Anya merasa baru saja tertidur beberapa jam, di saat terdengar suara ribut yang bersumber dari luar kamarnya. Perlahan ia membuka kelopak matanya. Saat kesadarannya mulai pulih, barulah ia dapat mendengar dengan seksama serta mengira-ngira tentang apa yang sedang terjadi di luar kamarnya.
"Sudah berapa kali ku peringatkan? Kau tidak hanya menipu kami saja, tapi kau juga sudah memanfaatkan kemurahan hati Tuan Andres. Tapi, sayang sekali, putra Tuan Andres tak mewarisi kemurahan hatinya, jadi kami hanya akan memberikanmu dua pilihan. Serahkan wanita itu sekarang atau kami akan memenggal dan membawa kepalamu kepada bos kami?" sentak sebuah suara dengan nada tinggi.
Duag!
"Robert!" pekik Beth dengan suara menyayat hati. Paham akan keributan yang melibatkan kekerasan, membuat Anya ragu untuk melangkah keluar. Akan lebih baik bagi dirinya untuk bersembunyi sekarang, sebelum orang-orang asing di luar sana menyadari bahwa ada satu orang lain di rumah Robert.
"Tolong, berikan aku waktu," mohon Robert.
"Kami sudah memberikanmu terlalu banyak waktu. Sekarang seret wanita itu keluar!"
"Jangan! Jangan bawa Beth!"
"Robert tolong aku!" Beth berteriak dengan suara bergetar yang gambarkan ketakutan.
"Mau kau bawa kemana dia? Dia adalah calon istriku!" pekik Robert nyalang.
"Bukan urusanmu, ada banyak hal yang bisa ku manfaatkan dari jalang ini. Dia terlihat sehat dan masih muda, aku yakin organ dalamnya bisa kujual ke pasar gelap. Kau tak perlu khawatir, Rob. Aku akan mengirimkan sisa tubuhnya kepadamu," ucap seorang lelaki dengan suara berat. Mendengar percakapan yang teramat mengerikan membuat Anya seperti kehabisan nafas. Ia menangis dan menutup mulutnya rapat-rapat agar suara tangisnya tak sampai terdengar di luar.
"Rob tolong aku! Jangan biarkan mereka membawaku!" teriak Beth.
"Anakmu! Kau bisa menggantikan aku dengan anakmu, d—dia ada di dalam kamar, d—dia—"
"DIA SIAPA?!" lantang si lelaki yang kini sedang menodongkan senjata ke arah kepala Robert.
"Anak Robert, Anya, ya namanya Anya!" Beth berteriak membuat para penagih hutang itu saling melemparkan pandangan.
"Dia masih muda, lebih muda dari aku. Dia juga masih sangat sehat dan ya, dia cantik, kalian bisa menjualnya. Aku rasa pasti orang akan menawarnya dengan mahal!"
"Beth hentikan omong kosongmu!" pekik Robert.
"Apa kau bilang, jadi kau lebih memilih anak itu daripada aku?" Beth terdengar tak terima.
"Sand, periksa kamar itu!" suruh lelaki dengan suara berat.
Anya berkeringat dingin dan gemetar kala mendengar itu. Ia segera menyelinap di bawah ranjang. Tak tahu lagi kemana ia harus bersembunyi. Ruang kamar ini sangat kecil, tak ada lemari selain nakas kecil. Tak ada lemari pakaian, ia sudah mengecek jendela dan mustahil rasanya melompat dari sana. Kini ia sedang berada di lantai dua puluh enam. Melompat tentu saja bukan pilihan bijak, karena itu bisa saja membuat dirinya berakhir di meja autopsi.
Kreeekk!
Suara pintu tua itu berderit kala dibuka oleh seseorang. Anya hanya dapat melihat sepatu besar berwarna hitam milik lelaki itu. Dari kaki dan sepatu yang dikenakan Anya bisa menebak kalau dia adalah pria tinggi besar, yang mustahil Anya lawan dengan tangan kosong atau senjata sekalipun.
Dia tahu dirinya kini berada di dalam bahaya. Dia sadar sang ayah sedang berhadapan dengan penagih hutang yang kejam. Dan sialnya si jalang murahan itu mengumpankan Anya pada mereka.
"Anya!" panggil lelaki itu.
Anya hanya bisa menangis sambil menutup mulutnya rapat-rapat. Rasanya mustahil untuk menahan tangis saat sadar kalau hidup kita sebentar lagi akan berakhir.
"Kau keluar sendiri dengan sukarela, atau aku harus menyeretmu?"
Tubuh Anya gemetaran, dia ketakutan setengah mati dengan nada ancaman pria besar itu.
"Aku tahu kau ada di bawah ranjang, aku akan menghitung mundur, lima ... empat ... "
Pria itu menghitung mundur sembari semakin dekatkan langkahnya ke arah ranjang.
"Tiga .... dua ... "
"Baiklah aku akan keluar!" teriak Anya sebelum lelaki itu selesai menghitung. Perlahan Anya pun merayap keluar dari bawah ranjang dengan wajah ketakutan. Belum pernah ia merasa setakut ini didalam hidupnya.
"Anya, ternyata kau cantik sekali," kata lelaki yang kira-kira seusia ayahnya itu.
"Ikut kami sekarang!" katanya seraya menarik Anya keluar dari kamarnya dengan kasar.
"Aku bawa gadis ini sebagai pengganti hutangmu kepada Tuan kami, aku akan mengirimkan sisa tubuhnya kepadamu."
Anya membelalakkan mata lebar-lebar, ia berharap semua yang ia dengar tadi hanyalah lelucon. Namun, saat ia melihat rupa dan penampilan empat orang lelaki yang sangat mirip anggota mafia itu, ia semakin yakin bahwa hidupnya mungkin tak akan lama lagi.
"Ayah, tolong aku!" pinta Anya. Tapi Robert malah melengos dan mengalihkan pandangannya. Sedangkan jalang bernama Beth, tersenyum puas karena telah menukar nyawanya dengan Anya.
"Hei, tunggu dulu!" pekik Beth sesaat sebelum empat lelaki bertubuh kekar itu membawa Anya pergi.
"Kau yakin, tidak akan ada kelebihan uang dari hasil penjualan gadis ini? Hutang kami pada Tuan Andres hanya enam puluh tujuh ribu dolar, bukankah seharusnya gadis ini bernilai lebih dari itu? Sepertinya dia masih perawan, ya kan Rob?" tanya Beth seraya melirik Robert yang menunduk dan tak keluarkan sepatah kata pun.
"Apa kau masih perawan?" tanya pria gemuk yang kini berdiri di samping Anya.
Anya memandang pria itu dengan penuh kebencian tanpa ada niat darinya untuk menjawab. Sadar kalau gadis itu meremehkan, pria gemuk itu hendak layangkan tamparan pada Anya.
"Sand! Jangan gores gadis itu! Tahan tanganmu, kita harus serahkan dia pada Tuan kita dalam keadaan mulus dan tanpa cela. Kalau sampa dia tergores maka kepalamu yang akan kupenggal untuk kujadikan makanan anjing liar!" pekik pria tua berambut putih yang tampak seperti pemimpin di antara empat orang itu.
Anya menggelengkan kepalanya tak percaya dengan sikap dan tindakan yang dilakukan sang ayah. Robert tak melakukan apapun untuk menolong dirinya. Lelaki yang seharusnya melindungi Anya justru menjadikan dirinya sebagai pelunas hutang.
"Ayo kita pergi!" teriak pria berambut putih.
"Tunggu dulu!" pekik Anya.
"Apakah aku boleh mengatakan sesuatu kepada ayahku? Aku ingin mengucapkan kalimat perpisahan dengannya," kata Anya yang sudah tak lagi peduli. Karena mungkin saja ia akan segera mati.
"Kalau memang hari ini aku akan mati, jangan lupa sesekali datanglah ke makam ibu. Rawatlah makamnya, oh ya Robert Smith, terima kasih. Kau ayah yang sangat hebat, kau menjual putrimu demi melindungi jalang itu. Aku pastikan kalau hidupmu setelah ini akan berubah jadi neraka!" kata Anya seraya tersenyum sebelum Robert akhirnya mendorong tubuh Anya dengan kasar dan menutup pintu apartemen.
Ke empat lelaki itupun menyeret Anya dan menutup kepalanya dengan menggunakan kain hitam seolah dia adalah calon tahanan yang akan segera menghadapi eksekusi.