Chereads / Gadis Bisu: Jerat CEO BDSM / Chapter 26 - ROMANTISME DI HALTE

Chapter 26 - ROMANTISME DI HALTE

"Hmmm ~ enak sekali. Terima kasih, Kak," ucap Te Ressa yang masih mengunyah cake cokelat itu dan tersenyum menatap Ben Eddic. Ben Eddic hanya berdeham dan mengangguk. Ben Eddic bahkan sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari Te Ressa yang tengah asik memasukkan cake cokelat ke dalam mulutnya.

Ben Eddic bahkan terus memperhatikan.

Bagaimana mulut itu mengunyah ...

Bagaimana cokelat itu mengenai bibir tipisnya ....

Bagaimana pipi Te Ressa mengembung ketika mengunyah cake itu ...

Dan bagaimana lidahnya menyapu bibirnya ....

Ben Eddic menikmati pemandangan yang ada di hadapannya. Ben Eddic yakin bahwa dirinya masih mencoba untuk menahan dirinya.

"Te Ressa ...!"

"Hm ...?" Te Ressa mendongak memperlihatkan cake cokelat yang berserakan pada bibir Te Ressa.

Ben Eddic segera berdiri dari kursi, mencondongkan badannya, meraih dagu Te Ressa dan menempelkan bibirnya pada bibir Te Ressa.

Mata Te Ressa terbelalak ketika Ben Eddic sontak dengan cepat mengecup bibirnya. Te Ressa mematung di tempat, tanpa sadar ia perlahan melepaskan sendok yang ia genggam. Kecupan kecil yang Ben Eddic lakukan, membuat jantung Te Ressa seakan ingin keluar dari tubuhnya. Lidah Ben Eddic menyapu bibir Te Ressa, menyapu cokelat dan mengambil serpihan kecil cake yang ada di sekitar bibir Te Ressa.

Setelah aksi gila Ben Eddic mengecup Te Ressa di depan umum, Ben Eddic melepaskan kecupannya, dan mengusap bibir Te Ressa serta mengumbar smirk di bibirnya.

"Makanlah dengan rapi, Manis. Jangan berantakan, kau seperti anak bayi jika makan seperti tadi. Tapi kau lucu juga," ucap Ben Eddic yang kemudian kembali duduk di kursinya.

Te Ressa meremas ujung bajunya sendiri. Ia tak kuasa menahan detak jantungnya. Tuan Muda-nya itu mengecupnya. mengecup tepat di bibirnya. mengecupnya di depan umum. Dengan kecupan kecil.

Te Ressa mengangguk ragu dan bahkan ia tak bisa mengambil sendok di atas meja karena tangannya gemetar saat ini. Te Ressa menunduk menghindari kontak mata dengan Ben Eddic.

"Tuhan, ambil saja nyawaku sekarang. Aku bisa merasakan bibir lembut Kaka Ben Eddic. Entah aku harus bersikap seperti apa. Tapi ... kenapa rasanya aku juga suka," batin Te Ressa yang masih meremas ujung bajunya yang bahkan sudah terlihat kusut.

Ben Eddic mengusap-ngusap bibirnya sendiri dan masih tersenyum smirk yang terpatri pada bibirnya.

"Akhirnya aku bisa merasakan bibir tipismu. Dan ternyata lebih manis dari kubayangkan. Aku menginginkannya lagi Te Ressa Graham."

***

Setelah acara makan malam bersama di sebuah Cafe yang tak jauh dari venue resepsi pernikahan Jo Nathan Klein dan Je Ssica, Ben Eddic pun membawa Te Ressa untuk duduk di sebuah halte. Ben Eddic bahkan masih enggan untuk pulang ke rumah, karena ia tahu, jika Jessi pasti akan tinggal di rumahnya bersama Jo Nathan dan dirinya.

Keduanya duduk di sebuah kursi di halte yang tak jauh dari cafe yang mereka datangi. Keduanya duduk berdampingan, namun tak ada suara yang memecahkan suasana. Keduanya masih sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terlebih pada Te Ressa sejak tadi menatapi jalan raya bergantian menatap langit yang terlihat merah tanda bahwa akan adanya hujan.

Te Ressa sudah lama tak mendengarkan ....

... bagaimana suara lalu lalang kendaraan di jalan raya

... orang-orang yang berbicara di sekitarnya

... orang-orang yang tengah sibuk dengan ponselnya

... kendaraan yang berhenti di pada lintasan lampu merah

Dan .. bahkan mendengarkan bagaimana angin menerpa pepohonan yang ada di tepi jalan.

Te Ressa merindukan itu.

Semenjak pendengarannya tak berfungsi lagi, ia bahkan tak bisa mendengar hembusan angin apalagi bisikan. Te Ressa menghela napasnya dan bahkan menikmati angin yang menerpa wajah dan rambutnya.

Ben Eddic pun mendengar sebuah helaan napas Te Ressa. Ben Eddic pun duduk mendekati secara perlahan mencoba untuk duduk lebih dekat dengan Te Ressa.

"Hei ...." Ben Eddic menyenggol lengan Te Ressa, membuatnya menoleh dan menatap Ben Eddic yang saat ini menatapnya dekat.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Ben Eddic.

"Eum ...." Te Ressa menggeleng. "Tidak ada. Aku hanya ... hanya menikmati suasana di luar rumah saja. Aku tidak pernah keluar rumah sejak aku masih kecil," ucap Te Ressa yang kembali menatap jalan raya. Bola matanya mengikuti kendaraan yang melalu lalang di hadapannya.

Ben Eddic sejenak terdiam. Ia teringat akan masa kelam Te Ressa saat ia masih kecil. "Kalau begitu bagaimana kalau kita sering jalan keluar rumah?"

"Tidak perlu Tuan Muda .... eumm Kak. Aku adalah asisten rumah tangga. Aku harus selalu berada di rumah dan bekerja," ucap Te Ressa tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya.

"Begitu? Kau tidak ingin jalan-jalan? Kau tidak pernah ke taman bermain walau pun hanya sekali?" tanya Ben Eddic lagi.

Te Ressa terdiam saat itu. Dan pada saat itu terdengar sebuah petir dan bunyi guntur yang menjadi tanda bahwa hujan akan turun, membuat Ben Eddic takut dan segera merengkuh Te Ressa.

Te Ressa sontak kaget, ketika Ben Eddic tiba-tiba merengkuhnya dengan erat. Te Ressa panik ketika kepala Ben Eddic saat ini berada di dadanya. Ben Eddic merengkuh tubuh Te Ressa, dan sedikit meremas baju yang Te Ressa kenakan.

"K-Kak? Kau kenapa?"

Ben Eddic pun segera melepaskan rengkuhannya dan kembali pasa posisinya. "Eum? T-tidak ... tidak. Aku tidak apa-apa Te Ressa. A-aku baik-baik saja."

"Benar tidak apa-apa, Kak?" tanya Te Ressa yang masih ragu pada Ben Eddic yang terlihat meremas ujung jas-nya.

Bunyi Petir dan guntur pun terdengar lagi hingga rintik-rintik pun turun membasahi kota. Petir dan guntur pun datang bergantian, membuat Ben Eddic sontak merengkuh Te Ressa seerat mungkin bahkan lebih erat dari sebelumnya.

"Ressa .... jangan pergi kemana-mana," ucap Ben Eddic lirih.

"K-Kak? Aku tidak pergi ke mana pun."

"Berjanjilah kau tidak akan pergi ke mana pun. Tetaplah bersamaku," ucap Ben Eddic yang semakin mengeratkan rengkuhannya dan meremas pakaian Te Ressa ketika petir dan guntur semakin terdengar keras.

"K-Kak?" panggil Te Ressa.

"A-aku .... takut petir Te Ressa," ucap Ben Eddic lirih yang terdengar ketakutan ketika petir dan guntur mulai kembali terdengar. Para pejalan kaki seketika berlari untuk berteduh dan tak sedikit yang berteduh di halte.

Sontak tangan Te Ressa mengusap kepala Ben Eddic dengan lembut membuat Ben Eddic nyaman merengkuh Te Ressa. "Kau tidak perlu takut pada petir, Kak. Petir tidak akan menyakitimu walau pun ia memiliki bunyi yang menakutkan."

"Kau tidak takut pada bunyi petir seperti itu?" tanya Ben Eddic yang masih merengkuh Te Ressa bahkan belum melepaskan rengkuhannya. Dan tangan Te Ressa pun masih mengusap kepala dan lengan Ben Eddic.