"Semua bisa di selesaikan secara baik-baik, Pa. Tidak harus menjual hatiku untuk dia. Hati tidak bisa di paksakan, Pa. Pokoknya aku tidak mau, sampai kapan pun aku tidak mau. Besok aku akan bawa kekasih aku. Biar Papa tahu sekalian."
"Rangga!"
Pekik Papa ketika itu juga Rangga yang meninggal kan papa saat sudah selesai bicara. Rangga sangat kesal, karena ternyata di balik semua itu papanya lah pelakunya.
"Papa egois!" Kan sudah di berikan satu perusahaan, kenapa harus berikan aku juga. Sekarang aku harus bagaimana menghadapi Adel setiap hari di kantor. Aku sudah muak melihatnya."
***
"Kenapa Rangga baik banget sama aku ya? Belum lama kenal dengan dia, bahkan baru beberapa Minggu yang lalu. Tapi rasanya kayak sudah dekat banget. Apa lagi sampai belikan kalung berlian ini." Rara terus memegang kalung pemberian Rangga malam kemarin. Begitu juga boneka yang selalu dia peluk saat tidur.
"Rara! Ra, Rara," Panggil Ibu, namun Rara tidak menyahut. Sampai ibu membuka pintu kamar Rara yang kebetulan tidak di kunci.
"Ra, sejak tadi ibu panggil kamu sampai teriak-teriak tapi kamu tidak menyahut juga. Sebenarnya lagi apa sih? Heh, ini boneka besar dari siapa?"
"Ya beli dong, Bu. Masa nyolong!"
"Ya tahu, memangnya kamu punya uang untuk beli sebesar ini."
"Iya deh, ini di belikan anak-anak. Mereka iuran untuk aku." Rara mulai berbohong.
"Lah, tumben. Dalam rangka apa?"
"Kan kemarin aku ulang tahun, Bu!"
"Oh begitu, ya sudah. Bantu Ibu buat kue lagi. Besok banyak pesanan."
"Oke, siap."
"Tumben mau bantuin," Ucap Ibu.
"Mau di bantu tidak nih!" Tawar Rara lagi meledek.
"Hem, iya iya."
'Sepertinya, Rara memiliki kalung baru. Dapat dari mana dia?' Ibu bergumam curiga terhadap Rara yang kini banyak perubahan semenjak kenal Rangga.
***
"Ra, aku mau kenal kan kamu dengan Papa aku besok. Kamu bisa kan?"
"Ha? Untuk apa aku kenal dengan Papa kamu? Memangnya dalam rangka apa? Aku kan bukan pacar kamu!"
"Iya sepertinya sih seperti itu."
"Maksud kamu apa sih? Jangan buat aku bingung deh!"
"Rara, aku ingin kenalkan kamu pada Papa sebagai calon aku. Bagaimana? Kamu bisa kan?"
"Ha? Secepat itu?"
"Ya, memangnya kenapa? Bukannya itu lebih bagus?"
"Ya Rangga, aku tidak sangka saja kalau kamu berpikir secepat ini. Apa kamu tidak ingin lebih kenal dekat aku lagi dalam beberapa waktu kedepannya? Kita baru kenal, tapi kamu sudah sedalam ini. Aku merasa tidak percaya diri saja."
"Kalau kamu tidak bisa percaya diri, percaya saja sama aku. Karena apa pun yang aku lakukan hanya semata untuk kamu."
"Rangga, apa kamu katakan ini benar-benar dari hari kamu!"
"Ra, percaya lah. Untuk apa aku bohong dengan semua ini, tapi aku berani ajak kamu untuk kenal Papa. Jika aku hanya main-main, pasti aku tidak mau papa tahu. Tapi apa yang aku lakukan sekarang, aku sudah lebih dari umumnya pria bukan?"
"Baik, lah. Aku percaya kok sama kamu. Aku akan coba. Besok kan?"
"Iya, Hem. Itu nanti ada kiriman kotak dari aku untuk kamu. Kamu pakai besok ya!"
"Kiriman apa?" Ucap Rara namun telepon langsung di matikan Rangga.
Saat itu, Rara benar-benar bingung. Antara harus sedih atau bahagia. Mimpinya kini seolah menjadi nyata dan semudah itu dia bisa kenal dan dekat dengan pria tampan.
Selama ini dia hanya suka berkhayal dengan indah, namun kini dia harus berhadapan langsung dengan kenyataan yang membuat dia kewalahan.
Beberapa menit setelah perbincangan di telepon, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah.
Tok tok tok!
"Hem, siapa ya?" Rara celingukan keluar dari kamar untuk melihat keadaan. Untung saja saat itu ibunya sedang di luar. Setelah membuka pintu, orang itu mungkin suruhan Rangga yang membawakan bingkisan. Bingkisan itu lalu di serahkan pada Rara.
"Permisi!"
"Iya, ada perlu apa?"
"Benar dengan Mbak Rara?"
"Iya, saya sendiri. Ada apa, Mas? Aku ada hutang ya?" Pertanyaan iseng Rara membuat orang itu tertawa kecil.
"Tidak, Mbak. Ini ada bingkisan dari Pak Rangga."
"Oh, iya iya. Terima kasih ya!"
"Sama-sama, Mbak. Kalau begitu aku permisi pulang dulu ya!"
"Iya." Rara menunggu orang itu keluar dan sampai tidak terlihat lagi.
"Ya ampun, Rangga benar-benar tidak bohong dengan ucapannya."
Rara segera membuka bingkisan tersebut. Ternyata isinya sebuah baju gaun yang harus dia pakai saat nanti bertemu dengan papanya Rangga.
***
"Malam ini kamu cantik dan menggemaskan, Ra. Terima kasih ya sudah mau datang dan pakai gaun yang aku belikan. Ayo masuk!"
Rara datang dengan memakai gaun yang di belikan Rangga kemarin. Malam ini dia benar-benar deg-degan karena akan di kenalkan oleh papanya Rangga.
"Rangga, aku takut!"
"Takut kenapa?"
"Hem, tidak!"
"Ya sudah, kalau begitu ayo kita masuk!"
Langkah demi langkah, Rara masuk ke dalam rumah megah yang di miliki Rangga. Dia merasa seperti sudah menjadi Cinderella waktu itu. Hanya saja, Cinderella yang berlebihan berat badan masuk ke istana raja.
"Besar sekali rumah kamu, Rangga!"
"Kalau mau lihat-lihat juga boleh."
"Yakin? Aku lihat dulu ya." Rara menuju ruang keluarga. Keadaan memang terlihat sepi. Sehingga Rara berani untuk melihat-lihat.
"Rangga, ini foto bayi siapa?"
"Kata Papa itu adikku, tapi dia di culik ketika baru lahir. Foto ini foto satu-satunya, makanya di pajang di ruang keluarga ini."
"Oh begitu, tega sekali yang menculik itu ya. Bayi baru lahir sudah di culik. Terus bagaimana dengan Mama kamu?"
"Mama meninggal setelah melahirkan."
"Hem, maaf ya. Aku baru tahu."
"Tidak apa-apa. Ya sudah, ayo kita ke lantai atas. Mungkin Papa di atas."
"Loh, memangnya tidak tahu ya kalau aku mau datang?"
"Sudah sih, tapi aku tidak bilang kalau kamu datangnya malam ini. Ya sudah, ayo!"
Rara mengikuti langkah Rangga. Dia benar-benar merasa sangat beruntung dan bangga bisa masuk ke dalam rumah yang begitu megah. Apa lagi di dampingi pria tampan dan istimewa. Hidupnya begitu sempurna saat itu juga. Namun, Rara tersadar apa mungkin itu akan berlangsung lama ketika nanti papanya sudah melihat diri Rara yang sebenarnya.
"Pa, aku mau kenal kan calon aku dengan Papa." Ucap Rangga ketika Papa masih asyik bermain laptopnya.
Papa hanya diam dan masih sibuk mengetik sesuatu. Sedangkan Rara berdiri tepat di belakang Rangga dengan menggigit bibirnya. Rara benar-benar takut akan respon papa Rangga nanti.
"Pa, beri waktu aku sejenak untuk semua ini."
Papa menarik napasnya, dan mulai melihat Rangga yang sedari tadi sudah berdiri.