Beberapa jam berada di dalam komuter menuju East End, membuat hidup Anya yang semula terasa menyedihkan seketika berubah lebih manis. Pertemuan dengan pemuda itu membuat Anya sejenak lupakan hal buruk yang ia lalui. Mereka tertawa bersama, pemuda itu mengatakan beberapa lelucon yang sanggup membuat Anya tertawa.
"Jadi kau benar-benar melakukannya? Apakah saudaramu itu tidak marah?" tanya Anya.
"Dia sangat marah, tapi setelah dia mengetahui kalau aku melakukan itu semua untuk memberinya kejutan ulang tahun. Tentu saja, ia tak jadi marah," kata Noah.
"Kau pasti sangat menyayanginya?" tanya Anya.
"Ya, tapi hubungan kami tak sebaik dulu," kata Noah dengan pandangan menerawang. Anya melirik ke arah pemuda tampan itu.
"Ada apa dengan kalian?" tanya Anya.
(Terdengar suara otomatis meminta para penumpang yang berdiri di depan pintu komuter untuk menjauh dari pintu, karena komuter telah sampai di stasiun East End.)
"Kita sudah sampai, ayo!" ajak Noah, ia sedang berusaha mengalihkan pembicaraan.
Anya terperanjat, "ternyata kita sudah sampai, perjalanan ini terasa begitu cepat," ujar Anya sambil beranjak dari duduknya.
"Itu karena ada aku bersamamu, ya kan?" kekeh Noah.
"Kau benar sekali," kata Anya sembari tersenyum.
"Biar ku bawakan kopermu," kata Noah.
"Jangan, aku sudah terlalu banyak merepotkan mu," kata Anya sambil merebut koper dari Noah.
"Ijinkan aku membantumu sekali lagi, karena aku tak tahu, mungkin saja ini pertemuan kita yang terakhir kalinya."
Anya seketika merasa sedih mendengar ucapan Noah, akan tetapi lelaki itu tak salah. Mungkin memang benar ini bisa menjadi pertemuan terakhir mereka.
"Kau benar sekali," tanggap Anya dengan wajah sedih.
Mereka berdua pun berjalan naiki tangga yang menghubungkan stasiun bawah tanah dengan jalanan.
"Mau kucarikan taksi?" tanya Noah.
"Tidak perlu, aku bisa berjalan kaki," kata Anya, ia memang harus sangat bijaksana dalam melakukan pengeluaran uang. Karena dia sudah tidak punya tabungan lagi.
"Aku akan membayar taksi itu untukmu," kata Noah.
"Tak perlu, terima kasih."
"Anya, aku hanya, maksudku apa kau takut padaku? Aku sama sekali tidak berniat buruk kepadamu," jelas Noah yang bisa membaca raut bingung sekaligus waspada yang Anya tunjukkan.
Tentu saja bertemu pria asing yang tiba-tiba saja sangat baik kepadamu, tentu adalah hal yang patut diwaspadai.
"Tidak, bukan itu maksudku—"
"TAKSI!" Noah sudah memberhentikan taksi. Pemuda itu meminta pengemudi taksi untuk memasukkan koper ke dalam bagasi. Dia lalu membuka pintu dan meminta Anya untuk masuk.
"Masuklah," katanya.
"Tapi-"
"Apa kau menerima pembayaran dengan uang elektronik?" tanya Noah pada pengemudi taksi. Pria separuh baya dengan rambut abu itu.
"Ya, apa kau membayar dengan uang elektronik?" tanyanya, Noah pun mengangguk.
Noah mengambil ponselnya dan mengirim sejumlah uang ke akun e-money milik pengemudi.
"Aku sudah membayar taksinya," kata Noah sambil membuka pintu taksi lebih lebar lagi dan mempersilakan Anya masuk.
"Ini berlebihan, maaf, tapi aku—"
"Sudah jangan mengatakan apa-apa lagi, cepat masuklah. Kau tak mau membuat Pak supir ini menunggu kan?" tanya Noah, dengan terpaksa akhirnya Anya masuk ke dalam taksi.
Noah membungkuk, dan menatap Anya yang baru saja menyandarkan punggung di kursi belakang taksi.
"Hati-hati, semoga nanti kita bisa bertemu lagi," kata Noah.
"Pak tolong antarkan temanku ini sampai ke tujuannya dengan selamat," ujar Noah. Pemuda itu lalu melemparkan senyum ke arah Anya.
Anya mengucapkan terima kasih, dan pintu taksi pun tertutup.
Perlahan taksi pun jalan meninggalkan tempat tersebut. Anya sempat menoleh ke belakang melihat Noah yang ternyata masih berdiri memerhatikan taksi yang membawa dirinya menuju ke tempat tinggal ayahnya.
***
Kini Anya sudah berdiri di depan pintu berwarna putih itu. Dia berdiri hampir sepuluh menit lamanya, bel juga sudah ia bunyinya puluhan kali, akan tetapi tak ada sahutan dari dalam. Anya hampir saja putus asa dan meninggalkan tempat itu ketika seseorang pada akhirnya membukakan pintu. Seorang wanita berambut pirang, keriting, hanya mengenakan pakaian dalam saja.
Anya sedikit terbelalak melihat siapa yang ada di balik pintu.
Seketika ia melihat kembali nomor yang tergantung di depan pintu, memastikan kalau ia tidak salah tempat.
"S-siapa kau?" tanyanya.
"Aku? Kau sendiri siapa?" tanya wanita muda yang sepertinya pacar baru sang ayah.
"Beth, kau berbicara dengan siapa?" tanya sebuah suara yang berasal dari dalam.
"Ayah!" pekik Anya sambil merangsek ke dalam melewati tubuh wanita yang hanya mengenakan pakaian dalam itu.
"Ayah?" wanita itu menggumam.
"Anya! Anakku!" Robert langsung memeluk tubuh putrinya, menyambutnya penuh suka cita. Anya merasa heran dengan tingkah aneh sang ayah yang tak biasa. Robert biasanya akan marah dan cenderung menunjukkan penolakan ketika ia mendatanginya. Tapi, entah kenapa kali ini terlihat berbeda.
"Ayah, k—kau sehat kan'?" tanya Anya dengan wajah mengerut.
"Beth, perkenalkan ini Anya, dia anakku," kata Robert sambil menarik wanita tadi dan merangkulnya dengan mesra. Anya melihat wanita yang hanya mengenakan pakaian dalam itu dari atas ke bawah.
"Apa kau sudah makan?" tanya Robert, Anya sebenarnya lapar, tapi ketika melihat pacar baru ayahnya, nafsu makannya seketika hilang.
"Tidak," kata Anya tak semangat.
"Rob, putrimu pasti kelelahan, jadi lebih baik biarkan dia istirahat," bisik Beth dengan suara manjanya.
Mata Anya menatap keduanya dengan tatapan risih. Robert melingkarkan tangan ke pinggang ramping si wanita. Sedangkan Beth menciumi lengan kekar Robert yang sedikit berbulu.
"Apa aku boleh menginap disini selama beberapa hari saja? Aku, aku dipecat dari pekerjaanku. Tapi tenang saja, aku akan segera pergi dari sini, aku janji—"
"Anya, tentu saja kau boleh menginap di sini. Ini rumahmu, kau boleh tinggal disini sesukamu. Sekarang lebih baik istirahatlah, aku akan menyisakan makanan untuk kau makan nanti ya?" kata Robert sembari menyeringai. Membuat Anya curiga, tapi gadis itu tak mau ambil pusing dengan sikap aneh sang ayah yang pemabuk.
Anya mengangguk dan berbalik hendak meninggalkan dapur, tapi tiba-tiba saja Beth memanggilnya.
"Hmm, Anya!"
Anya menoleh dan melihat kepada wanita itu.
"Sebaiknya kau menggunakan earphone ketika tidur, aku ... maksudku kami tak mau membuatmu terbangun karena permainan kami. Kau mengerti maksudku kan? Permainan orang dewasa, ayahmu sangat kuat dan jantan. Dia seringkali membuatku berteriak, dan mengerang," kekeh Beth tanpa rasa malu sedikitpun membicarakan hal itu pada Anya.
Anya kembali mengangguk pelan, dalam hati ia mengumpat,"dasar jalang!"
Beth tersenyum kaku dan penuh kepura-puraan, Anya menimpali senyum Beth dengan cara yang sama.