-Terjebak Menjadi Simpanan-
"Pertanggung jawaban?"
Nina mengangguk, "Dia menabrakmu bukan? Kau juga jadi sakit. Atau kau minta saja dimasukkan ke salah satu cabang perusahannya sebagai karyawan. Jangan hanya menjadi pelayan di restoran kecil. Anggap saja itu sebagai-"
"No!! Kak Nina dengar. Ini sama sekali tidak ada hubungannya. Sakit ini karena kecerobohan Kirana sendiri. Lagi pula tidak etis meminta hal seperti itu pada orang yang bahkan tidak melakukan kejahatan apapun untuk bertanggung jawab."
Kirana menjelaskan dengan runtut. Setelah di pikir-pikir lagi, ia akan malu jika meminta hal seperti itu.
"Lagi pula bekerja di restoran bukan tujuan Kirana. Itu hanya sebagai pekerjaan sementara sebelum ada panggilan dari lamaran ke perusahaan," jelasnya lagi.
Nina mengangguk paham. Wanita itu mengangkat bahunya. Tidak lagi menuntut sang adik.
"Ya, memang lebih baik seperti itu. Berhubungan dengan orang seperti mereka tidak akan mendatangkan keberuntungan. Kita hanya akan dihina dan menderita. Hidup juga tidak akan tenang."
Setelah mengatakan itu sang kaka bangkit dari tempat duduknya.
"Istirahatlah hari ini. Minum obat juga. Kaka akan memintakan izin ke tempat kerjamu."
"Kaka mau kemana?"
Nina menoleh sebentar, sebelum ia menghela nafas panjang. "Kemana lagi. Kaka bekerja."
"Kenapa siang? Kirana pikir kaka cuti karena Kaka masih di rumah jam segini. Memangnya bos kaka tidak akan marah?"
Nina mendenggus. Kali ini ekspresinya lebih mencair dibandingkan tadi. "Kau sakit tadi. Lagi pula bos Kaka tidak akan marah, toh jam kerja Kaka diganti akhir-akhir ini." Nina berseru tanang.
Wanita itu langsung pergi ke kamarnya. Meninggalkan Kirana yang menatap bingung punggung sang kaka sebelum menghilang di balik pintu.
Kirana menghela nafas panjang. Wanita itu mengerutkan dahinya, berpikir pelan. Ia tidak terlalu tau tentang apa yang kakanya lakukan. Tapi ia berusaha berpikir positif.
'Semuanya baik-baik saja seperti yang kakanya katakan.'
Kirana mengambil remot televisi. Ia terlalu malas untuk kembali ke kamarnya meski kepalanya masih pening.
Matanya sedang terpejam ketika televisi menyiarkan tentang pewaris pengusaha terbesar di negara ini. Kirana tidak membuka matanya dalam beberapa saat sampai suara kakanya terdengar.
"Dia itu Mahesa Danaswara."
Degh ....
Kirana langsung membuka matanya begitu sang kaka mengatakan nama Mahesa. Nama itu tidak asing lagi untuknya. Mengingat nyaris sepanjang malam dan siang ini nama itu selalu disebutkan.
"Kenapa dengan Mahesa Danaswara?" tanya Kirana.
Nina mengerutkan alisnya bingung. "Bukannya kau sedang menonton tentangnya?" ia mengangkat jarinya. Menunjuk ke arah televisi yang ditonton Kirana.
"Eh?"
Kirana langsung menoleh, dan benar saja. Siaran yang ia tonton tengah membicarakan sosok laki-laki angkuh yang ia kenali sebagai Mahesa.
"Dia pewaris Danaswara Grub."
"Pewaris?"
"Tuan Mahesa Danaswara adalah satu-satunya putra dari Tuan Adrian Danaswara, pemilik Danaswara grub. Tentu saja dia akan mewarisi semua kekayaan dan kedudukan ayahnya."
Kirana memang mendengar tentang Mahesa dari Nyonya Claudya. Tapi ia tidak ingat jika Mahesa itu pewaris satu-satunya Danaswara grub. Pantas saja Nyonya Claudya begitu membanggakan menantunya itu.
"Hebat sekali," gumamnya.
"Begitulah. Kartu nama yang kau dapat itu mungkin salah satu sekretaris petinggi Danaswara Grub."
"Bagaimana jika itu kartu namanya sekretaris Tuan Mahesa?"
Nina langsung tertawa kencang ketika mendengar pernyataan Kirana. Wanita itu mengeling beberapa kali sebelum ia menghela napas, menghentikan tawanya.
"Jangan terlalu bermimpi. Tuan Mahaesa bukan orang yang bisa ditemui dengan mudah. Jelas kartu nama itu bukan milik sekretarisnya."
"Bisa saja kan. Namanya juga kebetulan."
Nina masih mengeling. "Bertemu dengan sekretaris salah satu petinggi saja sudah keajaiban."
Kirana meringis tidak suka. Namun wanita itu menyembunyikan dengan tenang. Kakanya mungkin akan pingsan jika mengetahui ia berpacaran dengan laki-laki kelas atas seperti Rafael Atmaja. Apalagi jika ia mengatakan yang ditemuinya malam itu adalah Mahesa Danaswara dan juga sekretarisnya. Kakanya mungkin akan mati berdiri.
"Sudahlah. Jaga kesehatan. Kaka pergi dulu."
Kirana hanya mengangguk sambil menatap punggung sang kaka yang menghilang di balik pintu depan.
"Pantas saja angkuh. Pewaris grub besar rupanya," gumam Kirana ketika mengingat sikap laki-laki di dalam mobil itu tadi tadi malam.
****
"Kapan kau pulang?"
Wanita dengan gaun krim gelap tengah menatap suaminya yang sedang mengenakan kemeja di walk in closet. Ia mendekat, berniat memasangkan dasi untuk sang suami.
"Kenapa kau bertanya?"
Laki-laki yang berstatus suaminya itu menjawab dengan ketus dan dingin.
"Mahesa, please. Bersikaplah baik padaku, kita sedang berada di kediaman orang tuaku."
Laki-laki bernama Mahesa itu menoleh. Ia hanya terdiam sambil melanjutkan kegiatannya sendiri, seolah tidak ada yang sedang bicara dengannya.
"Mahesa!"
"Diam Monica. Di sini kaulah yang seharusnya jaga sikap. Kau pikir dengan berteriak seperti itu mencerminkan sikap wanita berkelas." Mahesa mengeling sambil menatap datar sang istri.
"Kau sama kanakannya dengan Emily. Jangan pikir jika kita berada di rumah orang tuamu, kau bisa bertingkah seolah kau istri yang baik," lanjutnya.
Degh ...
Monica menggeram tidak suka. Wanita itu mencekam erat dasi sang suami yang belum sempat ia pasangkan.
"Kenapa kau membandingkanku dengan sepupumu yang nakal itu. Kau pikir aku sama dengan remaja yang kerjanya hanya menatap ponsel setiap hari."
Mahesa tidak terlalu menggubris. Laki-laki itu hanya menghela napas, mengangkat bahunya, kemudian mengambil dasi lain.
Perlakuan acuh sang suami membuat Monica geram. Ini bukan yang pertama kalinya. Bahkan ketika mereka menikah beberapa tahun yang lalu sikap laki-laki itu sama sekali tidak berubah.
Terlalu dingin dan workaholic. Bahkan ia yang sudah menjadi istrinya lebih sering menghabiskan waktu bersama rekan sosialitanya dibandingkan dengan sang suami.
Mahesa sudah selesai berpakaian. Laki-laki itu berbalik, menatap sang istri yang menahan amarahnya.
Mahesa menghela nafas pelan. "Jangan terlalu menganggap ini tidak adil Monica, kau sendiri tau dimana kedudukanmu di hadapanku."
"Mahesa!" Monica memotong ucapan sang suami dengan cepat. "Kenapa kau mengungkit hal ini lagi. Orang tuaku bisa mendengarnya."
"Siapa yang peduli. Aku hanya ingin mengatakan dengan jelas dimana kedudukanmu yang sebenarnya. Jangan melampaui batas Monica, pernikahan kita hanyalah pernikahan politik. Begitu pula dengan statusmu. Kau istriku tapi jangan pernah berpikir jika aku bisa jatuh cinta padamu, ingat itu."
"Kenapa? Kenapa kau selalu seperti itu. Apa aku tidak pantas untukmu? Aku wanita yang paling sesuai untuk mendampingimu."
Mahesa mendengus pelan. Nyaris tidak ada yang mendengarnya kecuali dirinya sendiri.
"Aku tidak pernah jatuh cinta. Hatiku sudah mati. Satu-satunya yang kulakukan saat ini hanya menjalankan kehidupan seperti yang diharuskan."
Setelah mengatakan itu Mahesa langsung melangkah meninggalkan sang istri yang masih kesal di tempatnya semula. Tidak ada apapun sampai ia menghilang di balik pintu.
To be continued....