Karavan yang membawa Anya pada akhirnya berhenti di sebuah tempat. Anya tidak sadarkan diri sejak digiring masuk ke dalam karavan, karena salah seorang pria besar tadi telah membekap mulutnya menggunakan sapu tangan yang telah diberi obat bius atau semacamnya. Ketika sadar yang Anya lihat hanya langit sudah benar-benar gelap. Padahal ia diseret keluar dari apartemen Robert pada sore hari, menandakan bahwa dirinya kini telah melalui perjalanan panjang untuk sampai di tempat ini.
Dalam keadaan setengah sadar dan merasakan pening yang teramat sangat di kepala, ia sempat melihat papan nama jalan yang tertera di depan gang gelap itu. Sebelum salah seorang pria besar itu menyeret tubuhnya dengan kasar.
"Dia sudah sadar, ayo kita harus bergegas, sebelum dia benar-benar sadar sedang berada dimana!" pekik salah satu dari mereka. Tentu saja Anya dapat mendengar itu dengan sangat jelas, mungkin hanya bius murahan yang diberikan kepadanya sehingga efeknya tak bertahan terlalu lama.
'Central Middlesbrough'
Mata Anya sempat melihat ke sebuah papan jalan rusak yang memberi petunjuk tentang keberadaannya. Meski sebenarnya mengetahui tempat inipun terasa sia-sia, takkan ada yang mencarinya, tak akan ada yang menyelamatkan dirinya.
'Tamatlah riwayatmu, Anya!' batinnya.
Mereka pun berhenti di depan sebuah bangunan yang terlihat kumuh dan rusak. Salah satu pria menunjuk sebuah tangga usang yang berada di samping bangunan tua itu. Anya yang berjalan masih sempoyongan dipaksa untuk menaiki tangga darurat.
"Tangga itu terlalu sempit untukku!" keluh si pria gemuk.
"Kalau begitu biar Frame saja yang mengantarkan gadis itu pada Candace," kata pria bersuara berat.
Pria-pria itu mengarahkan pandangan kepada lelaki cungkring dan tinggi itu.
"Haa, kenapa kalian semua malah melihatku?"
"Kau pikir siapa yang paling kurus diantara kita bertiga?"
Lelaki cungkring pun terkekeh, lalu segera menarik lengan Anya.
"Kau duluan, aku akan mengikutimu dari belakang. Jangan takut, aku bukan orang jahat," kata si cungkring.
Anya hanya melihat pria itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia heran dengan apa yang diucapkan pria berjuluk Frame itu. Bagaimana bisa dia menyebut dirinya bukan pria jahat setelah apa yang mereka lakukan padanya.
"Cepatlah!" bentak si pria dengan suara berat. Bentakan itu entah ditujukan kepada siapa, Anya ataukah pria cungkring.
Dengan langkah terseok, karena merasa kepayahan akibat obat bius, Anya pun menaiki tangga darurat itu satu per satu. Suara sepatu yang beradu dengan bahan tangga yang terbuat dari logam, menggema. Suasananya teramat sepi, sehingga nafas Anya pun terdengar. Pria cungkring di belakang Anya tiba-tiba mengeluarkan suara.
"Apa kau lapar?"
Anya seketika hentikan langkahnya dan menoleh.
"Jangan berhenti, kalau kau berhenti, mereka akan mencurigaiku." Anya pun kembali menapaki anak tangga.
Tangga yang ia jejaki basah, tampaknya hujan baru saja mengguyur.
"Sebentar lagi kita akan sampai, kalau kau lapar—"
"Aku belum memakan apapun dari pagi," sahut Anya setengah berbisik.
"Aku akan memintakanmu makanan, tenang saja," kata si pria cungkring, Anya menoleh dan menganggukkan kepalanya.
Setelah sampai di sebuah pintu yang terletak paling atas, pria cungkring meminta Anya untuk minggir.
"Candace buka pintunya!" pekik pria itu sembari mengetuk-ngetuk pintu.
Tak berapa lama kemudian, seseorang membuka pintu. Seorang wanita berambut kemerahan, kulitnya putih seperti porselen, dia memakai gaun sutera marun.
"Apa ini yang kau katakan dengan barang baru?" tanya Candace sembari mengendus Anya seperti anjing. Membuat gadis itu mundur beberapa langkah karena risih.
"Hei, kau belum mandi sejak kemarin?" tanya Candace menyengir.
"Apa?!" Anya membelalakkan matanya lebar-lebar. Dia memang tak mandi sejak kemarin, ia sangat malas melakukan apapun, terlebih saat ia sadar kalau dia akan segera menjadi gelandangan.
"Kau bau!" Candace berteriak, membuat Anya mengangkat lengan dan mendekatkan hidungnya ke arah ketiak. Benar kata Candace tampaknya ia mulai bau.
"Candace, dia kelaparan, lebih baik kau menawarkan makanan untuknya. Aku harus pergi sekarang, bos pasti sudah menunggu kami," kata si pria cungkring.
"Aku tak akan memberinya makan, kecuali dia sudah mandi dan membersihkan diri," kata Candace, "masuklah!" suruhnya pada Anya.
Gadis itu menoleh ke arah pria cungkring, dan pria itu mengangguk.
"Masuklah, Candace akan merawatmu dengan baik. Kau harus mendengarkan dia, jika kau ingin selamat, dan tak berakhir menjadi mayat." Setelah mengucapkan hal itu, pria cungkring pun pergi meninggalkan Anya.
Candace menarik Anya masuk dan menutup serta mengunci pintunya.
"Kenapa kau masih berdiri di depan pintu itu?!" pekik Candace terdengar galak.
Anya mengamati flat yang ditempati Candace, sangat kecil, hanya mempunyai satu kamar. Berantakan, meja makannya dipenuhi dengan bekas bungkus makanan cepat saji. Cucian di wastafel pun menumpuk bak gunung. Belum lagi lantainya, terlihat begitu lengket dan berminyak, entah berapa lama itu tak dibersihkan.
"Kau bisa tinggal di tempat seperti ini?" tanya Anya.
"Apa maksudmu?" Candace yang baru saja keluar dari kamarnya membawakan handuk untuk Anya.
"Rumah ini sangat kotor."
"Sebaiknya kau tutup mulutmu, mandilah, makan, lalu kau harus segera tidur," kata Candace.
"Aku tidur dimana?" tanya Anya.
"Kau bisa tidur di sofa itu," tunjuk Candace pada sebuah sofa baru yang terlihat kotor dan tak terawat.
"Bersihkan sendiri jika menurutmu itu kotor, aku tak ada waktu membersihkannya. Lagipula Minggu depan aku akan pindah dari sini," jelas Candace sembari duduk di atas sebuah meja, sambil menyalakan sebatang rokok. Anya mengamati wanita itu. Dalam hati ia heran, bagaimana wanita secantik dan sewangi Candace bisa tinggal di rumah kumuh seperti ini.
Candace melempar handuk yang ia bawa kepada Anya.
"Dimana kamar mandinya?"
"Disana," jawabnya sambil menunjuk ke sebuah arah.
"Sebelum itu, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu, Candace?"
"Ya, tentu saja, sebaiknya kau banyak bertanya sekarang. Ada banyak hal yang akan sangat mengejutkanmu besok, aku harap kau bersiap-siap." Candace menyeringai.
"Kenapa orang-orang itu mengirimku kepadamu?"
"Kau tahu siapa aku?"
Anya menggeleng.
"Kau bukan selebritis ataupun politikus, bagaimana aku mengenalmu?" Mendengar jawaban Anya, Candace pun tertawa lebar.
"Aku adalah pengurus rumah bordil di Central Middlesbrough, aku adalah primadona sekaligus calon pemilik tempat itu—"
"Calon? Maksudmu, tempat itu sekarang belum menjadi milikmu?" Anya mengerutkan dahi.
"Terserah kau menyebutnya apa, yang jelas sebentar lagi aku akan menguasai tempat itu," kekeh Candace.
"Lalu, apa kau akan mempekerjakan ku disana?" sela Anya.
"Tentu saja, kau pikir mereka membawamu kesini untuk jadi bos?" Candace kembali tertawa lebar.
Anya seketika terdiam, ia tak tahu harus merespon atau bereaksi apa terhadap kegilaan yang tiba-tiba ia jalani. Ini tak benar, ia datang ke rumah ayahnya untuk sekedar mencari tempat berteduh sementara. Tapi ternyata keputusannya salah, ia kini malah terancam untuk jadi wanita malam.
"Kau harus mencari cara untuk kabur dari sini, Anya!" batinnya menggerutu.
"Kau jangan coba-coba untuk kabur, nasibmu akan lebih buruk dari ini jika kau mencobanya," kata Candace.
Brak!
Anya segera menutup kamar mandinya tanpa menyahut apapun tentang ucapan Candace.