"Selamat datang para pelayan!" sambut seorang wanita berumur sekitar empat puluh lima tahunan. Terlihat masih cantik di usianya yang matang. Dia adalah Cassandra Rodriguez. Kepala asisten rumah tangga di Twinnies Palace, disebut seperti itu karena dua bangunan yang megah bak istana itu memang dibuat kembar.
"Henry bilang ada tujuh, kenapa ini sembilan?" tanyanya seraya menghitung sembilan pelayan yang baru saja datang.
"Dua pelayan lainnya dipilih langsung oleh Tuan Muda Xavier," sahut supir yang mengantar mereka kesana.
"Oh, si pembangkang kembali beraksi," gumam Cassandra. Cukup keras sehingga membuat semua yang ada disana dapat mendengar apa yang ia ucapkan.
"Baiklah aku akan membagi dua, empat orang untuk kediaman Tuan Muda Noah—"
"Noah?" Anya menggumam, nama itu mengingatkan dirinya akan seseorang. Ia semakin yakin jika yang ia lihat tadi pagi bukanlah halusinasinya saja. Saat itu ia melihat sekelebat sosok mirip sekali dengan Noah, pria yang bertemu dengannya di stasiun komuter. Sejak pertemuan itu, bayangan lelaki itu kerap berkelebat dalam pikirannya.
"Hei, kau!" tunjuk Casandra pada Anya, yang sedari tadi terlihat tak fokus pada apa yang sedang ia ucapkan.
"A—aku?" Anya menunjuk dadanya dengan telunjuk.
"Ya kau, siapa namamu?"
"Anya, Anya Smith," ujarnya.
"Nona Smith, kau akan ditugaskan untuk mencuci seluruh kamar mandi dan toilet di kediaman tuan muda Xavier!" pekik Cassandra, kontan tugas yang paling dihindari seluruh pelayan itu, membuat Anya jadi bahan tertawaan.
Anya menatap sekitarnya, melihat Shelina and the gank, memandang dirinya dengan tatapan mengejek.
"A-aku?" Anya tak menyangka jika ia ditugaskan untuk hal itu.
"Ya! Apa kau tidak suka dengan tugas yang ku berikan padamu?" tanya Cassandra dengan nada mengintimidasi.
"T—tidak." Anya menggeleng pelan.
"Ada delapan belas kamar mandi dan toilet. Jadi kau harus bisa mengatur waktu agar semua tugas itu selesai tepat waktu! Apa kau mengerti?" tanya Cassandra sembari tersenyum dengan menaikkan salah satu sudut bibirnya. Anya mengangguk saja.
Karena Anya yang paling dulu diberikan mandat, maka ia segera diminta keluar dari ruangan, ia langsung disambut seorang wanita lagi. Usianya lebih tua dari Cassandra. Meski begitu ia tak tampak jahat seperti Cassandra, justru sebaliknya ia terlihat lembut dan keibuan.
"Gadis malang, siapa namamu, nak?" tanyanya.
"Aku Anya, Nyonya."
"Jangan memanggilku Nyonya, aku hanya pelayan di rumah ini. Perkenalkan namaku Marimar. Kau bisa memanggilku Rimar, atau kau juga bisa memanggilku bibi. Terserah kau," katanya sambil menatap Anya dengan hangat.
"Anya tugasmu akan sedikit berat, nak. Tapi aku harap kau tidak menyerah, aku akan menunjukkan apa saja yang perlu kau lakukan. Aku juga akan menunjukkan dimana saja tempat yang harus kau bersihkan," kata Rimar sambil membimbing langkah Anya menyusuri ruangan tersebut.
Anya mengikutinya, menaiki tangga yang meliuk-liuk hingga lantai ke empat. Rimar menjelaskan tentang rumah itu. Lantai satu khusus untuk menjamu para tamu, dimana ada dapur, ruang makan, ruang keluarga, ruang tamu yang terdiri dari tiga ruang pertemuan dan ballroom. Bagian paling belakang di lantai satu adalah kamar untuk para pelayan. Ada dua kamar besar yang bisa ditiduri beberapa pelayan sekaligus. Di lantai satu terdapat tiga kamar mandi dan toilet.
Lantai dua adalah kamar untuk para tamu, ada sembilan kamar yang kesemuanya ada kamar mandi dan toilet. Lalu di lantai ketiga ada tiga kamar untuk keluarga besar tuan muda dan satu kamar istimewa digunakan jika Nyonya Xerena Roseanne Dmitry—nenek dari Xavier, datang berkunjung. Dan yang terakhir adalah lantai empat, tempat tuan muda Xavier belajar mempersiapkan diri untuk ujian yang akan diberikan sang nenek demi mencari calon pemimpin baru perusahaan.
Ada tiga kamar disana, yang kesemuanya terdapat kamar mandi dan toilet. Sekalipun tidak dipakai oleh tuan muda, namun tetap harus dibersihkan.
Anya mengangguk mengerti.
"Maafkan aku, Anya. Aku tidak bisa mengantarmu ke lantai empat, pada jam ini tuan muda Xavier pasti sedang belajar. Oleh karena itu, aku akan memberitahumu besok saja."
"Baiklah, bibi. Terima kasih, lalu apa yang harus ku lakukan sekarang? Apa aku harus memulai pekerjaannya sekarang?" tanya Anya. Rimar menggeleng, " aku sudah melakukan tugas-tugas itu tadi pagi."
"Benarkah? Ini baru jam tiga dan kau sudah selesai membersihkan semuanya?" Anya tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Aku mulai membersihkan semua dari jam dua pagi, karena Tuan muda akan sangat marah jika aku menyikat kamar mandinya terlalu siang. Dia tak mau diganggu saat belajar, jadi aku harus cepat melakukannya sebelum ia kembali dari olahraga pagi."
"Tentu saja, dia pria pemarah yang menyebalkan," sahut Anya sembari berjalan turun ke lantai dasar.
Rimar hanya tersenyum, " kau salah, dia adalah anak yang sangat baik dan manis." Lalu Rimar meninggalkan Anya di tengah ruangan besar tersebut.
"Baik? Manis? Hummm ... aku rasa bibi sudah mulai pikun. Sehingga tak dapat membedakan antara menyebalkan dan menyenangkan," gumam Anya.
***
Anya menjadi pelayan di kediaman Xavier bersama ke-empat orang lainnya. Paris, Emily, Diana, dan Rose. Tentu saja hanya Paris yang berbaik hati padanya sehingga ia dan Paris memutuskan untuk tinggal di dalam satu kamar. Sedangkan ketiga orang lainnya tidur di kamar lain.
Rimar mengatakan kepada mereka bahwa tuan muda Xavier akan mengadakan pesta dengan mengundang beberapa temannya. Sehingga mereka harus membantu, Gio—chef di rumah itu untuk menyiapkan makanan. Dua dari mereka harus bersedia melayani para tamu undangan tuan muda Xavier, bahkan hingga pagi hari. Ya! Para anak orang kaya itu akan berpesta hingga pagi.
"Tentu untuk pekerjaan ini, kalian akan digaji tiga kali lipat dari biasanya sebagai uang lembur," jelas Rimar. Anya sama sekali tak berkutik ataupun tertarik dengan hal yang ditawarkan Rimar, ia malah berpura sibuk membantu chef Gio menata makanannya. Sedangkan Angel dan Diana-lah yang paling terlihat bersemangat. Mereka menawarkan diri dengan lantang, bahkan disaat Rimar belum selesai menjelaskan tentang job desk mereka.
"Sebelum mengatakan siapa yang akan melayani para tamu nanti, aku akan meminta pendapat tuan muda mengenai ini. Jadi ... " Rimar menghela nafas.
"Aku akan kembali setelah ini, kalian tetaplah bekerja, bantulah chef Gio."
Rimar pun meninggalkan dapur dan menuju lantai empat, untuk menemui Xavier. Tak berapa lama kemudian ia kembali ke dapur untuk mengumumkan siapa yang dipilih tuan muda untuk melayani para tamu nanti. Anya sama sekali tak tertarik dan tak berharap untuk dipilih sehingga ia tetap menyibukkan diri dengan setumpuk cucian alat masak yang chef Gio gunakan.
"Tuan muda Xavier sudah memilih dua dari kalian," kata Rimar sambil memandang para pelayan.
"Angel kau terpilih," sambung Rimar.
Angel—gadis keturunan Tionghoa Amerika itu tampak senang. Entah apa cerita yang membuat dia bisa sampai ditempat ini. Namun, jika dibandingkan yang lain, dia termasuk paling manis.
"Selamat sayang!" Diana dan Rose memeluknya erat, Paris memandang persahabatan penuh tipuan itu sembari menyengir setengah mencibir. Dia tahu betul kalau di antara mereka sebenarnya saling menusuk dari belakang. Di belakang Angel, Diana sering menggosipkan tentang Angel dan dialek anehnya. Sedangkan di belakang Diana, Angel kerap menceritakan tentang bekas luka operasi di punggung Diana yang terlihat seperti keloid atau daging tumbuh.
Satu sama lain saling menikam dan menghujat, hanya saja kesemuanya sama-sama pandai berakting dan memakai topeng. Hal itulah yang membuat Paris muak, ia telah membeberkan semua hal itu kepada Anya, itu ia lakukan agar Anya waspada.
"Nyonya Rimar, lalu siapa gadis kedua?" tanya Diana tak sabar, ia begitu percaya diri bahwa dirinyalah yang akan dijadikan pelayan untuk malam pesta nanti.
Rimar pun tersenyum, lalu menoleh ke arah Anya yang masih berusaha tak pedulikan apa yang terjadi di belakang punggungnya.
"Anya, tuan muda Xavier menunjuk dirimu," kata Rimar seraya tersenyum. Piring yang sedang Anya cuci, hampir saja lepas dari genggamannya. Kenapa harus dirinya? Ia sebenarnya tak ingin lagi bertemu dengan lelaki yang membawanya ke tempat ini. Lelaki yang kini membuat dirinya harus mencuci delapan belas kamar mandi dalam sehari. Bayangkan saja jika ia menghabiskan waktu satu jam untuk mencuci, itu berarti ia bisa menghabiskan delapan belas sehari hanya untuk berkubang dengan toilet bau.
"Anya," panggil Rimar yang tak segera mendapatkan respon dari Anya. Perlahan gadis itupun berbalik, mengubah wajah muramnya dengan sebuah senyuman palsu yang kentara sekali dibuat-buat.
"Kau harus bersiap-siap sekarang," katanya.
"Baik, bibi."
Anya menunduk, rasanya berat sekali untuk melangkah. Jikalau bisa, ia ingin sekali menukarkan perannya dengan Diana yang sebenarnya sangat ingin dipilih. Ia bisa melihat dengan ekor matanya bahwa kini Diana sedang menggumam sambil melirik sinis ke arahnya. Bukan menggumam, mungkin saja ia sedang menyumpahi dirinya.
Ia kemudian melirik memelas ke arah Paris yang justru memberinya dua jempol dan ucapan selamat. Padahal, Paris tahu betul kalau kawannya itu tak menginginkan ini.
***
Sekitar pukul delapan kurang sepuluh, seluruh teman Xavier yang diundang telah hadir. Anya dan Angel terpaksa harus bekerja sama, karena kini merekalah yang memegang tanggung jawab untuk pesta kecil ini. Hanya dihadiri sebelas orang, terdiri dari tujuh gadis dan sisanya laki-laki.
Tentu saja semua orang itu adalah anak dari para pengusaha kaya, politikus, dan tak menutup kemungkinan para anak dari mafia. Entahlah, tapi itu yang ada di dalam pikiran Anya. Ia yakin bila orang-orang super kaya sangat dekat dengan kejahatan dan perbuatan keji. Dia tak percaya jika ada orang super kaya yang pure baik, ataupun dermawan.
Anya juga percaya bahwa banyak dari mereka melakukan bisnis haram. Dan itulah sumber dari kekayaan mereka yang tak terbatas. Mereka tak akan mudah tersentuh hukum, karena nyatanya hukum mudah dibeli. Uang mengalahkan segalanya, oleh karena itu tak sedikit manusia-manusia di dunia yang begitu mendewakan uang.
"Anya, kenapa kau malah melamun?!"
"Kau harus segera mengantarkan ini kepada para gadis!" pekik Angel dengan nada bossy.
Sedari tadi Angel sengaja menyuruh dirinya untuk melayani para gadis, dan dia sendiri melayani para pria muda. Anya tak membantah, ia hanya melakukan apa yang Angel suruh. Tak ada gunanya juga berdebat dengannya, hanya membuang-buang tenaga saja.
Setelah mengantarkan gelas minuman untuk para gadis, Anya kembali tempatnya. Ia memerhatikan Angel yang tak jua pergi dari boys area. Dia malah becanda dan bersikap sok akrab dengan salah satu teman Xavier. Anehnya, Anya malah tak melihat sosok Xav disana.
Anya memutar pandangan kesana kemari mencari sang empu pesta. Hingga tanpa sengaja pandangannya jatuh pada sosok lelaki yang sedang mengintip dari balik jendela ballroom yang terbuka. Pandangan mata kedua manusia itu beradu, beberapa detik. Ya, Anya membutuhkan beberapa detik untuk menyadari jika mata yang kini melihatnya adalah dia. Pria muda yang bertemu di stasiun komuter.
"Noah ... " bisik Anya lirih.
Pria itu tersenyum kepadanya, namun saat Anya bermaksud berjalan ke arah pintu untuk menemui, Noah justru melarangnya. Lelaki itu memberikan isyarat tangan kepadanya. Anya pun urungkan niat tersebut.
"Kau!" kata Xavier lantang, entah kapan datangnya lelaki itu, yang jelas kini dia sudah ada di hadapan Anya. Mungkin Anya terlalu tenggelam pada mata sebiru langit siang itu. Sehingga ia tak menyadari kehadiran Xav.
"Kau yang akan melayaniku," kata Xav, Anya hanya menatap pria itu dengan wajah bingung. Ia tak mengerti apa maksud ucapan Xav.
"Kau, Anya Smith. Sebagai pelayanku, maka kau tak boleh berdiri jauh-jauh dariku. Kau harus selalu di dekatku, karena aku tidak suka jika harus berteriak ketika mencarimu."
"La—lalu, bagaimana dengan tugas ini?" tanya Anya, yang sebenarnya ia sedang mencari alasan.
"Aku akan menyuruh Marimar untuk menambah satu atau dua orang pelayan lagi. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya."
Xav pun berbalik, berjalan menuju teman-temannya. Hanya beberapa langkah setelahnya, ia pun berhenti dan menoleh ke belakang. Ia dapati Anya masih berdiri diam di titik yang sama.
"Anya, kau harus ikut kemanapun aku pergi. Kenapa kau malah diam saja disana?!" pekik Xav yang membuat Anya sadar kalau kini semua mata memandang dirinya. Anya pun tak punya pilihan selain mengikuti langkah tuan muda menyebalkan itu.
"Siapa dia Xav?!" Seorang gadis tiba-tiba saja menghadang langkah Xavier. Anya sampai kaget dibuatnya.
Gadis itu, sangat cantik. Kecantikannya mendekati kata sempurna, paling tidak begitulah yang Anya pikirkan saat melihatnya. Tubuhnya yang indah dan proporsional dibalut gaun berwarna putih. Terlihat sekali kalau apapun yang menempel di tubuh gadis itu adalah barang mahal dan mewah.
"Bukan urusanmu, Courtney! Menyingkirlah dariku sekarang!" ketus Xav. Tapi sepertinya gadis itu pantang menyerah, setelah mendapatkan jawaban tak ramah dari Xav, gadis itu lalu mengarahkan pandangan kepada Anya. Ia melangkah sempoyongan, dan dengan cepat meraih rambut Anya.
"Kau pelacur itu kan? Kau jalang yang merebut Xavier-ku?! Apa kau tidak tahu kalau dia adalah calon tunanganku?!" pekik Courtney lantang. Anya pun mengaduh, seandainya ia tahu kalau gadis mabuk itu akan melakukan sesuatu yang gila padanya. Mungkin saja ia akan menghindar.
"Courtney! Hentikan! Apa kau sudah gila?!" Xavier langsung berbalik dan menolong Anya.
Tapi Courtney tak mau lepaskan tangannya dari rambut Anya.
"Tolong aku!" pekiknya pada kawan-kawannya.
"Panggilkan security!" suruh Xav pada Angel.
"Xav, kenapa kau hentikan aku? Aku ingin mencakar muka gadis murahan itu? Apa kau buta Xav, apa aku kurang cantik? Sehingga kau berselingkuh dengannya?" Courtney melepaskan tangannya dari rambut Anya dan mulai menangis.