Kai baru saja sampai di depan gerbang rumahnya, terlihat Raya yang juga baru pulang sekolah. Seperti biasa sepatunya tidak ia masukan lagi ke dalam rak sepatu dan di biarkan begitu saja di depan pintu, membuat Kai kesal dengan sikapnya.
Tangan Kai langsung merapihkan sepasang sepatu itu lalu menaruhnya di rak sepatu tentu saja sambil mengucapkan kemarahan di dalam hatinya. Kaki Kai baru saja berpijak di depan pintu, terlihat ibunya ketiduran di sofa ruang TV dengan raut wajah kelelahan, hatinya seperti teriris.
"Ray, kamu kalo pulang sekolah tuh di beresin sepatunya. Kebiasaan! Kamu kira semua orang nggak ada kerjaan lain selain beresin sepatu kamu?" ucap Kai dengan amarah dan nada yang tinggi.
Raya diam tidak menjawab perkataan Kai ia lebih memilih menutup telingannya menggunakan earphone yang ada di meja belajarnya. Semenjak ayah Kai di PHK kelakuan Raya semakin menjadi tidak bisa dibenarkan, ia menjadikan rumah seolah gudang yang bisa ia berantakan kapanpun.
Kai hanya bisa menarik nafasnya panjang melihat kelakuan adiknya. Ia langsung kembali ke arah ruang TV untuk membenarkan posisi tidur ibunya, terlihat di dapur sisa keripik singkong yang sudah ibunya goreng masih berserakan dimana-mana.
"Eh, Kai kamu udah pulang," ucap ibu mengatur posisi duduknya.
Kai diam karena ia tidak kuasa melihat ibunya seperti itu, harus bekerja sendirian demi menghidupi 3 manusia di dalam rumah ini. Kai tidak terlalu membenci ayahnya karena ia mengerti bahwa mungkin sang ayah juga pusing dan tidak mempunyai pilihan lain selain bertindak semaunya, tetapi ada hal yang Kai tidak suka dari perubahan ayahnya yaitu, menelantarkan kami dan membuat kami berjuang sendirian.
Air mata terus berjatuhan ketika Kai baru saja merebahkan badannya di tempat tidur, ia sangat tidak kuasa melihat ibunya harus seperti itu.
Terdengar suara pintu kamar di ketuk oleh ibu.
"Kak, kamu udah makan tadi?" tanya ibu dengan tangan yang sedang memegang nampan berisi sepiring nasi lengkap dengan lauknya dan air putih dingin kesukaan Kai.
"Belum bu," ucap Kai.
Ibu masuk ke dalam kamar lalu memberikan nampan.
"Oh ya, bu ini penjualan keripik hari ini," ucap Kai seraya merogoh koceknya untuk mengambil uang yang tadi di berikan oleh bu Asih.
"Lima puluh ribu rupiah," ucap ibu. Terukir senyuman di bibirnya seperti ada kelegaan di dalam batinnya karena keripik yang ia goreng dari pagi tidak sia-sia.
* * *
"Kesel deh sama Raya," ucap Kai yang baru saja sampai dengan sepedanya di taman.
Diga sudah lebih dulu datang di taman dan langsung menaiki rumah pohon karena hanya dia yang pandai membersihkan rumah pohon itu dari berbagai binatang kecil hingga daun yang jatuh masuk ke dalam rumah pohon tersebut.
"Kenapa lagi sih?" tanya Diga, wajahnya tidak melihat ke arah Kai karena ia masih membersihkan kolong meja yang ada di dalam rumah pohon tersebut.
"Gila ya! Dia makin seenaknya di rumah, setiap hari kalo pulang sekolah pasti semua berantakan. Dia tuh ngerti nggak sih kalo gue sama ibu tuh udah banting tulang buat ngasih makan setiap hari. Apalagi gayanya yang sok nggak mau jualin keripik ibu di kantin sekolahnya," ucap Kai menggerutu membuat Diga tertawa kecil karena melihat raut wajahnya.
"Selesai," ucap Diga.
Diga menghampiri Kai yang sudah duduk di balkon rumah pohon lalu menjawab ucapan sumpah serapahnya tadi.
"Ya gimana ya, namanya juga anak SMP lu juga pas SMP pasti kayak gitu 'kan? Buang tas seenaknya di ruang TV," jawab Diga.
"Ya kan Ga, keadaan tuh udah beda. Gue yang dulu ya ada pembantu di rumah yang bisa nolongin ibu, sekarang? Mana ada. Semua kerjaan rumah gue sama ibu yang harus beresin. Raya? Diem aja di kamar udah kayak putri salju," ujar Kai lagi semakin menggebu-gebu.
"Kai, mungkin Raya emang males dan ngejadiin beban di rumah. Tapi coba deh kamu pikirin, mungkin dia juga kayak gitu buat dapetin perhatian kamu. Dia nutupin kesedihannya dengan cara kayak gitu," jelas Diga.
"Lagian tadi lu bilang juga pernah kayak gitukan, udah lu bilangin ke dia dengan baik-baik tanya dia tuh maunya kayak gimana. Di samping itu lu juga jadi ngerti maunya dia apa dan bisa bikin perjanjian harus gimana-gimanannya," ucap Diga.
Perkataan Diga seketika menyadarkan Kai, memang semenjak ayahnya di PHK hubungan mereka semakin merenggang karena kekesalan yang selalu Kai bawa saat pulang dari mana saja ketika melihat rumah berantakan.
Selalu ada kesedihan yang tersembunyi pada manusia di sekeliling kita yang mungkin bahkan kita tidak pernah tau ada menyadarinya.
Mereka berdua diam sama-sama tertegun denga omongannya masing-masing, seperti bola yang terpantul di dalam pikirannya.
"Kenapa ya, Bella kok jahat banget buat bisa nyakitin lu," ujar Kai tiba-tiba memecah kediaman.
"Kok? Maksudnya?"
"Iya, gue heran kenapa ada orang tega nyakitin lu. Padahal lu adalah orang yang selalu bisa buka telinga dengan lebar ketika dengerin cerita orang lain dan kebaikan lu yang mungkin nggak bisa di jumpai sama orang lain," ucap Kai.
"Sama satu lagi, ketulusan lu buat bisa baik sama orang tanpa mikirin feedbacknya gimana," jelas Kai lagi.
Diga terdiam semakin terdiam karena mendengar ucapan Kai.
"Ya, semua orang juga baik kali tapi caranya beda-beda."
"Gue nggak pernah nyaka loh, bakalan di temuin sama manusia kayak lo. Lo tuh romantis dalam tanda kutip ya, lo bisa memberikan apa yang lo punya dengan cara yang lain ke orang yang lu sayang. Romantis yang nggak bisa di temukan sama orang lain, kayak lo diem aja itu udah romantis, Ga," ucapan Kai semakin melebar kemana-mana seperti hatinya yang berbicara bukan otaknya.
"Ah, perasaan lo aja kali karena lo udah lama kenal sama gue," ucap Diga meyakinkan.
"Nggak. Kita kayak gini aja udah romantissssssssss," ucap Kai sambil menjewer telinga Diga lalu melarikan diri.
Seperti ponsel yang menemukan sinyalnya, kali ini Diga merasa bahwa Kai sudah memunculkan sinyalnya yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Tetapi lagi-lagi mereka berdua terhalang dengan sebuah kata yang bernama sahabat.
Udara sore menyertai gelak tawa mereka, seakan mengetahui ada rahasia yang sedikit terbongkar dari dalam hati mereka. Romantis, hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Diga yang sepertinya membuat Kai terpesona olehnya.
"Diga. Kamu kenapa belum makan siang tadi?" tanya ibu Diga saat ia baru saja pulang dari taman.
Rupanya ibu sudah menyiapkan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya yang ia taruh di dalam tudung saji.
"Maaf bu, Diga nggak tau. Tadi juga Diga udahh makan kok di sekolah," jawab Diga pelan.
Ibu hanya diam seperti ada patah di hatinya yang tidak bisa ia keluarkan saat itu juga.