-Terjebak Menjadi Simpanan-
Kirana mengerutkan alisnya saat pemikiran tentang si bos terlintas begitu saja. Bayangan itu menghilang ketika sang kekasih memanggil namanya dari kejauhan.
Kirana menoleh. Bibirnya tersenyum saat menatap sosok Rafael yang tengah berlari ke arahnya.
"Sorry, telat ya. Sudah lama menungguku?" Rafael bergumam pelan.
Kirana mengeling. Ia tersenyum kecil. Melupakan kesalahan kekasihnya yang terlambat datang.
"Baru saja. Bosku menyuruh semua pelayan untuk membersihkan ruang penyimpanan sebelum kami pulang."
Kirana berbohong. Jelas wanita itu menunggu di luar selama setengah jam lamanya. Berdiri seperti orang bodoh di tengah kegelapan yang dingin. Berharap cemas sambil terus menatap arloji dan ponselnya.
"Syukurlah. Aku pikir kau sudah lama menungguku."
"Tidak kok."
Rafael tersenyum kecil. Jari-jarinya terulur, mengusap pelipis dan menyingkirkan anak rambut yang terlepas dari ikatannya.
"Aku pikir kau sudah pulang. Sorry, aku terlalu sibuk di kantor. Kami nyaris lembur hari ini."
"Aku paham kok." Kirana menenangkan.
"Kalau begitu, ayo pulang. Ini sudah sangat malam."
Rafael menuntun Kirana ke mobil. Laki-laki itu membukakan pintunya dengan elegan.
"Masuklah Tuan Putriku," godanya.
Kirana terkekeh pelan. Pipinya merona hebat, nyaris mirip seperti kepiting rebus yang baru diangkat dari api.
Malu dan tersipu bercampur aduk menjadi satu di dalamnya. Kirana menundukkan wajahnya. Menyembunyikan senyuman kecil di bibir merahnya.
Kirana tengah dimabuk cinta. Wanita itu bahkan melupakan rasa curiganya tadi siang tentang sang kekasih. Rasa bahagianya saat ini menghapus semuanya.
Namun semua itu hanya sementara.
Tepat ketika Kirana memasuki mobil sang kekasih. Senyumannya langsung terhenti. Alisnya mengerut.
'Apa ini.'
Ada aroma lain yang menguar tepat ketika pintunya terbuka. Perasaannya langsung bergejolak tidak nyaman.
Dadanya bergemuruh. Sangat tidak nyaman. Seolah firasat buruk tentang kecurigaan kembali muncul setelah sempat menghilang tadi.
Kirana mengenal aroma parfum Rafael, sementara yang tercium saat ini adalah aroma parfum wanita.
'Apa Rafael berselingkuh?'
Degh ....
Kirana mendongak. Wanita itu menatap sosok Rafael yang masih berjalan ke posisi kemudi. Ia terdiam, manik hitam itu membeku seketika ketika ia menyadari jika pakaian yang kekasihnya kenakan saat ini sama persis seperti di dalam foto yang Nita perlihatkan.
'Apa artinya Rafael benar-benar membohonginya? Tidak ada rapat dadakan, dan tentu saja tidak ada lembur.'
Brakk ...
Rafael menutup pintu mobilnya. Laki-laki itu menghela nafas pelan kemudian menatap Kirana yang sedikit aneh.
"Kenapa menatapku seperti itu?"
Kirana tidak langsung menjawab. Ia terdiam beberapa saat, berusaha agar pikirannya setenang mungkin.
"Kirana, bumi memanggil," seru Rafael setengah bercanda.
Kirana menghela pelan. Sebelum kembali menatap sang kekasih. "Apa hari ini kau bertemu seseorang di luar?"
Rafael terdiam. Laki-laki itu mengerutkan dahinya. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
"Di Mall."
Degh ....
Walau samar, Kirana bisa melihat perubahan yang terpatri di wajah sang kekasih. Belum lagi dengan cengkramnya yang seolah ingin menghancurkan pinggiran stir.
Rafael tersenyum lirih. Laki-laki itu mengeling, "Aku tidak mengerti apa yang kau maksud, Kami tidak melakukan kunjungan keluar. Dengan kata lain aku tidak keluar kantor kecuali saat istirahat siang, itupun hanya sebentar. Kami rapat dadakan."
Kirana tidak mengatakan apapun. Wanita itu masih kokoh dengan pemikirannya. Ia merasa semakin ke sini, kecurigaannya semakin besar.
"Kenapa? Apa ada yang melihatku keluar?"
Kirana mengangguk dengan cepat. "Seseorang melihatmu bersama dengan wanita di Mall."
"Mungkin salah lihat, wajahku pasaran lo."
Kirana menggeram pelan. Wanita itu menahan rasa kesalnya, rasanya seperti benar-benar dibohongi mentah-mentah. Perkataan sang kekasih seperti sedang menyalahkan Nita yang merupakan sumber informasinya.
Kirana tidak tau kenapa ia merasa jika Rafael saat ini bukan sosok Rafael yang ia kenal di tiga tahun terakhir. Cara bicaranya, senyumannya, dan bahkan cara ia memberi alasan.
Jelas terdengar tidak tulus di telinganya.
Kirana memejamkan matanya, menurunkan jendela mobilnya dengan perlahan. Ia membiarkan udara malam menerpa wajah telanjangnya.
Lagi, aroma parfum wanita itu menguar, berputar sebelum perlahan menghilang di bawa angin malam.
Kirana membuka matanya. Manik hitam itu bertatapan langsung dengan sosok sang kekasih yang saat ini juga tengah menatapnya bimbang.
"Kirana, aku-"
"Aku tidak suka aroma parfum ini Raf. Menciumnya membuatku berpikir ada wanita lain yang kau bawa sebelum ini."
Degh ...
Rafael terdiam, wajahnya nyaris sepucat kertas dalam beberapa saat. Sebelum ia menghela napas berat.
"Ini parfum kakaku. Dia berkunjung ke rumah beberapa hari ini. Kau kenal Kak Monica bukan. Mungkin ia menggunakan mobilku sebelumnya."
"Apa kau sedang berbohong?"
Rafael terkekeh pelan. Laki-laki itu mengeling sambil masih menyunggingkan bibirnya.
"Apa saat ini kekasihku sedang meragukan semua perkataanku?"
Rafael melepaskan cengkramannya dari seteran. Mengusap lengan Kirana dengan lembut.
"Dengar, aku tidak tau apa yang terjadi padamu. Kau terlihat aneh Kirana, jujur." Rafael berseru lembut. "Apa karena aku terlambat menjemput? Sorry."
Kirana menepis pelan, "Ayo jalan. Ini sudah malam."
Kirana memalingkan wajahnya. Wanita itu lebih memilih menatap pemandangan malam yang gelap dibandingkan menatap wajah sang kekasih. Ia menggigit bibirnya.
Rafael menghela napas berat. Laki-laki itu menyalakan mobilnya, memutari area parkir sebelum melaju ke jalan raya.
Tidak ada lagi yang membuka suara. Baik Rafael atau pun Kirana. Masing-masing sibuk dengan pemikiriannya sendiri. Perjalanan berubah menjadi hening seketika. Hanya ada suara hewan malam yang bercampur dengan deru kendaraan lain di luar.
Tidak ada yang berniat memberi penjelasan. Sampai mobil mereka menelan dan berhenti tepat di sebuah rumah kecil dengan halaman berumput yang tidak rapi sama sekali.
Kirana tersadar. Wanita itu melepaskan safety beltnya. Mengambil tas dan berniat langsung turun dari mobil.
"Kirana, please..." Rafael menahan lengannya.
Kirana tidak suka dengan suasana seperti ini. Ia menghela, menoleh dengan enggan.
"Raf, aku mau pulang."
"Aku tau." Rafael berseru. "Jangan diamkan aku seperti ini, aku tidak suka. Jika ada yang ingin kau katakan, katakan saja. Tapi jangan diam, kemarahanmu jauh lebih baik."
Kirana mengangguk. Wanita itu kembali menepis cengkraman sang kekasih. "Beri aku waktu Raf, ini semua berat. Aku merasa kau berubah."
"Aku tidak berubah. Aku masih Rafael yang kau kenal Kirana. Aku kekasihmu."
Kirana mengeling. Wanita itu menggigit bibirnya beberapa saat. "Pikirkanlah kembali apa yang kau lakukan Raf. Aku merasa kau sedang berbohong padaku."
Degh ...
Kirana turun dengan cepat dari mobil Rafael. Namun laki-laki itu mengejarnya dengan langkah cepat.
Rafael kembali memegang tangannya. "Kirana, tunggu."
"Lepaskan."
"Apa ini karna ibuku? Apa ada yang ibuku katakan saat pertemuan kalian?"
Kirana mengeling, ia menunduk. Mengingat ibunya Rafael kembali mengingat lukanya. Pikirannya saat ini benar-benar tidak stabil. Rasa sakit, kecewa, cemburu dan ketidakpercayaan bercampur aduk menjadi satu.
"Raf, please. Beri waktu aku berpikir. Tolong pergilah sebelum kakakku datang."
To be continued....