-Terjebak Menjadi Simpanan-
Kirana tidak bisa mengatakan apapun meski jauh di dalam dadanya telah bergejolak hebat. Ditambah lagi ketika sang kekasih menarik diri untuk mengantarnya, dengan alasan orangtua.
Kirana bukan orang bodoh yang tidak melihat perubahan reaksi sang kekasih ketika mobil putih mengkilat itu melintasi mereka. Pasti ada sesuatu yang berkaitan dengan pemilik mobil putih itu.
"Kirana?"
"Eh?"
Kirana tersentak kaget. Wanita itu menoleh ke samping, menatap Rafael yang menunggu jawabannya seraya berdiri di samping mobil setengah terbuka.
Kirana tidak langsung menjawabnya. Wanita itu menatap lurus, dimana mobil putih itu berhenti.
Samar-samar ia melihat seorang wanita dengan gaun biru malam turun dari mobil itu. Kirana mengerutkan alisnya beberapa saat, mencoba mengenali siapa itu, mengingat saat ini sedang gerimis. Pandangannya menjadi tidak terlalu jelas.
Kirana menghela nafas panjang. Wanita itu tersenyum kecil, mengangguk, membiarkan Rafael pergi kali ini.
"Maaf, Kirana. Bukan maksud aku-"
"Aku baik-baik saja, lagi pula ini belum terlalu malam."
"Aku pesankan taksi online ya." Rafael berseru cepat.
Laki-laki itu mengotak atik ponselnya beberapa saat, sebelum kembali menatap sang kekasih dengan raut menyesal.
Kirana keluar dari mobil, membungkuk ketika Rafael membuka kaca jendela mobil. Laki-laki itu mencondongkan kepalanya.
"Taksinya sudah kupesan, hati-hati saat pulang ya."
Kirana mengangguk lirih, "Terimakasih Raf, aku akan pulang dengan selamat."
"Hubungi aku ketika sudah di rumah."
Setelah itu mobil yang Rafael bawa melaju menuju pintu gerbang, kemudian berhenti tidak jauh dari mobil putih tadi.
Kirana menekan dadanya. Rasa tidak nyaman itu semakin menjadi-jadi. Bahkan ia tidak tau kenapa. Perasaannya sudah campur aduk setelah menyadari penolakan keluarga sang kekasih.
"Apa semuanya baik-baik saja?" gumamnya pelan.
Mengingat kejadian di kediaman Atmaja tadi, mungkin hubungannya dengan Rafael tidak akan berjalan semulus yang ia pikirkan. Jelas sekali perbedaan itu terasa sangat kuat.
Kirana memejamkan matanya. Membiarkan kesedihannya tumbuh bersama airmata yang sedari tadi ia tahan. Tetesan rintik yang semakin besar membuat semua tersamarkan. Luluh nyaris mengambil semua kesedihan dan rasa kecewanya.
Kirana mencintai Rafael, sangat.
Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kelak jika hubungan mereka tidak berhasil.
'Apa ia bisa hidup tanpa Rafael?'
Degh ...
'Mungkinkah ia akan baik-baik saja ketika sumber kecerahan, mataharinya tidak lagi bersama dengannya?'
Kirana mengeling dengan cepat. Entah kenapa memikirkan itu semakin membuat dadanya sesak. Kesedihannya nyaris menenggelamkan kenyataan. Mengisi cahaya yang ia lihat menjadi sebuah kegelapan yang perih.
Setelah beberapa saat, Kirana bangkit, dia melangkah meninggalkan tempat itu dengan perasaan kacau. Netranya menatap lurus ke depan. Tubuhnya diam tanpa bisa merasakan dingin walaupun ia menerobos gerimis yang semakin deras menguar tempat itu.
Kirana berencana mencari tempat berteduh sampai taksi yang Rafael pesankan datang. Namun belum sempat ia menyeberang jalan. Sebuah mobil melaju dengan kencang ke arahnya.
Kirana tidak bergerak di tempat. Wanita itu merasa kagum dan syok di saat yang bersamaan. Bahkan ketika mobil itu berhenti mendadak tepat beberapa inci dari tubuhnya.
Seorang laki-laki keluar dari dalam mobil dengan tergesa-gesa. Menatap khawatir dari balik kacamata yang membingkai wajahnya.
"Anda baik-baik saja Nona?" serunya.
Kirana tidak langsung menjawabnya. Wanita itu masih dalam ilusi dan pemikirannya sendiri, terkejut.
"Err ... Nona? Apa anda baik-baik saja? Apa anda terluka?"
Kirana mengeling. Matanya masih melotot sambil merasakan jika jantungnya nyaris keluar. Wanita itu sempat berpikir jika ia kehidupan suka dukanya mungkin akan berakhir tadi. Semua rasa takut itu berkumpul, menciptakan perasaan lebih enak dibandingkan sebelumnya.
"Apa yang terjadi?" Suara lain muncul dari dalam mobil.
Kirana menoleh, mencoba melihat siapa yang tengah bicara, meski tetesan hujan semakin deras.
Laki-laki berkacamata yang menanyainya tadi langsung bergegas menghampiri.
"Tuan, kita baru saja hampir menabrak seseorang yang ingin menyebrang."
"Lalu, apa dia baik-baik saja? Kenapa tidak kau selesaikan dengan cepat, Aku sibuk."
Kirana mengerutkan dahinya pelan. Meski ia tidak melihat dengan jelas bagaimana rupa seseorang yang kini tengah duduk di dalam mobil itu. Tapi dari cara bicaranya sudah mewakili betapa menyebalkan orang itu.
"Saya berniat menanyai apa dia terluka, tapi Nona itu belum menjawab saya Tuan."
"Beri saja dia uang, masalah akan selesai. Jika dia bersikeras berikan dia nomormu dan selesaikan nanti setelah pertemuanku dengan orang rumah."
Laki-laki berkacamata yang Kirana tafsir sebagai kaki tangan laki-laki di dalam mobil itu mengangguk hormat, kemudian kembali menghampiri Kirana.
"Nona, kami ada kesibukan setelah ini. Tuan saya sudah terlambat ke pertemuan." Laki-laki itu berseru, ia mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya dan juga selembar kertas seperti kartu nama.
"Ini ada beberapa uang untuk pengobatan Nona, dan jika masih ada keluhan Nona bisa hubungi saya." serunya sambil menyerahkan kartu nama itu.
Kirana mengeling pelan. Wanita itu menolak seraya mengangkat tangannya. "Sa-saya baik-baik saja. Tidak ada yang terluka, anda jangan khawatir."
Laki-laki berkacamata itu terlihat sedikit ragu. Ia menghela nafas pelan, "Tuan saya tidak akan suka jika Nona menolak pemberiannya. Anggap saja ini sebagai rasa tanggung jawab."
Kirana masih mengeling. Ia merasa risih, di satu sisi laki-laki di dalam mobil itu terlihat angkuh walau masih mau bertanggung jawab dengan uang. Tapi tetap saja, Kirana semakin merasa jengkel jika mengingat betapa tingginya kedudukan seseorang hanya dilihat dari uang.
"Saya tidak akan memperpanjang, tuan anda pasti ingin kesalahpahaman ini cepat selesai bukan?" Kirana berseru.
Laki-laki berkacamata itu kembali menghela pelan. "Baiklah, tapi anda simpan kartu nama saya. Jika Nona ada keluhan anda bisa menghubungi saya. Tuan saya akan membantu Nona berobat jika terjadi keluhan."
Kirana mengangguk pelan, ia mengambil kartu namanya dengan perasaan bingung. Tidak ada yang akan terjadi setelah ini, mengingat ia sama sekali tidak tertabrak, bahkan tergores pun tidak.
Lagi pula itu juga kesalahannya yang tidak merespon apapun ketika menyebrang jalan. Tapi karena laki-laki itu memaksanya, maka tidak ada pilihan lain bagi Kirana.
Setelah semuanya selesai, mobil hitam mewah itu melaju meninggalkan Kirana yang terdiam mengamati. Manik hitamnya bisa menangkap sedikit lebih jelas seseorang yang berada di dalam mobil itu.
Tampilannya gagah dengan jas rapi dan juga posisi duduk yang tegak, menatap ke depan dengan dingin.
Kirana menyipitkan matanya. Alisnya mengerut beberapa saat.
"Dia tidak terlalu tua, mungkin seusia dengan ka Nina, tapi kenapa sangat dia angkuh," gumamnya.
Kirana mengangkat bahunya acuh. Wanita itu memasukkan kartu nama yang diberikan tadi ke dalam saku celananya. Kemudian bergegas mencari tempat berteduh, menunggu taksi online yang akan menjemputnya.
To be continued....