-Terjebak Menjadi Simpanan-
Drama, film dan juga dongeng selalu menceritakan kisah cinta indah dari dua makhluk yang berbeda. Tidak ada yang tidak bisa disatukan oleh cinta. Bahkan pasangan dari dua alam yang berbeda pun tidak luput dari campur tangan cinta yang indah.
Happy ever after ...
Tapi Kirana sadar jika kehidupannya bukan sebuah dongeng pengantar tidur atau drama yang selalu berakhir happy end.
Di dunia ini memang ada real cinderella, tapi tidak dengan mertua yang mau menerima kekurangannya karena bukan berasal dari kalangan atas.
"Tante bukan mau nolak Kirana, bukan. Cuma anak Tante, Rafael itu sukanya sama orang lain. Anak teman Tante juga, pinter, lulusan kedokteran di luar negri. Beda kelas lah sama Kirana."
"Harusnya Kirana bercermin. Rafael itu terlalu luar biasa buat kamu yang hanya seorang pelayan di restoran kecil. Anak tante itu cocoknya dengan anak konglomerat juga."
"Liat anak Tante Monica. Posisinya sebagai menantu keluarga Danaswara bukan karena keberuntungan, tidak. Itu karena anak Tente memang pantas berada di puncak tertinggi sebagai Nyonya Mahesa Danaswara."
Kirana masih diam. Wanita itu semakin menunduk. Tentu saja, semakin kesini semakin jelas penolakan dan juga makian yang ia dapatkan.
Kirana ingin menangis rasanya jika langkah kaki tuan Aris terdengar mendekat.
Kirana tidak berani mendongak. Ia hanya melihat dari ujung matanya.
"Rafael terjebak macet, padahal sudah dekat katanya." tuan Aris berseru pelan. Laki-laki itu duduk kembali di tempatnya.
"Macet? Aduh, lama pasti ini." Nyonya Claudya berseru setengah pura-pura.
Wanita itu melirik Kirana dalam beberapa saat. Tersenyum palsu.
"Kirana mau nunggu aja atau langsung pulang? Tante gak tau lo selama apa Rafael terkena macet. Takutnya nanti Kirana kemalaman pulangnya, kan kasian."
Degh...
Kirana mendongak, tersenyum kecut sambil menahan rasa sakitnya. Wanita itu berusaha agar suara yang keluar bukan berupa cicitan kecil dan tertahan. Dia benar-benar diusir secara halus.
Andai saja ponselnya masih menyala, ia tidak akan menunggu kabar dari sang kekasih.
"Ki-kirana langsung pulang saja Tante."
"Bagus itu. Kasihan kan Kirana kemalaman. Tante jadi khawatir ini."
Kirana langsung bangkit. Ia nyaris terjatuh kembali ketika kakinya bergetar hebat.
"Langsung pulang? Rafael sudah hampir sampai ini." tuan Aris berseru bingung.
Dari kedua orang tua Rafael, Kirana mendapatkan tekanan batin dari Nyonya Claudya. Sedangkan untuk ayah Rafael, tuan Aris tidak terlalu banyak bicara.
Laki-laki paruh baya itu juga tidak terlalu berusaha mengusirnya seperti sang istri. Hanya saja rasa segan lebih mendominasi.
Kirana tersenyum canggung dan mengangguk. Rambut setengah basahnya nyaris kering oleh ketegangan.
"Papa ini bagaimana, ini sudah malam. Anak gadis tidak boleh pulang malam-malam, takutnya bahaya. Kalau Kirana menunggu Rafael nanti kemalaman."
Tuan Aris mengerutkan alisnya pelan. "Kan bisa di antar sama Rafael."
"Pa!!"
Nyonya Claudya berteriak kasar. Kirana tersedak pelan. Jelas sekali jika wanita itu ingin cepat-cepat mengusirnya. Tanpa memberi kesempatan untuk ia bertemu dengan Rafael.
"Err ... saya langsung pulang saja Om, Tante."
Kirana tidak lagi mendengar perdebatan kedua orang tua Rafael. Wanita itu sudah bertekat menyakinkan dirinya sendiri. Keluar dari tempat ini adalah sebuah tindakan yang paling benar.
Kirana menghela nafas panjang. Wanita itu mengusap air matanya. Tangis pelan mulai terdengar lirih telat setelah ia keluar dari hunian mewah keluarga Atmaja. Membawa rasa sakit dan rasa sesak di dadanya.
Di saat bersamaan sorot lampu mobil menyilaukan pandangannya. Kirana terdiam, menyipitkan matanya sampai mobil itu berhenti tepat beberapa meter di depannya.
Seorang laki-laki tinggi yang mengenakan kemeja putih turun dari mobil hitam itu.
"Kirana."
"Rafael?" gumam Kirana.
Wanita itu menajamkan pandangannya. Menatap sosok laki-laki yang kini berlari mendekat. Sampai kirana bisa mengenali sosok itu.
Kirana tidak bergerak sedikitpun. Wanita itu hanya menunggu sang kekasih mendekat.
"Mau kemana?" Rafael berseru. Alisnya mengerut pelan. Rambutnya tampak basah terkena rintik-rintik hujan yang mulai turun kembali.
Kirana kembali menggigit bibir bawahnya. Berusaha menahan isakan yang mungkin akan keluar saat menatap sang kekasih.
"Kirana."
Rafael mendekat. Laki-laki itu mengulurkan tangannya. Menyelipkannya di pipi sebelah kiri, mengusap dengan lembut.
Pandangannya lirih. "Ada apa? Kau sudah bertemu orang tuaku?"
Kirana mengangguk. Ia tidak bisa mengatakan jika ia diusir secara halus oleh sang Nyonya rumah.
Namun melihat ekspresi Rafael yang tampak khawatir membuat ia mengurungkan niatnya itu.
Kirana mengeling pelan. "Sudah."
"Apa yang terjadi? Tadi ayahku menghubungi. Katanya kau datang sendirian saat aku terjebak macet."
Kirana kembali mengeling. "Tidak apa-apa, aku hanya ingin pulang."
"Pulang? Secepat ini. Aku baru sampai."
Kirana mengangguk. "Sudah malam, Raf. Kak Nina akan khawatir."
Rafael tidak langsung bereaksi. Laki-laki itu menyipitkan matanya beberapa saat sebelum helaan nafas panjang terdengar.
"Ada yang kau sembunyikan? Kau terlihat gugup."
Kirana tersedak ludahnya sendiri. Wanita itu mencekam ujung-ujung pakaiannya. Rasa gugup bercampur aduk.
Jika ia mengatakan perlakuan yang baru saja ia dapatkan, mungkin Rafael akan bertengkar dengan keluarganya, dan itu membuatnya sedih.
Walau bagaimanapun, keluarga Rafael adalah segalanya bagi sang pacar. Kirana tidak ingin menjadi penghalang apalagi menjadi pengadu yang membuat hubungan keluarga itu merenggang.
Kirana tersenyum canggung. "Aku baik-baik saja."
Rafael tidak mengubah ekspresinya. "Kau baru saja menangis?" jari-jemarinya mengusap sisa-sisa airmata yang sempat mengenang di pipi Kirana sebelum wanita itu menepis lembut.
"Aku baik-baik saja. Ini hanya kelilipan. Percayalah."
Rafael menghela nafas panjang. "Baiklah. Aku antar, ini sudah malam. Tidak ada bus semalam ini," serunya.
Kirana mengangguk pelan.
Tepat setelah itu sorot lampu lain datang dari arah depan. Rafael terdiam beberapa saat sambil menyipitkan matanya.
Walau tidak terlalu jelas, Kirana bisa melihat perubahan pada sang kekasih. Tubuh Rafael menegang. Manik hitamnya menatap lurus ke arah mobil yang baru saja melewati mereka.
Kirana tidak tau apa yang terjadi. Hanya saja perasaannya tiba-tiba kacau dan tidak enak. Seolah sebuah firasat buruk muncul memberitahunya.
Kirana mengamati arah pandang Rafael yang terkunci. Mobil putih mengkilat itu melaju memasuki pekarangan mewah milik keluarga Atmaja.
Kirana menyentuh lengan Rafael. Membuat laki-laki itu tersedak kaget.
"Ada apa? " tanya Kirana.
Rafael mengeling. Ia berdehem pelan dan tersenyum kaku.
"Bukan apa-apa. Ayo masuk," serunya sambil membukakan pintu.
Kirana mengangguk. Ia masuk dengan tenang. Pandangannya melihat keadaan sekitar. Mobil Rafael tidak berubah. Hanya saja aroma asing, parfum wanita samar-samar tercium.
Kirana mengerutkan dahinya. Pikiran aneh sudah silih berganti muncul. Ditambah lagi dengan perkataan Nyonya Claudya tadi tentang cinta pertama sang kekasih.
'Tidak mungkin Rafael membohonginya,' gumam Kirana.
Pandangannya jatuh ke depan di mana sang kekasih tengah mengusap rambutnya sambil menerima telpon beberapa saat, kemudian menghampirinya.
"Maaf Kirana, Mama memanggilku, sepertinya malam ini aku tidak bisa mengantarmu."
To be continued....