-Terjebak Menjadi Simpanan-
"Hacihh ...."
Kirana mengusap hidungnya untuk yang kesekian kali. Dahinya terasa hangat bercampur dengan pening di beberapa area.
"Pakai tisu. Jangan menyebarkan penyakit di area dapur."
Suara lain terdengar kesal ketika sedari tadi yang ia dengarkan hanya suara bersin dan bersin yang tidak berhenti.
Kirana menoleh. Bibirnya tersenyum jengkel ketika melihat wanita muda yang hanya mengenakan hot pants super pendek dengan kaos ketat yang membungkus tubuh putihnya.
Wanita itu kakaknya, Nina Safira.
Selisih usia keduanya hanya lima tahun. Belum lagi fakta jika Nina bukan saudara kandungnya. Nina adalah anak bawaan dari ibu tirinya ketika menikahi sang ayah.
Kirana tidak pernah mempermasalahkan itu. Mereka sudah hidup lebih bersama sedari kecil, dan sama sekali tidak pernah ada drama ibu dan saudara tiri seperti di drama dan novel.
Ibu dan saudaranya adalah segalanya bagi Kirana.
"Kau mendengarku?"
Kirana tersenyum kecut. Tanpa bicara lagi ia mengambil kotak tisu dan membawanya serta.
Nina mendenggus, ia melanjutkan kegiatannya yang tengah memotong buah kemudian membawanya ke ruangan tengah.
Kirana mengikuti di belakang dengan langkah gontai. Duduk tidak jauh dari kakaknya.
"Sepertinya aku sakit." Kirana berseru.
Wanita itu memikirkan keadaan tubuhnya yang tidak biasa sejak ia bangun tidur. Hawa dingin pagi membuatnya menggigil lebih dari biasanya. Belum lagi dengan pandangan mata redup, nyaris linglung ketika bangun.
Suhu tubuhnya meningkat hingga lebih dari tiga puluh delapan derajat celcius disertai keringat dingin di pelipisnya.
Nina mengerutkan sebelah alisnya sambil memakan potongan buah.
"Kau lebih mirip zombie sekarat dibandingkan orang sakit."
Kirana mendenggus. "Yang benar saja."
Nina mengangkat bahunya. Wanita itu bangkit, Kirana mengamatinya tanpa minat sampai kembali dengan membawa cermin kecil.
"Lihat saja sendiri." Nina berseru.
Kirana menerimanya. Wanita itu meraih cermin, menatap wajah pucatnya. Matanya berkedip-kedip tidak percaya.
Apa yang kakaknya katakan benar. Ia jauh lebih mirip dengan zombie dibandingkan manusia. Bibirnya pucat, kering dengan mata bengkak akibat menangis bersama hujan. Rambutnya aut-autan, persis seperti orang gila tidak terurus.
Kirana menghela pelan. Ia menekan pelipisnya beberapa kali ketika rasa pening menderanya lagi.
"Tadi malam kau hujan-hujanan?"
Kirana mendongak. Nina meletakkan minuman hangat di atas meja tepat di depannya.
Kirana mengangguk membenarkan. Keduanya tidak bertemu tadi malam. Saat Kirana pulang hanya ada kucing kecil peliharaan tetangga yang numpang tidur di teras depan.
Kakaknya itu tidak pulang cepat. Mungkin nyaris tengah malam ketika ia tertidur. Itu sudah kebiasaan, dan Kirana tidak pernah menanyakannya sama sekali.
"Pacarmu tidak mengantarmu?"
"Rafael tidak bisa mengantarku. Ada kesibukan lain yang mengharuskannya untuk tidak meninggalkan rumah."
Kirana mengambil minumannya, menghirupnya perlahan mengingat itu sedikit panas.
"Memangnya tadi malam kau kemana?"
Kirana terdiam. Wanita itu langsung menghentikan kegiatannya. Meletakkan kembali gelas minum dan mendongak menatap sang kakak.
Kirana menimbang-nimbang, merangkai kalimat logis untuk menyembunyikan tentang apa yang terjadi di kediamaan Atmaja tadi malam, tentang penghinaan tersirat yang ia dapatkan dari Nyonya Claudya.
Ia tidak ingin kakaknya mengetahui semua penderitaannya. Wanita itu sudah cukup menderita, banting tulang untuk menghidupi Kirana dan ibunya. Membiayai sekolahnya hingga sarjana.
Kirana berdehem pelan, ia mengalihkan tatapannya ke tempat lain. Kemudian menunduk mengambil potongan buah. Ia tidak sanggup bertatapan dengan manik hitam kakaknya ketika berbohong.
"Hanya jalan-jalan di taman. Juga makan-makan," serunya pelan, nyaris tercekik suaranya sendiri.
"Kalian hujan-hujanan di taman?"
Kirana langsung mengeling. "Bukan begitu. Saat menunggu taksi yang Rafael pesan hujan turun."
Nina mengangguk paham. "Baguslah, hubungi pacarmu katakan kalau kau sakit. Bagaimanapun ia harus bertanggung jawab. Pacar mana yang meninggalkan pacarnya sendiri di luar sampai kehujanan."
Kakaknya menggerutu pelan. Sejak awal wanita itu terlalu protektif terhadap adiknya sendiri.
"Itu bukan salahnya."
"Kau membelanya? yang benar saja. Jika dia gentle seharusnya ia memastikan kau baik-baik saja sebelum kembali pulang."
Kirana mengeling. Wanita itu bangkit, mengambil ponselnya yang masih tercolok di chargernya.
"Ah, ngomong-ngomong aku menemukan kartu nama di celanamu saat mencuci tadi." Nina berseru lagi.
Kirana menghentikan langkahnya, berbalik dengan wajah bingung seraya berpikir.
"Kartu nama?"
Nina mengangguk. Wanita itu mengambil sebuah kertas kecil kemudian meletakkannya di atas meja, "Dimana kau mendapatkannya? Ini kartu nama yang tidak bisa di dapatkan sembarang orang."
Kirana mendekat. Manik hitamnya mengamati kartu nama yang dimaksud kakaknya.
"Ah, itu. Seseorang memberikannya kemarin." Kirana ingat ketika melihat latar hitam dan tulisan emas yang sedikit familiar di dalam ingatannya, berhubung ia mendapatkannya baru-baru ini.
"Siapa? Ini kartu nama eksklusif yang hanya orang kelas atas yang berbisnis dengan berurusan dengan mereka yang memilikinya."
Ekspresi yang dipancarkan oleh kakaknya itu sangat tidak biasa. Lebih terkesan marah dibandingkan penasaran.
Kirana tidak tau harus mengatakan apa. Wanita itu cukup bingung ketika mendapati kakanya tau banyak tentang kalangan atas, padahal kakanya itu hanya karyawan biasa di suatu perusahaan tidak terkenal.
"Ini kartu nama milik sekretaris dari Danaswara grub. Orang itu terlalu tidak mungkin bisa berhubungan denganmu, apalagi sampai memberikan kartu namanya." Nina kembali berseru.
"Danaswara Grup? Sekretaris, maksud Kaka apa?"
Kirana tidak terlalu mengerti apa yang dikatakan kakaknya. Pikirannya mulai tidak nyaman. Apalagi nama Danaswara sedikit tidak asing di telinganya.
'Menantu Nyonya Claudya.'
Deg ...
Kirana langsung ingat jika wanita yang menghinanya malam tadi beberapa kali mengungkit tentang sosok anak dan menantunya yang kaya raya.
'Mahesa Danaswara.'
Kirana menggeram pelan. Jika yang dikatakan kakaknya itu benar tentang sekretaris besar Grup Danaswara, itu artinya laki-laki angkuh yang berada di mobil itu adalah sosok Mahesa Danaswara sendiri yang merupakan salah satu petinggi Danaswara Grub.
"Astaga," Kirana berseru cepat.
Wanita itu menutup wajahnya, menahan kesal sekaligus malu ketika mengingat ia bahkan mengumpati sosok di dalam mobil itu tadi malam. Rasanya masuk akal jika laki-laki itu adalah menantu Nyonya Claudya.
Jalan yang dilewati mobil itu tadi malam adalah jalan menuju kediaman mewah keluarga Atmaja.
"Kau baik-baik saja? Kenapa berteriak?" Nina berseru bingung.
Wanita itu mendekat, mencekam pelan kedua pundak Kirana seraya menatapnya dengan penuh kasih sayang. "Kirana, katakan pada Kaka. Apa yang terjadi?"
Kirana menghela nafas panjang. Wanita itu menggigit bibirnya beberapa kali sebelum ia mulai menceritakan tentang kejadian memalukan yang nyaris tertabrak mobil karena melamun.
Nina mengangguk paham. Wanita itu sekali lagi melihat kartu nama tidak biasa yang tergeletak di atas meja itu. Alisnya mengerut beberapa kali sebelum menatap Kirana lagi.
"Jadi sekretarisnya sendiri yang memberimu kartu namanya?"
Kirana mengangguk, "Katanya bosnya yang menyuruh sebagai bentuk tanggung jawab."
"Lalu kenapa kau tidak minta saja pertanggung jawabannya."
To be continued....