Chereads / Cinta 80 Kilo / Chapter 15 - Sebuah Cafe

Chapter 15 - Sebuah Cafe

"Mereka kenapa? Sepertinya tertawa?" Tanya Rangga pada Rara.

"Biasa, paling juga tertawakan aku yang bertubuh gendut ini." Ucapnya lesu.

"Oh, biarkan saja kalau begitu. Eh, bagaimana luka kamu? Kamu tidak apa-apa kan? Sepertinya lecet di lutut kamu itu lumayan buat nyeri!" Ucap rangga dengan sedikit meringis.

"Cuma luka kecil kok." Jawabnya singkat dan ketus. Seketika itu pula, Rangga ingat dengan apa yang sudah terjadi pada Rara kemarin malam. Mungkin dia masih marah karena hal itu.

"Oh iya, ini ada obat luka. Kamu tutup muka kamu. Eh, maksud aku luka kamu!" Rangga sengaja menyalahkan pembicaraannya agar Rara terhibur. Kebetulan juga, saat itu dia sudah sedia obat apa pun di dalam mobil. Dia memberikan obat luka itu pada Rara yang sedikit mulai senyum.

"Ra? Apa kamu masih marah soal malam kemarin?"

"Yang mana?" Rara pura-pura melupakan kejadian malam kemarin.

"Hem, jangan pura-pura lupa. Kamu sendiri kabur dari acara itu kok sebelum aku jelaskan."

"Oh itu, tidak apa-apa kok. Eh, itu rumah aku. Aku berhenti di sini saja." Rara mengalihkan pembicaraan. Namun Rangga tetap melewati rumah itu.

"Rangga, kamu kenapa malah lewat sih."

"Ssttttt! Jangan berisik!" Rangga menaruh jari telunjuknya pada mulut Rara saat itu. Lagi-lagi, Rara selalu meleleh jika Rangga bersikap romantis.

"Memangnya kita mau ke mana?"

"Nanti kamu juga tahu."

"Selalu saja jawab seperti itu. Nanti kalau Ibu marah bagaimana tahu aku pulang telat."

"Oh iya ya. Kamu tadi pulang mengajar ya? Eh aku culik! Salah siapa juga yang menabrak mobil sedang berjalan. Untung tadi aku pelan,"

"Jadi kamu salahkan aku?"

"Tidak, kok."

Akhirnya mereka sampai pada sebuah tempat di mana Rangga berhenti untuk mengajak Rara. Suatu tempat yang begitu romantis tentunya. Selain untuk bersantai, makan, juga ada sebuah toko khusus jualan bermacam kado. Di mulai dari Kado untuk pernikahan, kado ulang tahun dari usia anak-anak hingga dewasa juga ada. Pokoknya, toko tersebut berdiri di tengah Cafe muda mudi yang sengaja di buat untuk memudahkan para konsumen yang sedang liburan bersama keluarga atau yang sedang kasmaran sebagai bentuk hadiah atau oleh-oleh.

"Kamu ajak aku ke tempat ini Rangga? Tidak salah?"

"Memangnya kenapa?"

"Aku baru pertama kali di sini, aku hanya mendengar kata orang saja kalau tempat ini sangat bagus. Lalu apa kamu tidak malu ajak aku di sini? Seharusnya kamu bawa pacar kamu di sini."

"Haha, pacar? Aku juga baru kali ini datang kemari. Asal kamu tahu, meski aku pemimpin di perusahaan. Bukan berarti aku suka keluyuran dan suka jajan. Jalan sama wanita saja baru kali ini."

"Mbak, pesan makan dan minum dua porsi ya!" Rangga memanggil pelayan dan menyodorkan menu makanan yang ada di meja.

'Jadi sama saja aku seperti pacarnya, lalu siapa Adel waktu itu?' gumam Rara.

Sembari menunggu makanan siap, mereka terus mengobrol sampai ke sana kemari.

"Hem, kamu tidak malu jalan sama aku yang gendut ini?"

"Sepertinya kamu selalu tanya ini sama aku? Kenapa? Kamu tidak yakin? Kalau aku tidak mau jalan sama kamu yang seperti ini, tidak mungkin kita sampai berkali-kali jalan kan? Kamu heran ya?"

"Jelas aku heran, pria tampan dan kaya kayak kamu seharusnya bawa wanita cantik dan seksi. Lagi pula potongan kayak kamu itu lebih cocok jalan sama Adel yang cantik dan seksi."

"Hem, mungkin itu secara pandangan kamu saja. Dan mungkin menurut kamu pemikiran pria itu kebanyakan seperti itu. Tapi bagi aku tidak seperti kebanyakan pria di luar sana, menurut aku kamu itu menggemaskan."

"Kamu sadarkan ngomong seperti ini? Tapi kenapa waktu itu Adel begitu sangat dekat dengan kamu?"

"Entahlah, ceritanya panjang. Bahkan ada masalah baru yang belum aku ketahui. Beberapa tahun yang lalu, Adel di masukkan Papa untuk menjadi sekretaris aku. Lalu Adel terus mendekati aku."

"Bagus dong, itu artinya kamu berhak atas dirinya. Masa di dekati wanita secantik Adel malah tidak mau?"

"Dia tidak seperti yang kamu bayangkan, Ra. Kamu tahu sendiri kan sikap dia terhadap kamu kemarin? Dia sangat kasar. Bahkan akhir-akhir ini dia melakukan sesuatu di kantor aku dengan sesukanya tanpa izin dengan aku."

"Memang dia melakukan apa?"

"Waktu itu, dia memerintahkan satpam untuk mengusir Rey dan Yona. Lalu tadi dia mengusir Ibu ka-" Ucapan Rangga terhenti. Hampir saja dia melupakan apa yang di minta ibunya Rara tadi bahwa dia harus merahasiakan soal kedatangan ibunya di kantor Rangga.

"Jadi Rey dan Yona sampai mendatangi kamu di kantor?"

"Iya,"

"Pantas saja kamu juga ikutan kerjain aku ya? Malu banget aku waktu itu didepan murid dan kamu."

"Ets, aku juga jadi korban mereka tahu. Mereka yang sudah merencanakan kita untuk bertemu. Tidak tahu alasannya apa? Tapi ada kemarin aku dengar dari murid lain, semua itu karena kamu sering melamun dan senyum-senyum setiap kali sedang mengajar. Hal itu karena hadirnya aku. Kata anak itu sih, bukan aku! Apa benar itu, Ra? Kamu mikirin aku?"

"Apaan sih, tidak ada kok. Mereka saja yang pandai bicara. Memangnya aku hanya bertemu dengan kamu saja."

"Berarti ada orang lain dong yang kamu temui."

"Mungkin, bisa jadi." Rara terkekeh menghilangkan rasa malunya yang padahal memang benar adanya hal itu karena Rangga. Rangga terdiam sejenak.

'Untung saja dia tidak bertanya soal itu yang aku keceplosan tadi.' Gumamnya. Namun baru saja bicara seperti itu dalam hati Rangga, Rara bertanya soal itu yang baru di sebut Rangga tadi.

"Oh iya, kamu tadi bicara soal ibu-ibu yang datang di kantor kamu. Siapa lagi selain Rey dan Yona?"

"Eh, oh itu. Hem, ibu kampung maksud aku. Aku juga tidak kenal, dia hanya ingin minta bantu aku." Jawabnya dengan gugup.

"Oh, lalu apa kamu bantu?"

"Bagaimana aku mau bantu, kalau sudah keburu di usir oleh satpam." Ucapnya bohong.

"Oh, kasihan ya ibu itu."

"Eh, sudah habis makanannya. Keasyikan ngobrol bisa habis juga ya makanan kita. Haha!"

"Ra, ayo pulang!"

"Ayo!"

Beberapa saat kemudian, Rangga menarik Rara untuk mampir ke toko tadi.

"Loh, Rangga. Kamu ngapain ajak aku kemari? Katanya mau pulang!"

"Aku mau belikan kamu sesuatu."

"Untuk apa?"

"Ya hadiah untuk kamu, Ra!"

"Iya, maksud aku dalam rangka apa?"

"Kamu bilang kemarin, kamu juga ulang tahun di acara ulang tahun Adel?"

"Oh itu, aku saja sampai lupa dengan ulang tahun aku waktu itu."

"Sudah, sini jangan banyak bicara. Anggap saja ini sebagai tanda permohonan maaf aku sama kamu karena sudah salah kirim WhatsApp sama kamu waktu itu."

"Baik lah!" Rara membiarkan Rangga untuk membelikan sesuatu untuk dirinya.