apa yang ada di dalam otak orang itu. Tidak ada yang waras jika menyangkut tentang sosoknya.

Rian Prayoga....

Sahabat sekaligus teman terbaik yang sampai saat ini masih bertahan.

Laki-laki yang memiliki kehidupan penuh drama dan kebohongan. Hidup dengan ilusi dan perasaan sakitnya sendiri.

Mahesa bahkan tidak habis pikir apa yang sebenarnya yang diinginkan sahabatnya itu.

"Dia tidak turun ke lantai dansa bukan?"

Manager itu mengangguk. "Tuan muda hanya berada di ruangannya sedari tadi. Ia hanya memesan beberapa minuman dan wanita yang menemani."

Mahesa mengangguk paham. Mereka menaiki lift khusus, dimana hanya orang-orang tertentu yang diperbolehkan untuk memesan ruangan vvip.

Tidak ada yang membuka suara sampai lift berhenti dan mereka melanjutkan langkahnya. Bahkan sang manajer terlihat pucat ketika berhadapan dengan sosok Mahesa Danaswara. Ia tidak berani hanya untuk sekedar menghela nafas panjang.

Sampai langkah mereka berhenti tepat di depan sebuah pintu kokoh yang terlihat elegan.

"Dia di sini?"

"Benar tuan."

Manager mengetuk pelan pintunya. Setelahnya sama sekali tidak mendapatkan balasan apapun.

Sang manager langsung pucat. Laki-laki setengah baya itu bahkan tidak berani menatap sosok Mahesa lebih dari satu detik. Tangannya bergetar pelan, nyaris kembali mengetuk pintunya.

Namun Mahesa langsung membuka suara dengan cepat. Ia memerintahkan pengawalnya untuk membuka pintu dengan paksa. Tidak ada yang berani menahannya.

Brakk...

Pintu itu terbuka lebar. Mahesa terdiam beberapa saat. Maniknya menatap datar ke depan. Dimana sosok yang ia kenali sedang menikmati cairan yang berwarna keemasan dari gelas kaca yang ada dalam cengkraman tangannya.

Di sampingnya sudah berjejer beberapa wanita dengan pakaian super seksi yang tidak berhenti menggoda sosok Rian yang sudah setengah sadar.

Mahesa mengangkat tangannya. "Tinggalkan kami di sini," serunya tegas.

"Ba-baik tuan."

Sang manager dan juga para wanita yang tadi mengerumuni Rian langsung bangkit dan menyingkir dengan cepat.

Mereka menunduk ketika melewati Mahesa.

"Hay... ma- mau kemana kalian, hik. Kembali ke sini, hik. Aku tidak ingin minum sendirian." Rian meracau tidak jelas. Tangannya menggapai-gapai udara kosong.

Mahesa memperhatikannya dengan jengah. Laki-laki itu menghela nafas pelan. Berbalik menatap pengawalnya.

"Kalian pergilah juga. Berjaga di depan saja."

"Baik, tuan."

Setelah kepergian semua orang. Mahesa menutup pintu ruangannya. Laki-laki itu melangkah cepat menghampiri sahabatnya.

"Ck, kau membuat wanitaku kabur, hik."

"Kau membawa wanitaku, hik. Jahat kau. Aku ingin membunuhmu, hik."

Rian bergumam tidak jelas lagi. Ia menggapai gelas kacanya.

Sementara Mahesa sama sekali tidak menanggapinya dengan serius. Laki-laki itu membantu Rian menuangkan minuman ke gelasnya lagi.

"Penghianat," gumamnya lagi.

Mahesa menghela pelan. Ia menatap raut sahabatnya yang terlihat sedikit sadar.

"Kau ke sini lagi." Mahesa berseru pelan.

Rian mengeling tidak jelas. Ia hanya bergumam samar dan kemudian menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa.

Matanya masih melotot, menatap langit-langit dengan pandangan kosong.

"Ada masalah lagi?"

Rian mendengus pelan. "Masalahku tidak berubah. Masih tetap sama seperti dulu."

Mahesa terdiam. Kali ini ia menuangkan cairan kuning itu ke gelas kosong. Menatapnya beberapa saat sebelum meneguknya dengan perlahan.

Sensasi membakar langsung menyapa di tenggorokannya. Terasa pahit, namun membuatnya terbiasa dengan perlahan lahan.

"Kau bermasalah dengan ayahmu lagi?" Mahesa bertanya.

"Jangan sebut dia ayahku. Dia hanya laki-laki brengsek."

"Dia masih ayahmu, Ian."

Rian mengeling. Ia kembali meneguk minumannya sampai habis.

Takk...

Rian tersenyum kecut. "Bagiku dia hanya seorang penghianat yang merebut kebahagianku. Dia pembunuh, semua kebahagiaanku sudah mati di tangannya."

Mahesa menghentikan kegiatannya. Laki-laki itu mengerutkan alisnya beberapa saat sebelum menghela nafas pelan.

Ia mengetahui jelas apa yang dimaksud oleh sang sahabat. Semuanya.

Fakta permusuhan Rian dan ayahnya hanya karena seorang perempuan yang bahkan menurut Mahesa tidak patut untuk diperjuangkan sedemikian rupa.

Mahesa membencinya. Karena wanita itu, sahabatnya mengalami kehidupan sulit dalam ilusi.

Mahesa tidak bisa melakukan apapun. Rian bahkan tidak mengijinkannya bertindak walau hanya seujung jari.

"Aku dari apartemen sky." Rian membuka suaranya. Kali ini terdengar jelas sekaligus menyedihkan.

"Aku tau ini tidak akan berhasil. Tapi kenapa setiap kali aku melihat semuanya. Rasa itu masih terasa sakit."

Mahesa meletakkan gelasnya. "Tidak bisa kau kau mencari yang lain. Wanita tidak hanya dia seorang."

Rian mengeling. "Kau." ia terkekeh, "Kau yang tidak pernah mengalaminya mana bisa mengerti apa yang aku rasakan."

"Aku punya istri."

"Dan kau tidak mencintainya. Fakta itu sudah jelas." Rian menjawabnya. "Kau mungkin akan mengerti jika suatu saat ada wanita yang menarik perhatianmu lebih dari segalanya, dan kau jatuh cinta padanya."

Mahesa tertawa pelan. Suaranya bahkan menguar di dalam ruangan itu. Pandangannya lurus ke depan. Menatap Rian yang tengah menceramahinya dengan keadaan setengah sadar.

"Kau mengejekku?"

Mahesa mengeling. "Tidak, bukan begitu. Hanya saja itu lucu."

Rian terdiam. Alisnya mengerut. Menunggu reaksi selanjutnya dari sang sahabat.

Mahesa menghentikan tawanya. Laki-laki itu kembali dengan raut datarnya.

"Aku tidak akan jatuh cinta. Kata itu tidak akan pernah terjadi padaku, selamanya."

To be continued....