Hari itu, di mana hari yang sudah ibu rencanakan. Sejak kemarin, baru hari ini dia akan melakukan pengintaian untuk mencari tahu kebenaran atas nama Rangga Fariz Bramanjaya.
"Pokoknya hari ini aku harus ke alamat perusahaan itu untuk memastikan."
Ibu berdiri tegap, melihat kanan kiri di pinggir jalan guna mencari angkot yang sedang lewat guna untuk ke perusahaan yang dia tuju.
Beberapa menit kemudian, di bawah terik matahari akhirnya ada sebuah angkot yang hendak lewat. Lalu ibu menghentikan angkot tersebut dengan melambaikan tangannya.
"Ayo masuk, Bu!"
Ibu langsung masuk dan duduk di bagian belakang bersama yang lain.
"Antar aku ke alamat ini ya!" Ibu menyodorkan alamat yang sudah di tulis.
"Wih, Ibu mau ngapain di kantor ini? Ini tempat pengusaha loh, Bu."
"Ya aku tahu!"
"Oh sudah tahu, pasti mau minta sumbangan kan? Biasanya orang yang datang ke sana kebanyakan minta sumbangan. Dengar-dengar juga anak pemilik perusahaan itu sudah menyumbangkan dana atau bukj di berbagai sekolahan termasuk sekolah kumuh di sekitar sini."
"Ya, aku tahu. Tapi aku datang ke sana bukan minta sumbangan. Sudahlah, jangan banyak tanya."
Ucap ibu kesal menanggapi ucapan kernet mobil angkot tersebut yang ingin banyak tahu.
Begitu sampai di depan perusahaan, Ibu turun dengan sangat hati-hati. Lalu dia bertanya pada satpam untuk mencari tahu tentang perubahan tersebut.
"Permisi, Pak."
"Iya, Bu! Ada apa?" Satpam tersebut melihat penampilan ibu dari bawah sampai atas. Ibu yang mengenakan baju gamis juga jilbab yang menutupi kepalanya dengan membawa tas samping.
'Sepertinya ibu ini ingin minta-minta lagi di perusahaan ini. Wah, gawat. Risih aku kalau setiap hari ada orang seperti ini. Mending aku usir saja.'
"Saya ingin bertemu dengan pemilik perusahaan ini."
'Tuh kan, benar. Pasti mau minta dana sumbangan. Ah, usir saja lah.' Gumamnya dengan kesal.
"Maaf, Bos kamu tidak bisa ketemu dengan siapa pun hari ini. Karena ini sudah menjadi privasi kami."
"Hanya sebentar, tidak lama kok."
"Arrhhh, sudah sudah. Sana pergi jauh-jauh. Kami tidak ingin mengeluarkan sumbangan lagi untuk orang miskin seperti Ibu."
"Ada apa ini?" Adel datang.
"Biasa, Bu. Orang-orang sini banyak yang datang hanya minta sumbangan. Padahal tubuh masih lengkap, harusnya kan kerja."
"Heh, jangan sembarangan kamu bicara. Aku datang kemari bukan untuk minta sumbangan. Tapi ada keperluan pribadi dengan bos kamu."
"Sudah cukup, Pak. Usir saja Ibu ini. Tidak guna, hanya sampah." Ucap Adel dengan sombong.
"Hei, wanita sombong. Siapa kamu di sini? Bos!"
"Iya dong, calon Bos yang sebentar lagi akan menikah dengan Bos besar di sini. Sudah, Pak. Aku tidak punya banyak waktu. Segera usir ibu ini."
"Baik, Bu."
Ibu di seret untuk keluar dari gerbang. Sedangkan hal itu baru Rangga ketahui lewat CCTV yang kebetulan dia lewati.
"Ada apa ini, Pak? Kan bisa di selesaikan secara baik-baik. Kenapa harus di usir?" Tegur Rangga.
"Maaf, Pak!"
"Beri waktu Ibu itu untuk masuk ke dalam!" Perintahnya. Sementara itu, Adel hanya cemberut melihat Rangga yang terlalu baik dengan orang asing itu.
"Bu, ada perlu apa datang kemari. Maafkan karyawan aku ya!"
"Tidak apa-apa. Aku datang kemari hanya ingin tahu tentang perusahaan ini."
"Apa, Bu? Maksudnya bagaimana?"
"Oh tidak, maksud aku. Aku hanya ingin kenal sama kamu, Nak. Siapa nama Papa kamu?"
"Oh, Papa? Kalau mau biar aku suruh Papa ke sini biar Ibu kenal langsung dengan Papa aku."
"Hem, tidak-tidak perlu, Nak. Ibu hanya sebentar kok."
"Baiklah, nama Papa aku sesuai dengan nama yang tertulis besar di depan tadi. Mama sudah tidak ada sejak aku kecil. Ngomong-ngomong, Ibu siapa ya? Kok tiba-tiba ingin kenal Papa."
"Tidak apa-apa, Ibu hanya ingin pastikan saja kalau anak Ibu lagi dekat dengan siapa. Dan Papa kamu itu sepertinya teman lama Ibu."
"Anak Ibu? Siapa, Bu?" Tanya Rangga yang penasaran. Seingatnya, dia hanya dekat dengan Adel.
"Rara namanya." Jawaban ibu membuat Rangga terkejut dengar nama itu. Sontak dia ingat pada Rara.
"Rara anak Ibu?"
"Benar, kamu lagi dekat dengan dia kan?"
"Sebenarnya pertemuan aku dengan dia waktu di sekolah tempat Rara mengajar, Bu. Dan kamu hanya kenal biasa, sebagai teman."
"Oh, Ibu kira lebih!"
Jawaban Ibu kembali membuat Rangga tertegun. Bagaimana bisa ibunya Rara sampai ingin tahu hubungan anaknya.
"Tapi kamu jangan pernah bilang dengan Rara ya kalau Ibu datang kemari. Ibu hanya memastikan saja kok. Kalau kalian berteman juga tidak apa-apa. Asalkan jangan lebih dari itu. Karena Ibu kasihan dengan kamu nanti, bukannya dengan Rara. Karena Rara makannya banyak. Dan mana mungkin bisa berhubungan dengan pria setampan kamu. Duh, tidak cocok banget. Jangan mau ya!"
Alasan Ibu membuat Rangga tertawa terbahak-bahak karenanya. Baru kali ini ada seorang ibu yang meminta anaknya untuk tidak dekat dengan Rangga. Jauh sebelumnya, justru banyak yang minta Rangga untuk jadi menantunya. Maka dari itu, Rangga sangat memilih bagaimana pasangan dia kelak.
"Kok kamu tertawa? Ada yang salah?"
Rangga masih belum berhenti dari tawanya.
"Maaf, Bu. Bukan bermaksud apa-apa. Aneh saja, selama ini banyak orang tua yang minta aku untuk jadi menantunya. Justru Ibu sangat berbeda dengan yang lain."
'Andai kamu tahu, Rangga. Ibu larang karena kamu anak Bramanjaya Ibu tidak ingin persaudaraan kalian nanti jadi hancur. Tapi Ibu juga tidak ingin kalau sampai Bramanjaya tahu tentang Rara yang sebenarnya.' Gumam ibu.
"Bu, Ibu tidak apa-apa kan? Ibu tidak tersinggung kan dengan ucapan aku barusan?"
"Oh tidak, maaf. Ibu sampai melamun. Tidak kok, ya sudah, Ibu hanya berpesan itu saja. Tidak banyak kok. Hanya minta pengertian kamu saja."
"Baiklah, Bu. Ibu tenang saja, aku dan Rara hanya berteman biasa kok. Tidak lebih, dan aku juga tidak akan katakan apa-apa pada Rara tentang kedatangan Ibu kemari."
"Terima kasih ya, Nak. Kamu memang baik dan bijaksana. Sama seperti Papa kamu."
"Maaf, Bu. Sepertinya Ibu sangat mengenal Papa? Siapa nama Ibu."
"Ibu hanya teman lamanya. Ya sudah, Ibu pulang ya. Maaf sudah mengganggu, dan terima kasih atas waktunya." Ibu mengalihkan pembicaraan dan langsung pamit pulang agar Rangga tidak terlalu banyak tanya tentang dirinya.
"Oh, ya sudah. Hati-hati ya, Bu."
"Iya, Nak."
Sementara itu, di luar satpam yang tadi mengusir ibunya Rara asyik bergunjing dengan Adel. Adel terus memantau dan menasehati Satpam agar tidak menerima tamu sembarangan tanpa konfirmasi dahulu. Adel takut orang yang datang terus kebiasaan untuk meminta sumbangan pada Rangga terus menerus. Takut merugikan perusahaan Bramanjaya. Padahal dia juga hanya bagian karyawan di kantor tersebut yang terus mencari perhatian pada Rangga.