Ben Eddic menggendong Te Ressa di punggungnya. Te Ressa merengkuh Ben Eddic dari belakang dan meletakkan dagunya pada bahu kokoh Ben Eddic. Ben Eddic membawa Te Ressa masuk ke dalam rumah dan menaiki tangga.
"Kau kedinginan, Baby?" Te Ressa hanya berdeham dan mengangguk. Ben Eddic dapat melihat tangan pucat Te Ressa. Air kolam memang sangat dingin, membuat Ben Eddic panik ketika ia menyadari bahwa Te Ressa hanya diam dan menunduk selama berada di dalam kolam. Ben Eddic teringat akan perkataan Paman Bryan Graham, jika Te Ressa tidak bisa berlama-lama berada di kolam renang.
Ben Eddic segera mempercepat langkahnya dan sampai di kamarnya. Ben Eddic menurunkan Te Ressa di kamar mandi."Tunggu sebentar di sini, Baby, aku akan mengambil handuk kering dulu," ucap Ben Eddic yang melepaskan handuk basah dari tubuh Te Ressa. Te Ressa hanya mengangguk dan menuruti perintah Ben Eddic.
Ben Eddic akhirnya keluar dari kamar mandi. Sedangkan Te Ressa ia mulai tersenyum ketika mengingat malam yang sepertinya akan panjang baginya terlebih yang terjadi di kolam renang tadi.
##### FlashBack On ######
"Aku merasa aku harus dan harus menyayangi dan mencintaimu. Bolehkah aku memintamu untuk bersamaku sampai kapan pun?"
"Em? Maksud Kakak?"
"Jadilah milikku Te Ressa Graham."
Te Ressa melongo tak menyangka atas apa yang diucapkan Ben Eddic. Te Ressa mematung entah ke berapa kalinya ia membeku akibat perkataan Ben Eddic yang menurutnya seperti petir di siang bolong. Te Ressa memalingkan wajahnya, menghindari kontak mata Ben Eddic yang begitu dekat dengannya.
"Te Ressa, jawab aku!"
Te Ressa meremas handuk yang ia kenakan. Ia ragu dan takut akan jawabannya. Ia menundukkan kepalanya dan mengigit bibir bawahnya.
"K-Kakak ...."
"Hm? Apa jawabanmu?"
"Kenapa harus aku? Aku bukan orang yang sepadan denganmu. Aku anak cacat dan ...."
"Berhenti mengatakan itu Te Ressa!" Bentakan kecil Ben Eddic membuat Te Ressa menoleh dan menatap Ben Eddic yang tak suka dengan ucapan Te Ressa."Berhenti mengatakan dirimu cacat! Aku tidak suka kau terus-menerus mengatakan itu! Kau tidak cacat!"
"Kakak ... aku ---"
Ben Eddic meraih tangan kanan Te Ressa dan meletakkan tangannya pada pipi kiri Ben Eddic. Ben Eddic memegang erat tangan Te Ressa yang berada di pipi kirinya.
"Kumohon jangan katakan dirimu cacat. Kau tidak cacat. mungkin kau tidak bisa mendengar jika kau tidak memakai hearing aids. Tapi aku tidak menganggapmu seperti itu. Kecacatan bukan sesuatu yang harus dianggap sebagai kekurangan ....
... kau tau? Selama ini, selama aku melihatmu, aku menganggapmu sebagai keindahan yang jarang aku temukan. Mata birumu yang indah, senyummu yang bahkan selalu menggetarkan hatiku, dan aku selalu gelisah jika tidak melihatmu dalam sehari saja. Kumohon, aku merasa aku harus menyayangimu. Jadilah milikku Te Ressa Graham," ucap Ben Eddic yang mengulangi perkataannya.
"A-aku ...."
"Aku tahu, kau juga menginginkanku, kan, Te Ressa?" tanya Ben Eddic yang sukses membuat Te Ressa kembali terdiam beberapa detik dan dibalas dengan anggukan. Ben Eddic pun mengecup tangan Te Ressa yang berada di pipinya dan tersenyum jawaban Te Ressa yang berupa anggukan.
"Kau tidak perlu takut akan keberadaanmu Te Ressa. Aku tahu nasib dam statusmu membuatmu sering menjauhiku. Tapi sekarang, kau yang akan memegang hatiku. Kau milikku. Dan aku akan melarang dan membunuh siapa pun yang berusaha mendekati bahkan melukaimu sekecil apa pun. Tidak ada yang bisa menghentikanku untuk melindungimu. Itu kewajibanku."
Te Ressa tersenyum dan sontak merengkuh Ben Eddic dengan erat. "Terima kasih Kakak! Terima kasih buat semua! Maaf jika aku tidak bisa memberikan banyak hadiah untukmu."
Ben Eddic membalas rengkuhan itu dan berkali-kali mengecup kepala Te Ressa.
"Hey ... hey ... aku tidak meminta hadiah darimu, Baby. Cukup berikan hatimu saja. Aku akan menjaganya!" Te Ressa mengangguk dalam rengkuhan Ben Eddic dan membuat Ben Eddic seakan enggan untuk melepaskan rengkuhannya. Ditambah dengan Te Ressa yang mengecup dada Ben Eddic dan mengusap punggungnya.
##### Flashback Off #####
Te Ressa melangkah dan berada di bawah shower. Ia mulai merasa tubuhnya menggigil. Dan Te Ressa pun berinisiatif untuk menyalakan shower air panas.
Te Ressa berusaha memutar kran shower dan tidak ada air setetes pun yang keluar. Te Ressa memutar ke segala arah, namun hasilnya nihil.
"Ka ... Ka Ben Eddic!" panggil Te Ressa yang masih berusaha untuk memutar kran shower.
"Ada apa, Baby?" Ben Eddic masuk ke kamar mandi membawa beberapa handuk kering.
"Kakak ... kran showernya macet. Air showernya tidak mengalir," ujar Te Ressa dengan wajah memelas dan wajahnya yang semakin pucat. Ben Eddic segera mendekati Te Ressa dan mencoba memperbaiki krannya.
"Sebentar ya, Baby," ucap Ben Eddic yang masih mencoba memperbaiki kran airnya. Te Ressa hanya mengangguk dan sejenak kepalanya menengadah menatap shower mandi yang terpasang di atasnya.
Namun, beberapa detik kemudian shower itu mengeluarkan air panas mengenai wajahnya Te Ressa dan setengah tubuh Ben Eddic.
Te Ressa berteriak ketika air panas itu mengenai wajahnya. Ben Eddic dengan sigap membawa tubuh Te Ressa menghindar dari bawah shower dan mengukung tubuh Te Ressa di sudut kamar mandi.
Ben Eddic panik ditambah khawatir ketika Te Ressa menunduk menutup wajahnya."Te Ressa? Hey, Baby? Kau baik-baik saja? Ada yang sakit?"
"Panas Kakak," ucap Te Ressa lirih. Ben Eddic menurunkan tangan Te Ressa dari wajahnya dan mengangkat wajahnya.
Ben Eddic mengusap wajah Te Ressa dan mengusak rambutnya. Sejenak ia menatap wajah gadis manis yang saat ini sudah menjadi miliknya. Cukup merasa mereka saling menatap bahkan Ben Eddic beberapa detik tidak berkedip hanya untuk menatap gadis manis Te Ressa Graham-nya.
Sontak jari jemari Ben Eddic mengelus pipi Te Ressa yang masih terasa hangat di telapak tangannya. Ben Eddic tidak akan bohong jika salah satu mata biru Te Ressa memang menenangkan. Jika Ben Eddic boleh jujur, ia bahkan tidak bernapas sepersekian detik hanya untuk menatap mata biru Te Ressa.
"K ... Kakak?"
"Kau cantik sekali," ucap Ben Eddic tanpa sadar.
"Ap? Kakak bilang apa?"
Tanpa permisi, Ben Eddic mendekatkan wajahnya dan menyambar bibir tipis Te Ressa. Ben Eddic menyapunya dengan napsu, mengigiti bibir bawah Te Ressa, mendekap tubuh mungil itu begitu erat, mengecup bibir tipis, bahkan lidah Ben Eddic memaksa untuk masuk ke dalam area mulut Te Ressa.
"K ... Kakakhh." geraman Te Ressa membuat Ben Eddic semakin gencar untuk menyapu rongga mulut Te Ressa, memasukkan tangannya ke dalam pakaian basah Te Ressa dan mengelus tubuhnya dengan jari-jemarinya.
Kecupan itu semakin menuntut dan Te Ressa memukul dada dan bahu Ben Eddic pertanda ia sudah kehabisan napas. Ben Eddic perlahan melepaskan kecupannya, dan menatap Te Ressa yang sedang mengambil udara untuk bernapas.
"Maafkan aku, Baby, aku menyakitimu lagi? Apa kecupanku terlalu kasar?" ucap Ben Eddic yang begitu lembut terdengar di telinga Te Ressa. Jika Te Ressa adalah wanita lainnya, mungkin ia akan 'basah' ketika mendengar suara Ben Eddic yang lembut namun seduktif itu.
Te Ressa menggelengkan kepala. Wajahnya sudah memerah karena tangan Ben Eddic masih mengelus tubuhnya dibalik pakaiannya. Jangan lupa bahwa air shower tadi masih mengalir dan membasahi punggung Ben Eddic.
"Kau mau lagi? Aku akan bersikap lembut padamu."
Te Ressa hanya mengangguk. Te Ressa tidak bohong, jika Te Ressa memang menginginkan bibir Ben Eddic. Setidaknya ia asisten rumah tangga yang beruntung bisa memiliki Tuan Muda yang tampan seperti Ben Eddic Klein.
Ketika Ben Eddic akan mendekatkan wajahnya, Te Ressa menahan dada Ben Eddic dan menatapnya.
"Kakak ...."
"Apa, Baby?"
"Jangan terlalu kasar. Pelan-pelan," ucap Te Ressa lirih dan kemudian menunduk karena malu.